21. Interogasi

204 9 0
                                    

Koridor sedang lengang. Aku sengaja bolos dari kelas dengan dalih mau ke toilet, padahal aku ingin melihat Kanaya sedang berolah raga. Aku duduk di bangku dekat pohon mangga. Dia dan teman-temannya sedang melakukan pemanasan. Wajahnya yang diguyur sinar matahari terlihat bercahaya. Ah, dia sungguh cantik. Jika boleh melebih-lebihkan, mungkin dia setingkat diatas bidadari. Aku melambaikan tangan ketika tanpa sengaja matanya menangkapku, Namun, dia tak mengindahkan. Oke, mungkin dia enggan membalasnya karena tangannya sibuk melakukan pemanasan.

"Hai, kak." Seseorang menyapaku dari belakang. Begitu menoleh, kudapati Anisa tengah tersenyum. Aku ikut tersenyum. "Hai, Nis." Dia duduk di sampingku.

Dahiku terlipat.
"Loh, kok duduk?"

"Loh, emangnya gak boleh?"

"Bukan, maksud aku, kok kamu gak di kelas?"

Dia tersenyum. Dia selalu tersenyum, wajahnya manis, imut, apalagi kalau tersenyum gigi gingsulnya selalu tampak.
"Kelas sedang kosong. Gurunya lagi gak hadir hari ini," jawabnya sambil ikut menonton mereka yang sedang berolah raga.
"Kakak sendiri ngapain di sini?"

"Bolos."

Anisa tertawa kecil, aku juga, dia menatapku, kami berdua bertatapan.
"Lagi males belajar soalnya," kataku melanjutkan.

Dia tidak menjawabku, alih-alih terus memandangku. Aku tidak grogi dengan tatapannya seperti itu, aku tidak pernah grogi ketika berhadapan dengan perempuan, justru aku yang selalu membuat mereka grogi dan salah tingkah, terserah kalian mau mengatakan aku terlalu kepedean, tapi rasanya memang itu yang kurasakan.

Peluit di tiup satu kali oleh pak Abdi- guru olah raga, tanda permainan dimulai. Aku bersorak sambil bertepuk tangan. Pelajaran olah raga kali ini bola voli. Aku antusias melihat Kanaya men-service bola.
"Semangat, Nay!!" Teriakku. Kanaya menoleh, tapi dengan tatapan datar.

"Nay?" Anisa berekspresi tanya.
"Nay, kak Naya?" Tanyanya kepadaku yang masih memandang Kanaya.

Aku mengangguk cepat, menolehnya sebentar, lantas kembali pada Kanaya yang sekarang menggerakan tangannya begitu menerima operan bola.
"Semangat, Nay!!" Seruku sekali lagi, membuat sang pemilik nama kembali menoleh. Namun, lagi-lagi Kanaya tak memberi ekspresi barang senyuman. Apakah dia tidak suka aku ada disini? Mungkinkah dia risi dan malu sama teman-temannya? Atau jangan-jangan...
Aku menoleh ke samping pada Anisa, gadis itu masih menatapku tanpa bicara. Mungkinkah Kanaya cemburu, melihatku duduk berdua dengan Anisa?

"Kenapa?" Tanyaku pada Anisa.

"Kenapa apanya?"

"Kenapa kamu terus ngeliatin aku kayak gitu?" Sepertinya Anisa menyukaiku, aku sudah menduganya ketika pertama kali aku berkenalan dengannya, terlihat dari tatapan matanya yang menurutku berbeda dari tatapannya kepada laki-laki lain. Oke, terserah jika kalian masih menganggapku kepedan, tapi lihatlah, tatapannya seolah mendamba ketika melihatku, dia juga sering menemuiku di kantin makan dalam satu meja.

Anisa terkekeh. Dia menggeleng, lantas  kembali menatapku.
"Kak Arkan suka ya sama kak Naya?"

Aku kembali menoleh, mengangguk.
"Dia pacarku."
Ah, rasanya tidak tega aku mengatakan itu. Mungkin Anisa sakit hati, tapi memang itu kenyataannya aku mencintai Kanaya, aku bangga sudah memilikinya sekarang, lagi pula aku berharap dengan mengatakan itu Anisa tidak banyak berharap kepadaku.

Anisa terdiam, dia menunduk, mengayun-ayunkan kaki, menimbulkan suara gesekan-gesekan sepatunya.
"Kenapa?" Tanyaku.

"Gak pa-pa." Dia mendongak dan tersenyum.
"Aku balik ke kelas ya, kak," ucapnya sambil bangkit dan bergegas menuju kelasnya.

_

"Hai." Aku menghampiri Kanaya yang sedang duduk sendirian di kantin menikmati nasi goreng. Aku mengambil tempat duduk di depannya.
"Kok gak ngajak sih?"

"Harus ya?" Jawabnya. Nadanya terdengar ketus. Bukan ketus, lebih terdengar datar tapi dingin. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang.
"Kan kita pacaran," ucapku dan tersenyum.

"Tapi aku bukan cewek alay yang kemana-mana harus bareng sama pacarnya," jawabnya lagi.

Aku berusaha untuk tetap tenang. Berusaha berbicara tanpa membuatnya semakin marah. Aku hendak membuka mulut untuk mulai bertanya 'kenapa?' Tapi hal itu urung ketika Bagas datang menyodorkan selember kertas, disana tertulis tulisan tangan bu Asri.
"Bu Asri nyuruh lo bikin makalah tentang anatomi tubuh manusia. Katanya itu hukuman buat lo karena tadi bolos dari kelas." Aku mendongak, menatap cecunguk itu tersenyum sinis.

Sebelum pergi, Bagas menatap Kanaya yang saat ini menatap kosong kertas di depanku.
"Hai, Nay," sapanya pada Kanaya, membuat dia menoleh dan tersenyum. Sial, Kanaya tersenyum pada Bagas, kenapa kepadaku tidak?
"Hai, Gas." Dan dia membalas sapaan Bagas dengan ramah. Bagas tersenyum dan berlalu pergi. Bangsat! Cecunguk itu semakin membuat keruh suasana hati saja.

Sepeninggal Bagas, aku menatap Kanaya yang kembali berekspresi datar. Aku melipat kertas dari bu Asri dan menjejalkannya kedalam saku.
"Kamu..."

"Kenapa tadi bolos dari kelas?"
Kanaya menyela cepat, memotong ucapanku. Dia menyendok nasi goreng dan memakannya tanpa membalas tatapanku. Jujur, aku sangat bingung. Nyaliku tiba-tiba ciut untuk mengeluarkan kata-kata barang sepatah.

Dia mendongak, menatapku dengan alis terangkat seolah sedang mengintrogasi.
"Hm? Kenapa? Kok gak dijawab?"

"Karena aku ingin melihat kamu."

"Melihatku olah raga?"

"Iya."

"Penting ya?"

"Buatku penting."

"Dimana pentingnya?"

"Aku cuma kangen sama kamu."

"Lebay."
Aku menelan ludah mendengar katanya barusan. Lebay? Mungkin itu benar. Tapi aku hanya seorang anak SMA yang memiliki pikiran bahwa tidak ada hal yang lebih indah untuk dipikirkan selain cinta. Menurutku, Kanaya terlalu serius menghadapi ini. Ayolah, Nay, tadi aku hanya ingin bertemu denganmu. Jika boleh melebih-lebihkan, aku tidak bisa tidak memikirkanmu barang satu detik, kamu selalu memadati pikiranku, rasanya hampir gila.
"Kamu marah sama aku gara-gara itu?"

"Menurut kamu?" Nadanya naik beberapa oktaf, tapi aku masih berusaha tenang. Tak ada sedikit pun niat untuk mengimbangi nada bicaranya yang mulai meninggi.
"Aku pikir kamu marah karena cemburu melihat aku dengan Anisa."

Kanaya tersenyum kecut.
"Cemburu? Untuk apa?"
Mendengar ucapannya yang itu, membuat hatiku serasa ditikam sesuatu. Jika Kanaya tak cemburu, apa itu artinya dia tidak sungguh mencintaiku?
"Jadi kamu tidak cemburu?"

"Tidak."

Aku terdiam.

Kanaya menghela napas, meneguk minumannya, dan menatapku.
"Aku bukan cewek posesif yang melarang kamu untuk berbicara dengan siapa pun, Arkan." Nada bicaranya kembali normal. "Aku gak mau kamu seperti tadi, bolos dari kelas cuma untuk melihat aku. Buktinya sekarang kamu dapat hukuman, kan, dari bu Asri."

Rupanya dia hanya cemas, sikapnya seperti itu adalah bukti bahwa dia perhatian kepadaku. Aku tidak banyak bicara, lebih banyak diam dan berpikir menciptakan ilusi-ilusi bahwa Kanaya tidan benar-benar mencintaiku, tapi ternyata pikiranku memang salah.
"Maaf," kataku sambil kembali menunduk.

Mengejar BidadariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang