Karina merasa diabaikan oleh pacarnya, Hesa, yang lebih memilih latihan band daripada mengantarnya pulang. Saat memesan Grab, ia bertemu dengan Jeno, seorang driver santai yang berhasil menghiburnya.
Namun, segalanya berubah saat Karina mengetahui...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beberapa hari berlalu setelah percakapan berat dengan Hesa, dan Karina merasa sedikit lebih tenang. Meski putus bukan keputusan yang mudah, setidaknya dia merasa beban yang selama ini ada di hatinya sedikit berkurang.
Namun, ada satu hal yang masih membuatnya bingung—kehadiran Jeno. Setiap kali ia bersama Jeno, perasaan yang tidak ia harapkan, yang mungkin terlalu cepat datang, tetapi sulit untuk diabaikan.
Hari itu, Karina dan Jeno sepakat untuk bertemu lagi setelah kuliah. Karina tidak tahu kenapa, tapi dia merasa nyaman hanya dengan menghabiskan waktu bersama Jeno. Tanpa tekanan, tanpa drama. Hanya ada tawa, cerita-cerita lucu, dan kebersamaan yang terasa ringan. Jeno memang selalu bisa membuatnya tertawa, membuatnya melupakan kerumitan hidupnya sejenak.
Mereka berdua duduk di bangku taman yang sama, tempat pertama kali Karina mendekati Jeno setelah percakapan dengan Hesa. Karina merasa aneh, namun ada semacam ketenangan yang mengalir saat berada di dekat Jeno. “Gue nggak ngerti kenapa, tapi gue ngerasa lebih baik sekarang,” kata Karina sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, memandang langit sore yang berwarna jingga.
Jeno tersenyum, mendengarkan kata-kata Karina dengan serius. “Kadang, cuma butuh orang yang bisa bikin lo ketawa, Rin. Hidup nggak selalu harus serius, kan? Lo butuh ketenangan dan... mungkin juga seseorang yang bisa ngertiin lo tanpa banyak nanya.”
Karina menatap Jeno, merasa seolah-olah kata-katanya benar. Dia merasa Jeno benar-benar mendengarkannya, tanpa harus memberi banyak solusi atau nasihat. Hanya ada perasaan diterima, tanpa ada tekanan atau tuntutan apapun. “Lo tau nggak sih, Jen, lo tuh bikin gue ngerasa... lebih hidup. Lo bener-bener nggak kayak orang lain.”
Jeno tertawa kecil, menjawab dengan santai, “Gue sih nggak pengen lo ngerasa terbebani sama apa yang lo hadapi. Gue cuma... ya, ada aja di sini, buat lo.”
Ada keheningan sejenak antara mereka, sebelum Jeno melanjutkan. “Rin, gue nggak tahu sih gimana perasaan lo sekarang, tapi kalo lo butuh temen buat ngelawan perasaan itu—lo nggak sendiri, oke?”
Karina merasa kata-kata Jeno menenangkan hatinya. Mungkin memang terlalu cepat untuk membicarakan perasaan, apalagi setelah baru putus dari Hesa. Namun, Jeno membuatnya merasa ada yang peduli tanpa berharap apapun.
“Lo baik banget, Jen.” jawab Karina lirih. Suaranya terdengar lebih tulus dari yang dia kira. “Lo nggak minta apa-apa, lo selalu ada buat gue. Itu bikin gue mikir... mungkin gue nggak perlu lagi memaksakan diri untuk bertahan sama orang yang nggak bisa ngertiin gue.”
Jeno mendengarkan dengan seksama, tak terburu-buru untuk menginterupsi. Karina merasa ada kenyamanan dalam kehadiran Jeno, sebuah rasa aman yang baru ia rasakan setelah sekian lama. Tanpa sadar, senyumnya pun semakin lebar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Beberapa saat kemudian, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar taman. Jeno bercerita tentang kekonyolan teman-temannya, tentang kesulitan yang dihadapi saat mereka mengerjakan tugas bersama, dan tentang impian-impian besar yang ia harapkan bisa tercapai. Karina mendengarkan dengan penuh perhatian, merasa seolah-olah semua masalahnya sedikit terlupakan oleh cerita-cerita Jeno yang ringan dan ceria.
Namun, saat mereka berhenti di sebuah kafe yang tak jauh dari taman, suasana berubah sedikit. Karina masih merasa bingung dengan perasaannya, apalagi setelah putus dengan Hesa. Meski Jeno membuatnya merasa lebih baik, dia tidak bisa begitu saja melupakan apa yang telah terjadi. Tidak mudah untuk melepaskan Hesa yang sudah lama menjadi bagian dari hidupnya.
Jeno menyadari ada sesuatu yang berbeda di wajah Karina. “Rin, lo kelihatan mikirin sesuatu. Lo oke?”
Karina menghela napas, mengangguk pelan. “Gue... lagi mikirin banyak hal. Gue nggak tahu apa yang harus gue rasain sekarang.”
Jeno mengerutkan kening, memperhatikan Karina dengan seksama. “Lo masih bingung soal Hesa?”
Karina terdiam, lalu mengangguk. “Iya. Walaupun gue udah putus, kadang gue masih mikirin kenapa semuanya bisa jadi kayak gini. Gue nggak tahu, Jen. Rasanya aneh banget. Gue cuma... nggak mau lagi kecewa.”
Jeno menatap Karina, matanya penuh pengertian. “Lo nggak perlu buru-buru buat nentuin apa-apa. Lo butuh waktu, Rin. Jangan terburu-buru buat mutusin siapa yang pantas ada di hidup lo. Kadang kita cuma perlu ruang buat mikir.”
Karina merasa lega mendengar kata-kata Jeno. Mungkin memang benar, dia tidak harus buru-buru untuk memutuskan segala sesuatunya. Semua perlu waktu. Semua butuh ruang untuk berkembang. Dan dalam waktu yang tepat, mungkin dia akan tahu apa yang seharusnya dia lakukan.
Jeno tersenyum, senyum hangat yang terasa tulus. “Gue cuma pengen lo bahagia. Kapanpun itu, gue siap jadi temen lo. Atau lebih, itupun kalau lo mau sama gue sih.” kalimat terakhir Jeno memelankan suaranya, dan sedikit terkekeh.
Kata-kata Jeno membuat hati Karina berdegup lebih cepat. Namun, dia tahu, tidak ada yang bisa dipaksakan. Perasaannya masih membingungkan. Yang pasti, dia mulai merasa ada seseorang yang siap menunggu tanpa banyak tuntutan, yang siap menjadi bagian dari hidupnya—meskipun mungkin dengan cara yang berbeda.
Karina menghela napas panjang, sedikit merasa lebih ringan. “Makasih, Jen. Lo bener-bener pengertian.”
“Gak usah makasih-makasih,” jawab Jeno sambil tertawa kecil. “Ini udah tugas gue, kok. Lo butuh sandaran, ada gue disamping lo.”
Di tengah obrolan santai mereka, Karina merasakan kehangatan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin inilah yang dinamakan kenyamanan—kenyamanan yang datang tanpa harus diminta, kenyamanan yang datang dengan tulus. Mungkin, langkah pertama menuju perubahan ada di sini, di antara Jeno dan Karina.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.