16. Sebuah pantun

225 32 81
                                    

"Buku apa ini? Mengapa ada kalimat seperti itu?"

Thea terkejut saat melihat Gavin membolak-balikkan novel miliknya. Ia kira Gavin menjawab pertanyaan yang daritadi terbenam di kepalanya, rupanya lelaki itu sedang membaca novelnya.

"Hei aku bertanya, mengapa kau malah melamun?" Thea tersentak saat Gavin mengeluarkan suara dengan nada tidak 'selow'.

"Apa kau berpikiran aku sedang menjawab pertanyaan bodoh di otakmu? Tentu saja tidak! Aku tak merasakan pelukan yang terjadi di mimpimu semalam." ujarnya santai namun ia sama sekali tak mengeluarkan ekspresi apapun. Mungkin seperti itulah gambaran dirinya saat sedang berbicara dengan orang lain. Cukup, menyeramkan.

Thea membalas tatapan itu dengan sengit, disertai ucapan yang begitu dingin, "Keadaan lo sama persis kayak di mimpi gue. Begitu juga dengan luka-luka yang kali ini timbul di tubuh lo. Gue yakin semalem itu bukan mimpi tapi nyata, terlebih soal pelukan itu."

Gavin berdecih dengan sinis, "Itu mimpi, bukan nyata!"

"Kalo itu mimpi, terus semua luka lo ini kenapa hah?"

"Bukan urusanmu!"

Setelah itu Thea tak membalas lagi ucapannya, benar yang Gavin bilang, luka itu bukanlah urusan dirinya. Tapi, mengapa Thea masih penasaran. Benarkah kejadian itu hanya mimpi? Namun luka itu jelas nyata, tempat dan jenis lukanya juga sama persis seperti yang ada di dalam mimpinya.

"Banyak praktikum yang dikerjakan si Inem, Tak lupa obat dikonsumsi terlebih dahulu.
Assalamualaikum murid bapa yang menawan, Mengapa wajahnya tegang semua?"

Seorang laki-laki bertubuh gempal dengan kumis tebal disertai kepala yang begitu licin juga memantul saat terpancar matahari tiba-tiba masuk kelas sambil menyerukan sebuah pantun yang -ekhem tak layak disebut pantun.

Ya, lelaki itu adalah seorang guru Biologi bernama JB. Bukan JB alias Justin Bieber, tetapi murid di sini sering memanggilnya Joni Besar. Guru ini bukanlah sejenis guru killer semacam BuKunti atau BuRuk yang selalu bersikap humoris, tapi ia adalah guru yang paling egois seantero SMA MANDRAGUNA ini.

Setiap masuk kelas Pak JB selalu menyerukan berbagai macam pantun yang tak pernah nyambung sedikit pun. Jika ditentang mengenai pantun absurdnya maka ia tak segan untuk menghukum orang itu. Seperti sekarang, saat ada orang yang berani mengomentari pantun indahnya maka orang itu telah siap menerima hukumannya.

"Neng Ima bacanya teliti, kemudian si Ambar datang menemani.
Murid bapak yang baik hati, bagaimana kabar kalian hari ini?"

Sebelum menjawab, Aldo mengacungkan tangannya terlebih dahulu, "Tumben Pak pantunnya nyambung, biasanya gak pernah nyambung loh, wah sepertinya ini suatu keajaiban." Seisi kelas ingin sekali tertawa dengan keberanian Aldo yang mengkritik, namun mereka juga tak berani untuk menanggung resiko dari Pak JB.

Pak JB menggebrak meja, "Aldo cepat push-up 30 kali!" titahnya dan Aldo tetap bergeming di tempatnya.

"Pak Wiryo menggendong bu Cumi, Bu Ining menggendong Pak Cahya.
Wahai Aldo cepatlah laksanakan, kalo tidak nanti bapak tambah hukumannya."

Lagi-lagi guru itu mengeluarkan pantun asal-asalannya, dan tak lama dari itu Leon sahabat karib Aldo pun ikut mengangkat tangannya. "Kok pantunnya balik gak nyambung lagi Pak? Otaknya udah mentok ya?" tanyanya dengan wajah polos.

"LEON, ALDO! KELUAR KALIAN DARI PELAJARAN SAYA SEKARANG JUGA!"

Bukannya takut, Leon maupun Aldo malah dengan senang hati mengangguki perintah Pak JB, "Siapppp komandan boss!" ucap keduanya tegas sambil mengangkat tangan seraya hormat. Kemudian mereka langsung berlari karena tahu guru yang dijailinya akan mengamuk sebentar lagi.

BUKAN MAUKU! [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang