Part 1

36 4 0
                                    

2015

"Woi, Rai. Bengong terus deh lo, kenapa sih? Sini cerita sama gue." Kata Salsa, teman sebangku sekaligus sahabatku.

"Gak apa-apa. Gausah lebay deh lo. Tiap hari juga gue bengong."

"Ya makanya itu, gabaik loh Rai bengong terus. Pasti masih mikirin Fakhri ya?" Tebaknya dan memang selalu benar, aku menjawab Salsa dengan anggukan.

"Udah sih, Rai lo gausah pikirin dia lagi. Belom tentu dia mikirin lo. Lagian juga yang putusin dia. Nanti dia kok yang nyesel." Wejangan Salsa di pagi hari ini membuatku sedikit tersadar. Iya juga sih, ngapain ya aku pikirin orang yang sama sekali ga mikirin aku?

"Yaudah ah yok temenin gua ke kantin." Ajak Salsa yang langsung menarik tanganku.

Dengan langkah malas aku menuju kantin bersama Salsa. Ditengah jalan kami berpapasan dengan Fakhri. Aduh, mati aku. Aku gak mau nangis disini. Tolong aku Tuhan. Jangan nyapa, jangan nyapa. Ucapku dalam hati, berharap dia tak menyapaku.

"Eh halo Rai, Sal."

Benar saja Fakhri menyapa. Hancur sudah. Hancur. Dinding pertahananku hancur sudah. Mataku mulai berkaca-kaca. Tuhan, aku gak mau nangis disini.

"Gak usah nyapa-nyapa gitu deh lo. Yuk Rai pergi aja." Salsa sepertinya tau bahwa aku sudah tak kuat.

"Sal, gue ke toilet dulu ya. Nanti abis lo beli makanan langsung ke kelas aja gak usah nunggu gue."

Ku langkahkan kaki dengan panjang menuju toilet yang berada tidak jauh dari kantin. Ini sebenarnya toilet tamu campuran bukan untuk siswa. Tapi karena terdekat dari kantin, biasanya  anak-anak memakai toilet ini. Di dalamnya hanya terdapat tiga bilik toilet. Diantara tiga bilik toilet sekarang tidak ada satu pun yang kosong. Aku benar-benar tidak mau orang melihat aku nangis disini. Tahan sebentar lagi ya air mata. Harapku menguatkan dalam hati. Tapi ternyata mataku tidak mau mendengarkan.

Tes.

Air mataku jatuh, semakin lama semakin mengalir. Aku gak kuat lagi.

Hiks. Hiks. Hiks.

"Hei hei, lo kenapa?" Tanya seseorang, karena menunduk aku tak melihat siapa itu. Tapi sepertinya dia baru keluar dari depan bilik toilet yang sedang aku tunggu.

"Hiks. Hiks."

"Hei, udah dong nangisnya. Gue udah selesai kok pake kamar mandinya. Lo pasti nahan ya? Nih silahkan masuk."

"Huaaaaa." Tanpa sadar tangisanku malah pecah. Betapa memalukannya aku menangis seperti ini di depan orang yang bahkan aku gak kenal.

"Udah dong. Nanti disangka gue ngapa—"

"Woi Rei. Lo apain nih anak?"

"Parah sih lo Rei."

Suaranya keluar dari dua bilik lainnya. Bagaimana ini? Aku sangat malu. Refleks aku masuk ke bilik yang ada di depanku tadi. Semoga dua orang tadi tidak mengenaliku.

"Woi Rai lama banget sih." Kata Salsa sesampainya aku ke kelas setelah kejadian memalukan tadi.

"Hehe, maaf."

"Yaudah gak apa-apa. By the way, Rai lo kan anak paskib, kenal ga sama Fathan?"

Aku menggeleng, "enggak, kenapa?"

"Eh salah deh, dia kayaknya anak pramuka."

"Deh gajelas deh lo. Kenapa lo nanyain dia emang?"

"Lo pasti tau. Dia ganteng banget Rai, asli. Terus dia–" obrolan ini pun berlanjut dengan Salsa menceritakan tentang Fathan kepadaku sampai guru masuk untuk memberikan pelajaran.

Keep or Release (Pending)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang