Esoknya Dyfal datang menjemputku, aku baru saja ingin sarapan tetapi pintu diketuk sangat keras. Kubuka pintu dan kusambut cowok itu. Dyfal tersenyum, lalu kupersilahkan masuk.
"Sarapan ya." Kata Dyfal
"Hm." Jawabku singkat. Dyfal menatapku, lalu mengalihkan pandangan saat pintu kembali diketuk.
"Tolong bukain pintunya." Kataku menyuruh Dyfal. Dyfal mendengus, tapi mau juga setelah kupelototi.
Dyfal membuka pintu dengan langkah gontai, malas. Tetapi kembali semangat setelah tahu siapa yang mengetuk pintu. Dyfal mempersilahkan mbak Nilta masuk. Dyfal membuntuti langkah mbak Nilta dari belakang.
"Nih, aku bawain sarapan buat kamu. Aku mau berangkat duluan ya." Pamit mbak Nilta. Lalu beranjak lagi keluar rumah.
Dyfal tersenyum selepas mbak Nilta keluar, masih menatap pintu depan yang sudah tertutup. Aku menatapnya, bingung.
"Eh, lo ngapain senyum sendiri? Sarap lo." Kataku sembari mengunyah sarapan yang dibawa mbak Nilta.
Dyfal menoleh, raut wajahnya kembali kesal. "Yah kan ganggu." Aku melotot, lalu menyambar tas disampingku.
"Ayok, nanti gue telat." Kataku ketus, sembari menarik lengan baju Dyfal.
***
Sesampainya disekolah aku langsung masuk kekelas. Menyambut telinga yang panas mendengar materi pelajaran. Kulihat disana Hilfi dan Zara sibuk dengan bacaan Novel. Ku sapa mereka.
"Yo." Sapa Hilfi sembari memukul pundakku pelan. Aku meringis, tersenyum.
"Hani mana?" tanyaku
"Biasalah, paling masih gitu."
"Gitu apa?" tanyaku kembali dan duduk disebelah Hilfi.
Sebagai jawaban, Hilfi dan Zara tersenyum. Lalu tertawa—tawa yang menggema—membuat beberapa siswa menoleh. Aku ikut tertawa simpul, lalu tertawa.
"Heh. Bacot, diam dong. Gue odot mulut lo." Ancam Rafif, teman sekelas kami, yang memang suaranya burek.
Seketika kami menutup mulut, dan duduk kebangku setelah bel masuk. Jam pelajaran dimulai, telinga yang sudah kusiapkan untuk mendengar gemercik api neraka.
Dua jam, kami menikmati pelajaran matematika. Bel istirahat berbunyi, sontak kami semua keluar kelas, mengisi perut untuk cacing di perut. Aku bersama tiga sohibku keluar menuju kelas sebelah.
Kelas IPA-3 dan IPA-1 tak jauh dari kelas kami, segera kami menyusul teman sesama umat. Disana Dyana dan beberapa teman sesama umatmenunggu.
"Yo." Sapa Hilfi dan melakukan tos ala-ala anak SMA.
"Yuk, kantin." ajak Jua. Kami semua menggangguk, dan melangkah menuju kantin.
Sesampainya di kantin, kami duduk dibangku yang biasa kami tempati—pojok depan dekat taman. Sabila dan Zhafia memesan camilan untuk kami. Lalu kembali beberapa menit kemudian.
"Bacot... bacot, mari berbacot !" senandung Zhafia. Memang , si Turah SMA Permata ini sangat terkenal. Beberapa siswa melirik sekilas kelakuan Zhafia, lalu berbisik.
"Eh, Turah. Diem mulutmu." Serga Sabila, lalu menarik tangannya. Kami hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Bukan temen gue—gumamku. Sabila dan si Turah kembali ketempat duduk. Tak beberapa lama, Zhafia membuka pembicaraaan.
"Eh, kalian udah denger belum, berita tentang si Chelsea yang pacaran sama si Reyhans?" katanya, membuka gosip sekolah.
Kami semua termangu, belum mendengar kabar tentang itu.
"Wah, bener-bener keren, si Turah ini." Ucap Dyana sambil menggelengkan kepala. Kami semua juga ikut menggelengkan kepala.
Zhafia melipat tangannya didepan dada. Seolah dia mengatakan 'Iya dong, gue kan kuping Turah'. Kami semua tertawa melihat tingkah anak orang ini. Obrolan pun terus berlanjut, tak terasa camilan yang kami pesan datang. segera kami berebutan camilan micin itu.
Tak sampai setengah jam, camilan itu sudah habis tak bersisa—kecuali Naden yang masih menjilati piring—segera kami membayarnya. Bel masuk kelas belum terdengar, sehingga kami memutuskan untuk bergosip ria.
"Lo tau dari mana tentang hubungannya si Chelsea?" tanyaku memulai obrolan. Semua sontak menoleh kearah Zhafia.
Zhafia hanya mengangkat bahu, tanda tak tahu—atau tak peduli. Kami semua menatap tak percaya, terus menatap Zhafia menginterogasi. Zhafia akhirnya menghembuskan nafas kasar.
"Iih, iya gue tahu gue cantik. Tapi jangan gitu juga dong, kan jadi malu-malu monyet." Katanya yang membuat kami mamutar bola mata.
"Jadi kemarin telinga gue denger bisik-bisik gitu. Yaudah gue pasang mode Turah ke telinga gue." Sontak penjelasan dari Zhafia itu membuat kami mendesis kesal. Lalu kembali dengan pikiran masing-masing. Aku dan Hilfi sibuk fangirlingan, melihat oppa-oppa yang dapat menyegarkan nafsu. Lalu Dyana dan Zara sibuk dengan membicarakan rapat osis nanti siang.
"Ya ampun, calon imam gue." Kata Hilfi histeris. Aku hanya geleng-geleng kepala. Gue gak akan ngerestuin Hilfi dengan oppa-oppa kinclong ini, gumamku.
Akhirnya bel masuk kelas barbunyi segera kami semua kembali kekelas. Aku dan Hilfi masih sibuk mendengarkan lagu Kpop terbaru. Sedangkan Zara dan Hani sibuk mengobrol.
"Gue duluan ya." Ucap Jua pamit, lalu segera menyeret Naden yang sibuk mengobrol dengan Dyana. Kami semua serempak mengangguk.
Akhirnya kami sampai dikelas, lalu dengan santainya duduk dibangku. Merasakan siksaan jahannam kembali. Pelajaran kedua Bahasa Inggris—salah satu pelajaran yang Hilfi sukai—kulihat Hilfi yang senyum sumringah.
Bu Ninik memasuki kelas IPA-2 kelas kami. Setelah meberi salam dan pembukaan abal-abal, akhirnya Bu Ninik memberikan hasil ulangan minggu lalu. Seketika wajah semua siswa kusut.
"Baiklah, yang dipanggil maju kedepan!" perintah Bu Ninik
Setelah semua siswa mendapatkan hasil ulangan, beberapa ada yang wajahnya kusut ada yang wajahnya sumringah. Seperti Hilfi, yang nilanya memang bagus diantara kami semua.
"Yeeey. Nilaiku 99, Alhamdulillah." Serunya mendadak alim, karena tak lupa bersyukur atas nikmat Tuhan. Aku tersenyum, nilaiku tak buruk juga.
"Kalo kalian berapa?" tanya Hilfi kepada kami semua.
"Gue gak percaya nilaiku segini. Perasaan gue ngerjain ulangan kemarin pake doa kok. Gue dapet 94." Jawab Zahra
"kalo gue lumayan, dapet 96. Gue masih ada rasa syukur atas nilai gue ini, lihat noh yang cowok sedang meratapi nasib. Kecuali si Hilman itu sih." Kata Hani sambil menunjuk kawanan cowok yang uring-uringan. Kami semua geleng-geleng kepala, jijik melihat mereka yang baku hantam dengan temanya sendiri.
Hilfi menoleh kearahku, memintaku untuk menjawab pertanyannya tadi. Aku menghela nafas.
"96, sama kayak, Hani." Jawabku. Mendengar jawabanku itu, Zara uring-uringan.
"Perasaan bobrokan lo dari pada gue. Masa gue yang nilainya rendah dari kalian semua!" serunya ketus, lalu kembali mengomel.
Aku membiarkan Zara mengomel terus, tak peduli dengan suaranya yang merdu—tetapi sedikit rusak, dan yang mendengar suaranya akan budek seketika. Aku menatap Hilfi yang berusaha menenangkan Zara.
Aku memalingkan wajah ke jendela, jendela yang mengarah ke lapangan basket. Kulihat disana ada seorang cowok yang sedang mendrible bola. Cowok tinggi dengan rambut acak-acakan, yang sedang menoleh kearah jendela kelasku. Aku salah tingkah dilihati cowok itu—sepertinya aku mengenali dia.
Benar saja, dia kakak kelasku dan mungkin mengikuti sebuah geng nakal disekolah ini. Entahlah siapa namanya, aku tak peduli. Alu Dan kembali fokus pada pelajaran.
***
Yo yo yo gaeeesss apa kabs nih? Masih semangat baca critanya swara nggak nih? HeheJangan lupa vote yah 😚😚😚 mkasih nih, maap klo typo terus.
KAMU SEDANG MEMBACA
s w a r a
RomantizmMembagi cerita tentang pengorbanan hal kecil bernama 'cinta'