Aku menikah di usia yang masih sangat muda, 19 tahun dan suamiku kala itu berusia 22 tahun. Saat itu aku baru saja menduduki bangku universitas semester pertama. Dan Kim Bum suamiku sudah berada di tingkat akhir. Karena cinta yang menggebu membuat kami lepas kontrol hingga menghasilkan janin yang sedang tumbuh di rahimku.
Saat itu kami sama-sama jauh dari orang tua. Orang tuaku tinggal di Daegu, dan orang tua Kim Bum tinggal di Busan, sementara kami di Seoul sebagai anak kost-kostan yang sedang melanjutkan pendidikan. Mungkin karena tidak adanya pengawasan dari orang tua membuat kami bebas dan lepas kendali.
Tapi di balik itu semua, cinta kami tumbuh kuat dan kokoh. Hingga kami berdua memutuskan untuk menikah dan membesarkan bersama anak kami.
Baik orang tuaku ataupun orang tua Kim Bum menentang keputusan kami. Mereka tak setuju, menganggap kami masih terlalu muda untuk memasuki kehidupan pernikahan. Bahkan orang tua Kim Bum sangat keras menentangnya kala itu di karenakan mereka telah menjodohkan Kim Bum dengan anak salah satu kerabat mereka, membuat orang tuanya terutama eommanya memintaku untuk menggugurkan kandunganku. Tapi beruntung Kim Bum orang yang teguh pendirian, dia menolak permintaan orang tuanya dan tetap menikahiku.
Di awal pernikahan, secara materi hidup kami pas-pasan, tapi kami hidup bahagia. Aku masih menerima jatah bulanan dari orang tuaku, begitupun dengan Kim Bum. Dari situlah kami hidup sehari-hari. Beruntung Kim Bum berasal dari keluarga yang tergolong lebih mampu dari keluargaku, dan dia juga anak tunggal, jadi kiriman orang tuanya melebihi jatah bulanan dari orang tuaku. Walau perutku kian hari kian membesar, aku masih terus melanjutkan kuliahku, begitu juga dengan Kim Bum.
Selesai kuliah, Kim Bum mulai mencari pekerjaan. Dan beruntung ia di terima di sebuah perusahaan yang cukup besar dengan gaji yang memadai. Semua itu menjadikan kami hidup berkecukupan. Kami sudah memiliki sebuah rumah sederhana, juga satu mobil, walau masih mencicil.
Di tahun ke enam pernikahan, rumah tangga kami mulai goyah. Orang tua Kim Bum memutuskan untuk tinggal bersama kami di Seoul. Di sinilah awal keharmonisan kami mulai terusik.
Orang tua Kim Bum, terutama eommanya yang memang sejak awal tak menyukaiku sebagai menantunya, mulai menguasai keadaan. Tinggal di rumah yang sama, dia bersikap seolah menjadi ibu suri yang mengatur semuanya. Kim Bum sebagai anak yang berbakti menuruti semua permintaan eommanya, walau aku tau kalau sebenarnya ia juga keberatan.
Di mulai dari di berhentikannya asisten rumah tangga kami dengan alasan aku bisa menyelesaikan semua pekerjaan rumah, karena aku tidak bekerja. Itu kami turuti walau dalam hati aku tidak menyetujuinya. Sejak itu aku yang mengerjakan semua pekerjaan rumah. Memasak, menyetrika dan juga mencuci pakaian. Bukan hanya pakaianku, Kim Bum dan Rayi putra kami yang harus ku cuci dan setrika, juga pakaian appa dan eomma Kim Bum. Tapi semua itu ku kerjakan dengan ikhlas.
Di depan Kim Bum, eommanya masih bersikap manis padaku. Tapi setelah berangkatnya Kim Bum ke kantor, eommanya akan berlaku sebaliknya dengan memperlakukanku seolah budak di rumahku sendiri.
Pernah suatu kali ia meminta paksa kalung yang sedang terpasang di leherku. Dia meminta dengan alasan itu pembelian anaknya, yang baginya ia lebih berhak memiliki kalung itu. Aku mengabulkan permintaannya walau dengan berat hati, karena itu kalung yang di berikan Kim Bum saat ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Setelahnya, aku langsung pergi ke toko perhiasan, mencari kalung yang persis sama dengan itu. Hampir seluruh toko ku masuki, tapi aku tak menemukannya karena sepertinya kalung itu pesanan khusus.
Malam saat akan tidur, Kim Bum terbiasa mencium keningku dan tangannya meraba kalung itu. Kadang mengembalikan letaknya agar lebih simetris, kadang hanya sekedar mengusap bandulnya. Saat itu aku merasa sesak karena menahan napas. Dengan beruarai air mata aku mengatakan kalau kalung itu hilang saat tadi siang aku ke pasar. Kim Bum tak marah. Bahkan ia berniat akan membelikanku kalung yang baru. Semua itu membuat air mataku semakin bercucuran.