Aku menapaki jalan-jalan Ibukota yang berada dalam naungan langit malam penuh bintang.
Bintang bercahaya. Lampu-lampu jalan bercahaya. Hanya hatiku yang redup. Sepi, gelap dan dingin.
Sungguh kurasa dingin menyusup hingga ke tulang. Bukan karena jaketku tidak menjadi perisai untuk udara malam ini. Tapi, karena aku memang merindukan tangan-tangan penuh kasih memelukku.
Aku menginginkan pelukan. Aku inginkan hangat. Aku menginginkan seseorang memeluk untuk menghangatkan hatiku yang beku.
Sesaat setelah menutup mata untuk memohon pada bintang jatuh, ponselku berdering.
Kudapati nama seorang wanita di layar ponsel. Seorang wanita yang selalu menyayangi. Sahabat terbaikku, Faira.
"Jingga, kamu di mana? Kok belum pulang?"
"Sedang berjalan-jalan, Faira. Sebentar lagi saya akan kembali ke kantor, masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan." jawabku pada suara di seberang sana.
"Kantor?" aku mendengar Faira menghela nafas,"Ini sudah mau tengah malam, Jingga. Pekerjaan bisa kamu lakukan besok."
"Besok pagi-pagi saya harus ke Semarang, menemui klien."
"Sesukamu saja!" Faira menutup pembicaraan, kesal.
Aku menghela nafas. Faira memang selalu marah jika aku tidak mau mendengar nasihatnya. Dia sering mengingatkanku agar tidak terlalu memforsir diri. Dia melarangku bekerja terlalu keras.
Aku harap Faira bisa mengerti. Bahwa, apa yang aku lakukan sekarang, rasanya lebih baik daripada harus berdiam diri.
Berdiam diri, lalu sedetik kemudian tersedu-sedu. Menangisi masa lalu. Menangisi yang telah pergi.
***
"Mbak, ada telepon di line-2." Gina, sekretarisku, memasuki ruangan dan memecah konsentrasiku pada laporan hasil rapat yang tadi diberikan oleh Faira.
Aku dan Faira adalah pemilik Paradise, Hotel and Resort ternama di Puncak, Kota Bogor.
Semenjak enam tahun yang lalu, usahaku dan Faira ini memang selalu berkembang pesat setiap tahunnya.
Ada kalanya pasang surut terjadi. Namun, aku dan Faira selalu cukup baik menangani semua itu.
Faira. Dia partner yang super. Sahabat baik sudah bertahun-tahun. Di rumah yang sama pun kami berdua tinggal bersama dengan tentram.
Di Jakarta, kami sepakat membeli rumah yang masih kami tempati hingga sekarang. Kami memang seakrab itu.
Aku meraih gagang telepon di atas meja kerja.
"Halo?"
"Halo, sayang. Kapan kamu pulang?"
"Ibu?" aku menghela nafas, "Kok tidak menelepon ke ponsel saja?"
"Kalau ponselmu aktif, Ibu juga tidak akan menelepon ke kantor."
Aku melirik ponsel dalam tas. Mati. Sepertinya aku lupa mengisi ulang baterai.
"Pertanyaan Ibu belum kamu jawab. Kapan mau pulang?"
Pulang yang dimaksud Ibu adalah, pulang ke Jogja, menemui Ibu dan Bapak di rumah.
Rumah Ibu dan Bapak berada di desa terpencil. Jauh dari berbagai fasilitas angkutan umum.
Tahun-tahun lalu, rutin sekali aku pergi ke sana. Bersama seseorang yang selalu setia mengantarku dengan Jeep miliknya.
Ketika Jeep yang dikendarainya mulai memasuki hutan, dia pasti menakut-nakutiku. Mengatakan bahwa dia lupa mengisi bensin dan menyuruhku harus rela menginap di dalam hutan, seandainya saja Jeep miliknya itu mati di tengah jalan.
YOU ARE READING
Malam Minggu Untuk Jingga [SUDAH TERBIT]
RomansaSaya tahu waktu akan tetap berjalan, saya tahu, ribuan kenangan akan jauh tertinggal. Saya tahu, baik saya maupun kamu pasti tersakiti karena ini. Tapi, ada nyata yang memang harus terjadi. Meski kita tidak ingin itu terjadi. karena sungguh, saya me...