"Gerimis seperti luka-luka dunianya yang beruntun datang."
Dering bekernya mengganggu. Ia tahu itu. Dingin yang menyengat seluruh kamar flat super mininya juga pengganggu. Harusnya ia terus meringkuk di bawah selimut tebal. Tetapi, suara yang memekik dari benda di atas nakas itu jadi sebuah pertanda. Kemalasannya harus berakhir sekarang.
Salahkan penghangat ruangan yang tak berfungsi itu. Sehingga ia terpaksa menjalani hari-hari hanya merongkok seharian. Seperti gembel yang pemalas.
Gembel? Iya gembel.
Sepertinya kata itu pantas untuknya. Ia hanya gadis miskin yang berkulit pucat, yang baru berusia hampir seperempat abad---mungkin bisa dikatakan setengah dewasa---dan dengan rambut yang sering kali terlihat kusut. Bermimpi punya pakaian bagus atau hanya sekadar mantel musim dingin itu hanya ilusi baginya. Untuk makan saja, ia kucar-kacir. Berpikir untuk merias dirinya pun tidak. Bagaimana ia mementingkan kualitas hidup lainnya?
Mungkin benar. Kadang kemiskinan bersinergis dengan kondisi penampilan. Namun, ia tidak sepaham dengan kemiskinan yang erat dengan kebodohan. Gadis itu tidak bodoh. Ia cuma kurang beruntung. Ia hanya lulusan sekolah menengah atas dengan prestasi juara umum yang berakhir menjadi pegawai paruh waktu di sebuah minimarket dekat pintu masuk stasiun Nowon.
Hanya pegawai paruh waktu. Catat itu. Bukan mahasiswa Universitas Erica Hanyang, seperti impiannya enam tahun lalu.
"Yoo Inha, kau cantik, tetapi mengenaskan," gumamnya saat melihat tampilan dirinya di cermin. Lalu sekarang, ia hanya melangkah gontai keluar rumah. Demi melaksanakan pekerjaan rutinnya yang cukup adil disebut mengenaskan.
***
Gadis itu kini berjalan gontai. Sesekali merangkum diri dan menggosok-gosokkan lengan ketika angin yang membawa salju menerpa dirinya. Mantel satu-satunya yang dipakai sungguh membuatnya tersiksa di kala gerimis salju seperti ini. Mati beku bisa-bisa ia.
Inha membawa segenggam kantung belanjaan. Isinya tidak jauh berbeda seperti hari-hari sebelumnya. Ramyeon instan dan segala rupa yang instan. Karena ia memang hanya sanggup membeli semua yang instan itu.
Baru saja ia menyelesaikan pekerjaannya hari itu. Ia memilih berjalan kaki untuk kembali ke flatnya demi menghemat ongkos. Meskipun sebenarnya, ada pengorbanan yang dirasakannya. Misalnya kedinginan seperti ini.
Namun, lama kelamaan Inha mulai tak sanggup berjalan dalam kedinginan. Ia pun berhenti sejenak, duduk di halte, dan berdiam untuk bercampur baur dengan kumpulan orang-orang yang sedang menunggu bus. Barangkali di sekeliling banyak orang ia akan mendapatkan kehangatan.
"Ibu, malam Natal ini, Ayah pulang, 'kan?"
"Hm? Tentu saja, Sayang."
Inha menoleh. Didapatinya seorang anak perempuan usia sekitar lima tahun yang sedang duduk di halte bersama ibunya. Inha tersenyum tipis saat pandangan sang ibu bertemu tatap dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
THE LAST SIGHT
Fiksi PenggemarPada mata yang tak lagi bisa memandang, dan untuk hati yang masih setia mengenang, bahwa kedatangan yang menyimpan sebuah rahasia membuktikan hati memang telah dibutakan oleh cinta.