Bagian 1

14 5 0
                                    


Bandung, 15 april 2002
Baru menginjak kelas 1 SMA semester genap, aku Della Azahra anak yang periang, suka bergaul dengan siapa saja,aku juga anak yang menaati peraturan dan tak pernah berkata kasar. Itu semua berkat didikan ibuku yang dulu aku bilang hebat. Aku memenangkan juara umum ke dua saat menginjak kelas 1 SMP. Dan saat aku naik ke kelas 2 nilai ku menurun semua, begitu juga dengan peringkat ku. Aku menjadi peringkat ke 3. Sampai pada akhir aku kelas 3 semuanya benar-benar hancur. Entah itu tentang nilai, kehidupan, ataupun keluarga. Hingga terlintas dibenaku untuk mengakhiri hidupku sendiri. Aku benar-benar rapuh saat itu, semuanya hancur karena orang tuaku yang egois. Tunggu!, aku pikir aku tak pantas menyebut mereka sebagai orang tua. Sikapnya juga labil toh. Jika benar mereka telah dewasa, perceraian bukanlah jalan yang akan mereka ambil. Dan semenjak saat itu aku hancur! Aku berpikir tak akan pernah ada lagi kasih sayang. Semuanya telah berakhir, aku ingin semuanya berakhir.bapak yang pergi kerumah ibunya dengan adikku. Bahkan sekarang dia telah memiliki kekasih, kekasihnya pun seumuran denganku. Ibu, dia pergi lagi ke Dubai. Dia seorang TKW, alasan dia pergi adalah cita citaku dulu. Iyah itu dulu saat aku masih mempunyai keluarga yang utuh. Dulu aku yang ingin menjadi dokter Karen ingin merawat orang tuaku dengan benar tapi sekarang berbeda. Aku tak ingin menjadi dokter, biarkan saja kekasih mereka yang merawat mereka masing masing. Pasti mereka Takan membutuhkan ku juga toh. Maka dari itu, aku hidup sendiri. Aku tak tahan dengan kehidupanku, tinggal seorang diri dirumah dengan bekal seadanya. Siapa yang Sudi menjadi aku sedetik saja? Takan pernah ada!.

Kringgggg,,,kringgggg,,, kringgggg......
Suara yang selalu membangunkan ku setiap pagi. Aku beranjak dari tempat tidurku dan berjalan menuju kamar mandi. Bergegas bersiap pergi ke sekolah. Aku segera memakai seragam sekolah ku dengan rok pendek selutut. Tas berwarna hitam yang setia menemaniku dari semester 1. Aku melangkah melihat isi kulkas dan alhasil nihil, tak ada sedikitpun persediaan makanan didalam nya. Aku melihat sebotol air dingin. "Mungkin air bisa mengganjal rasa laparku." Kembali ku letakan sebotol air dingin itu.

Tepat ketika aku sampai disekolah, bel tanda masuk kelas pun berbunyi. Masih untung aku tidak terlambat.
"Heii del?" Sapa seorang gadis cantik yang bertubuh jangkung bagaikan model. Dengan kulit putih dan make up yang senada, berbeda jauh dengan ku yang hanya memakai bedak bayi saja karena tak mempunyai cukup uang untuk membeli pencuci wajah ataupun kecantikan sederhana sekalipun.
"Sherin, ada apa?" Ya gadis cantik itu bernama Sherin. Dia teman sekelasku, aku akarab dengannya semenjak pengumuman peringkat semester 1. Dan aku mendapatkan peringkat 3, maka dari itu dia menjadi sering menyapaku. Pedahal dia jauh lebih pintar dari pada aku, buktinya dia memenangkan peringkat 2.
"Nanti ada tugas kelompok, kamu mau sama siapa? Kalo gak keberatan sama aku aja, gimana?" Ajak Sherin.
"Boleh" aku menjawab dengan anggukan juga.

Bel istirahat pun berbunyi, semua siswa langsung berhamburan menuju kantin.
"Del, kantin yu." Ajak Yolla teman sebangku ku.
"Aku harus ke perpus, kamu duluan aja."
"Ke perpus sama siapa?"
"Bareng Mia sama Yanti aja. Mau ikut?"
"Mau sih tapi aku laper, entar aja deh nyusul kalo sempet."
Aku hanya mengangguk kemudian melangkah pergi meninggalkan kelas bersama Mia dan Yanti. Mereka berdua sering ke perpus, entah itu untuk baca buku ataupun nge Wi-Fi doang. Begitu pun dengan aku, aku sendiri alasan memilih ke perpus untuk menghindari kantin. Aku lapar, sangat lapar tapi uangku mana cukup untuk membeli makanan dikantin. Lebih baik aku belikan tepung terigu saja untuk lauk makan nanti dirumah.

Sore hari dengan senja yang begitu indah. Tidak seperti aku yang kacau dan tidak berguna. Aku berjalan menyusuri gang sempit nan kumuh tanpa penerang dengan tas sekolah yang masih setia dipunggung ku.
Aku berdiri tepat diambang pintu rumah yang kecil. Aku membuka gembok yang ku pasangkan saat berangkat sekolah. Setelah berhasil, aku langsung menuju kamar mandi untuk sekedar membasuh muka dengan air segar. Sebelum aku hendak ke kamar, kulirik rice cooker yang telah lumayan tua itu. Aku membukanya, terlihat nasi yang mengering dan mengeluarkan bau tak sedap. Aku menghela nafas panjang, kemudian aku membersihkan dulu rice cooker itu dan ku isi dengan beras yang akan dimasak lagi. Memang rice cooker itu sudah sedikit rusak, jika saja aku telat mengangkat nasi yang telah matang, nasinya akan berubah menjadi kekuningan dan bau. Selesai dengan urusan rice cooker, aku langsung mengganti pakaianku.
Aku memasuki ruangan sempit, bahkan sangat sempit yang didalamnya terdapat kasur kecil tanpa ranjang dan lemari dua pintu yang sudah tua. "Ck, Banyak yang sudah tua dirumah ini." Aku bergumam sembari memakai pakaian santai. Kaos putih pendek dengan celana Levis pendek hasil aku potong karena bawahnya sudah rusak. Aku kembali ke dapur, melirik kulkas yang dalamnya kosong. Aku bergegas keluar untuk pergi ke warung kecil yang menyediakan tepung terigu kiloan. Sesampainya aku di warung, banyak ibu ibu yang sedang belanja disana.
"Bu, saya beli tepung terigu 1/4 kilo."
"Sebentar ya neng,....ini neng."
"Berapa Bu?"
"Dua ribu aja neng."
"Tambah telurnya satu Bu."
"Ini neng, jadi empat ribu lima ratus."
"Ini uang nya bu, makasih."
Aku lantas pergi dari kerumunan mata yang terus menatapku seolah aku ini manusia hina.
"Telur satu terigu ya 1/4 kilo, emang sehat?"
"Yah maklum lah Ceu, mungkin gak punya uang buat beli makanan yang lebih layak."
"Iyah bener ceu, kebayang deh kalo anak saya kaya gitu, duh kasian banget."
"Emang yah itu ibunya gak punya otak banget. Nyari uang sih nyari uang tapi gak sampe anak ditelantarin kaya gini juga kan kasian."
"Iyah tuh udah berapa kali ibunya berangkat jadi TKW? Perasaan tetep aja tuh gak kaya kaya."
Itulah bisikan ibu ibu yang kudengar saat aku hendak melangkah pergi menjauh. Tak terasa ternyata ada butiran bening yang jatuh dari kelopak mataku. Aku mengusapnya gusar. "Asal kalian tau, semuanya tak seperti yang kalian bayangkan. Bahkan aku juga membenci bapak dan ibuku sendiri." Gumam ku yang nyaris Takan ada yang mendengar.

Setelah sampai kembali dirumah kecilku ini, aku langsung memasak telur dicampur dengan tepung terigu. Aku mengocok telur kemudian memasukan tepung terigu nya. Kemudian aku menuangkan minyak yang masih tersisa dalam mangkuk kecil bekas Minggu kemarin aku memasak telur. Setelah masakanku selesai, aku melirik rice cooker nya. Nasinya masih belum matang, aku menunggunya sambil duduk didepan meja kecil yang aku buat dari kayu yang tak terpakai. Lebih tepatnya aku duduk dilantai.

Hari sudah petang, tapi nasi masih belum matang. Aku menghela nafas, "terakhir aku makan nasi itu Minggu kemarin dengan telur yang diberikan tetangga." Aku menutup mataku, meresapi kepedihan yang aku tanggung setiap harinya. Aku sengaja memejamkan mataku agar tak ada butiran bening yang lolos keluar lagi seperti saat aku pergi dari warung. Tapi ternyata rencanaku gagal, butiran bening ini sangat Bandel, dia ternyata tetap lolos keluar lagi. "Aku pikir, kantung mataku bocor." Aku mengusap butiran bening ini.

Klekk..
Sontak aku melihat rice cooker nya. Ternyata nasinya sudah matang. Aku langsung menanak nasinya. Aku mengambil nasi yang telah matang dengan telur terigu tadi. Aku melahap nasi putih dengan telur yang tak berasa telur ini. Aku tetap mengunyahnya. jika tidak, aku akan terus didemo cacing cacing yang berdiam diri diperut ku.

"Gadis malang yang berusaha terlihat bahagia dan tak ada luka, itu aku!"
_Angkara Dwi Ningsih_

Because I'm differentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang