Pagi ini Fathur telah rapih dengan seragam yang sudah bertengger di tubuh tegapnya. Sebenarnya jauh dari kata rapih, lebih tepatnya seragam berantakan yang tidak sesuai dengan peraturan di sekolah. Semalam keempat temannya memutuskan menumpang tidur untuk satu malam. Karena katanya mereka malas membawa motor dalam keadaan mengantuk.
Saat hendak pergi ke dapur, Fathur bertemu dengan Jalu yang baru bangun. Terlihat rambut Jalu yang berantakan serta tato laba-laba di dada kanannya.
Setelah tiba di dapur, Fathur menuang segelas susu dingin untuk dirinya dan segelas air putih untuk Jalu. Ia berjalan menghampiri temannya yang duduk di kursi bar.
“Yang lain mana?” tanya Fathur sembari memberikan gelas berisi air putih ke hadapan Jalu.
“Mati,” jawab Jalu dengan santainya.
Jalu dan Fathur memiliki kepribadian yang sama. Sama sama cuek dan terkesan tidak perduli dengan sekitar. Karena kepribadian itulah mereka sering dikira tidak akur, padahal nyatanya mereka sangat dekat.
“Gue duluan.”
Setelah menghabiskan susunya, Fathur berjalan menuju parkiran mobil yang ada di basemen rumahnya. Entah kenapa hari ini Fathur merasa ingin menggunakan mobil yang selama ini tersimpan di garasi cukup lama. Mobil itu hadiah dari balap liar yang ia menangkan saat kelas sepuluh.
Fathur melajukan mobilnya meninggalkan pekarangan rumah. Alunan lagu dari radio serta suara klakson kendaraan lain menemani perjalanan Fathur pagi ini. Dan kurang dari sepuluh menit, mobil hitam itu telah terparkir rapi di parkiran khusus mobil.
Setelah memastikan penampilannya, cowok itu keluar dari mobil dan berjalan menyusuri koridor lantai satu yang dipenuhi anak kelas sepuluh. Saat hendak menaiki tangga, seseorang menahan lengan kirinya. Membuat cowok berambut hitam itu menoleh ke samping dan menemukan seorang gadis tengah menatapnya dengan senyum manis.
“Selamat pagi,” sapa gadis itu.
“Apa kabar Fathur? Maaf ya gue seminggu ini gak nemenin lo di sekolah karena gue diminta Bu Wati buat ikut lomba paduan suara. Gue tau Lo kang—”
“Vin, stop!"
Gadis yang tengah memegang lengannya itu masih saja menatapnya. Dia adalah Vindy Valerie, anak kelas dua belas yang menyukai Fathur sejak tiga tahun yang lalu.
“Kenapa sih? kan gue mau jelasin ke lo tentang hari hari gue satu minggu ini tanpa lo di sekitar gue.”
“Tadi naik mobil ya? Kok tumben? Motor lo kemana?”
“Eh iya Thur, malem minggu nanti temenin gue nyari kado buat mama mau nggak? Lo gak sibuk kan?”
Fathur menghela nafasnya pelan, rentetan pertanyaan Vindy membuat moodnya memburuk. Fathur jelas sadar dengan perasaan Vindy terhadapnya. Namun ia tidak bisa menerima gadis itu karena Fathur sendiri tidak memiliki perasaan apapun terhadapnya.
“Gue gak bisa.”
Setelah mengatakan itu Fathur berlalu begitu saja meninggalkan Vindy yang terdiam di tempatnya. Gadis itu menatap punggung Fathur yang semakin menjauh dari dirinya. Nyatanya sudah hampir tiga tahun ia masih juga belum bisa mendapatkan hati Fathur.
Sesulit itu kah?
Namun bukan Vindy namanya jika hanya karena hal ini ia menyerah. Gadis itu langsung membesarkan langkahnya untuk mengejar Fathur. Ia harus bisa membujuk cowok itu agar mau menemaninya walau dengan cara apapun.
“Thur cuma sebentar kok, gue janji gak bakal lama.”
Sembari berbicara Vindy masih terus berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah Fathur yang lebar. Ia tersenyum senang saat Fathur menghentikan langkahnya tepat di depan kelas cowok itu. Tatapan mata yang tajam sangat membuat Vindy merasa terancam. Namun ia tidak memperdulikan hal itu.
“Berhenti ganggu hidup gue Vindy. Kelakuan lo bikin gue muak!" ucap Fathur kepada gadis di sebelahnya.
“Pergi dari sini dan berhenti ngikutin gue!!”
Namun seolah ucapannya seperti tak memiliki arti apapun. Vindy masih tetap di tempatnya, gadis itu menatap wajah tampan Fathur dengan penuh cinta. Bahkan bibirnya masih setia menunjukkan senyum manis walau hatinya ingin sekali menangis saat ini juga.
“Apa masih kurang jelas semua yang gue lakuin ke lo?Apa lo masih belum paham kalau gue suka sama lo?”
“Gue tau.”
“Terus kenapa? Kenapa lo diem aja? Kenapa lo gak ngerasain hal yang sama kayak gue? Kenapa cuma gue doang yang ngerasain Thur? Jawab!!”
“Lo tau jawabannya.”
“Enggak!” Vindy menghapus kasar air mata yang membasahi pipi mulusnya.
“Gue gak tau jawaban apapun dari semua pertanyaan gue. Gue gak pernah tau!!”
“Oke bakal gue kasih tau.”
Fathur menatap orang orang yang menonton perdebatan mereka dari sudut matanya. Cowok itu mendekat ke arah Vindy, mendekatkan bibirnya pada telinga gadis itu.
“Karena gue gak pernah suka sama lo!”
Setelah membisikkan gadis di hadapannya, Fathur langsung masuk ke dalam kelas meninggalkan Vindy yang masih terdiam setelah mendengar ucapan Fathur. Gadis itu meremas rok abu-abunya sembari menunduk menatap lantai dengan pandangan kosong. Fathur telah mematahkan hatinya.
—