17. Lelaki misterius

187 30 75
                                    

Bel pulang telah berbunyi sejak satu jam yang lalu, namun Thea belum beranjak sedikit pun dari kursinya. Untungnya saat ini ia tak diganggu oleh makhluk apapun.

Thea heran, semenjak istirahat tadi Gavin tak kembali ke kelas, tas nya juga tak ada. Ini adalah kali kedua Gavin menghilang seperti itu. Awalnya Thea merasa biasa saja, namun lama-kelamaan ia jadi merasa aneh dengan tingkah lelaki itu.

Semua ini berawal dari mimpi semalam, berawal dari luka-luka di tubuh Gavin. Jika yang di mimpinya adalah nyata, apa mungkin luka yang Gavin dapat itu akibat pertempuran? Lalu apa mungkin jika ia sedang diincar oleh segerombolan orang yang ada di mimpinya? Mereka juga menyebut Gavin sebagai pangeran. Apa maksudnya? Apa pangeran itu seperti yang berada di Putri Salju? Ataukah Cinderella? Atau seperti di film Barbie? Ah tidak-tidak Thea harus segera menyingkirkan pikiran konyol itu.

Thea memutuskan untuk segera pulang setelah menyelesaikan tugas sekolah dan edisi merenungnya. Aneh, baru jam segini sekolah sudah lumayan sepi, dan lagi-lagi mengapa hari ini Farel tidak mengecek ruangan satu per satu seperti biasa?

Akhirnya Thea memilih untuk melewati jalan yang terhubung dengan taman belakang sekolah, entah apa alasannya namun seperti ada panggilan tertentu yang mengharuskan Thea melewati taman ini.

Samar-samar Thea mendengar sebuah rintihan kecil, mungkin jika orang lain tidak akan mendengarnya. Rintihan itu semakin lama semakin terdengar memilukan. Perlahan Thea menghampiri asal sumber suara itu. Belakang kursi taman. Ya, suara itu berasal dari sana. Thea bimbang antara harus menghampiri atau meninggalkan, ia merasa bahwa atmosfer di sini mendadak berubah tidak enak.

"Arrssshhh!" Erangan itu terdengar jelas di telinga Thea, mau tak mau ia langsung berlari ke sana. Saat tahu siapa orang yang sedang terbaring lemah itu, Thea benar-benar kaget bukan main.

Perut lelaki itu mengeluarkan banyak darah, namun anehnya darah itu berwarna merah kehitaman bahkan yang lebih dominan adalah warna hitam. Ah ini bukan saatnya Thea mempermasalahkan itu, ia harus segera membantunya.

"Gavin lo kenapa?"

Gavin mendongak, Thea bisa melihat wajah lelaki yang biasanya menatap tajam dan pucat berubah 5 kali lipat dari biasanya. Tatapan matanya sayu, bahkan terlihat berkaca-kaca. Bibirnya memutih nyaris tak berwarna lagi, tangannya gemetar disertai banyak darah yang ia digunakan untuk menahan sakit di perutnya.

Thea segera mengangkat lengan Gavin ke bahunya, dengan sekuat tenaga ia mengangkat tubuh kekar Gavin agar kuat untuk sekedar berdiri. Ia langsung membopong Gavin menuju UKS, namun sial ruang UKS telah terkunci.

"Damn UKS nya dikunci!" umpat Thea dengan kesal.

"Gavin plis lo tahan dulu sebentar, gue usahain buat dobrak pintunya." Thea mendudukkan Gavin di kursi dekat pintu UKS. Ia mendobrak pintu itu dengan mengandalkan sisa tenaganya. Lagi-lagi pintunya terlalu sulit untuk Thea dobrak.

Gavin yang melihat itu merasa sedikit tak tega, lalu dengan sisa kesadarannya Gavin menatap kenop pintu yang telah terkunci sampai akhirnya tiba-tiba terbuka.

Thea yang melihat pintu terbuka dengan sendirinya mendadak heran dan hanya bisa melongo beberapa saat. Namun ia langsung sadar dan membawa Gavin masuk ke dalam.

Thea membaringkan Gavin di ranjang UKS, lalu membuka seragam yang masih melekat di tubuhnya. Ia mengambil pembalut cepat untuk menutup tekan dan menahan agar pendarahannya berhenti mengalir. Thea masih ingat cara mengobati pendarahan seperti ini, karena waktu SMP dulu ia sempat mengikuti ekstrakulikuler PMR di bidang pertolongan pertama, bahkan ia menjabat sebagai ketuanya.

Setelah pendarahannya berhenti, ia segera membersihkan luka itu menggunakan rivanol agar tidak infeksi. Setelah dirasa bersih Thea pun memberikan antiseptik lalu membalut lukanya menggunakan perban dan plester.

Sedangkan Gavin, ia hanya menatap gadis di hadapannya yang terlihat begitu khawatir dengan pandangan takjub. Ternyata masih ada orang yang perduli kepadanya, Gavin pikir semua orang tak ada yang perduli bahkan tak ada yang menganggap dirinya lagi, ternyata gadis yang terkenal dingin dan menyeramkan itu mempunyai hati yang begitu baik.

"Lukanya udah gue perban, lo harus rajin ganti dan kalo bisa lo langsung periksa aja ke dokter, gue takut malah jadi infeksi."

Gavin tak menjawab ucapan Thea, ia masih sibuk mengamati wajah Thea yang terlihat begitu mengagumkan di matanya. Saat Thea sadar Gavin tak menanggapi ucapannya, ia lalu mendongak dan terkejut saat Gavin menatapnya secara intens. Seperti biasa Thea tak dapat melepaskan tatapan itu, namun anehnya ia tak merasa menggigil sama sekali.

Bisa Thea sadari bahwa kali ini bukan tatapan tajam yang biasa Gavin berikan untuknya, namun tatapan lembut dan tulus yang begitu dalam. Thea semakin lama semakin hanyut dengan tatapan lelaki berwarna mata hijau jernih itu. Ia menemukan banyak sekali kesedihan yang lelaki ini pendam sendiri, namun sekali lagi Thea tegaskan, ia tak bisa menebak apapun tentang semua yang ada dalam diri lelaki itu.

Senyuman yang tak pernah Thea lihat bahkan tak pernah lelaki ini tunjukkan pada siapa pun kini terbit di bibir pucatnya, "Thanks."

Mau tak mau senyuman itu menular di bibir Thea, senyuman yang juga sudah lama tak ia tunjukkan di depan orang lain, "Yeah."

"Mau pulang atau istirahat dulu di sini?"

Thea menautkan kedua alisnya, aneh bukankah harusnya kata itu diucapkan oleh dirinya?

"Harusnya gue yang tanya, lo mau langsung pulang atau istirahat dulu di sini?"

"Sebelum pulang kau harus membersihkan dulu darah di jaketmu!" Thea melirik jaketnya, ah ternyata benar terdapat beberapa bercak darah di sana. Namun ia tak menghiraukan hal itu, yang ada Thea malah mempertanyakan suatu hal yang daritadi mengganjal di pikirannya.

"Vin gue boleh tanya sesuatu gak?"

"Kenapa?"

"Ini adalah kali kedua lo menghilang setelah istirahat, sebenernya lo pergi ke mana? Dan kenapa lo bisa kesakitan kayak tadi? Siapa yang udah nusuk perut lo sampai parah gitu? Gue juga bingung kenapa darah lo warnanya bukan merah pekat tapi malah merah kehitaman bahkan yang dominan itu warna hitamnya. Gue juga masih bingung kenapa pintu UKS yang jelas-jelas dikunci bisa terbuka secara tiba-tiba. Kenapa? Apa lo bisa jelasin semua itu?"

Gavin yang mendengar rentetan pertanyaan itu hanya bisa bungkam, lalu kembali dengan tatapan tajam dan rahang mengeras, "Tak tahu. Aku permisi pulang dulu, dan kau cepat pulang ke rumah!"

Setelah itu Thea hanya bisa berdiam diri saat Gavin pergi meninggalkannya.

"Kenapa dia berubah ketus lagi?" Thea masih bertanya-tanya di dalam hati, belum tuntas rasa penasarannya sekarang rasa penasaran lain bertambah di kepalanya. Thea merasa ada banyak hal yang lelaki itu sembunyikan, ia seperti mempunyai misteri tersendiri yang belum bisa dipecahkan. Mengapa Thea harus bertemu dengan lelaki misterius seperti Gavin?

-o0o-

BUKAN MAUKU! [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang