"Seokjin sayang, ayo masuk. Aku sudah menyiapkan makanan untuk mu, ku tebak kau belum makan sejak siang, bukan?"
Seokjin menatap canggung wanita di depannya. Sudah berapa lama ia tidak merasakan kehangatan seorang ibu? Terlalu lama untuk ia ingat, karena itu, dihadapi dengan kehangatan orang tua Ken membuat Seokjin sedikit tidak nyaman. Ia takut suatu saat ia iri dengan kehidupan Ken. Ia takut menginginkan lebih.
"Masuk," Ken mendorong pelan punggung Seokjin, yang masih terpaku di dekat pintu. Seokjin hanya sempat menyuarakan eksklamasi kecil sebelum akhirnya mengangguk dan memasuki ruangan. "Kau bukan orang asing," Ken memberikan Seokjin sebuah senyuman, berusaha membuat Seokjin nyaman. Meskipun begitu, mau bagaimanapun, dilihat dari sisi manapun, Seokjin tetap orang asing, dalam satu atau dua arti yang berbeda.
Begitu keduanya sampai, Seokjin dapat melihat berbagai macam suguhan nikmat yang, jika tidak untuk menjaga sikap, bisa membuat air liurnya membanjiri seisi rumah. Diingat lagi, kapan ia terakhir makan makanan yang tidak memiliki label instan? Mungkin sarapan yang diberikan si paman? Ah, benar.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" pertanyaan Seokjin menghentikan bunyi denting alat makan, membuat seluruh perhatian tertuju padanya. Ia merasakan aura tak mengenakkan menguar di ruang makan, bukan bahaya, namun aura tak nyaman. Ia menatap wajah kedua orang tua Ken yang terlihat canggung dan panik. Ah, apakah mereka akan mengalihkan pembicaraan? Atau berpura-pura tak tahu? Benar-benar. Seokjin sudah muak dengan segala rahasia-rahasia ini. Ia sudah berniat untuk kembali membuka mulut, menuntun sebuah jawaban yang adalah semestinya ia dapatkan.
"Apa yang ingin kau ketahui lebih dahulu?" suara berat Tuan Lee, ayah Ken, menarik perhatian Seokjin. Ia telan kembali kalimat tuntutannya.
"Siapa penyerangnya? Bagaimana Paman Jian bisa mati? Dia Claire dia nyaris tak tersentuh," Seokjin menatap penuh determinasi.
"Kami tidak tahu pasti, yang kami tahu mereka Arcana dari klan Begonia, hanya itu. Mengenai kematian Jian, kau lebih baik menanyakan hal ini pada pengurus panti mu. Dia lebih mengetahui hal ini. Namun, yang kami tahu, itu bukanlah pembunuhan. Jian tidak mati karena terbunuh." Sakit, sedih, Seokjin tidak tahu bagaimana ia harus menjelaskan ekspresi Tuan Lee. Seokjin tidak tahu bagaimana ia harus berkata untuk saat ini, mulutnya terbungkam setelah mendengar kalimat terakhir dari Tuan Lee. Tidak terbunuh? Bagaimana mungkin si paman mati bukan karena terbunuh? Tidak mungkin si paman melemparkan nyawanya sendiri, bukan? Kalaupun betul, kondisi seperti apa yang bisa membuat paman melemparkan nyawanya sendiri?
"Seokjin," suara lembut membawa kembali kesadaran Seokjin. Ia menatap Nyonya Lee, in Ken, yang kembali menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. "Kalau kau siap, kami akan mengantarkanmu ke lokasi Park."
Pikiran Seokjin kembali kusut begitu mendengar perkataan Nyonya Lee. Tidak. Tidak akan. "Tidak perlu. Aku sudah cukup merepotkan dengan jamuan makan ini. Paman dan Bibi cukup memberikan alamat Nona Park, Aku bisa pergi sendiri,"
"Benar. Ayah dan ibu tidak perlu pergi, biar aku yang pergi dengan Seokjin."
"Ken... Aku juga tidak memerlukan asuhan mu. Aku bukan anak bayi." Seokjin berusaha membujuk Ken untuk menarik perkataannya.
"Sudah kami katakan, kami akan membantumu Seokjin. Kau tidak perlu sungkan." Kali ini selaan dari Tuan Lee membuat Seokjin menelan kembali argumennya
"Tapi—" sebelum balasan Seokjin tersampaikan, suara Nyonya Lee menyahut.
"Benar. Kami masih mampu membantumu, Seokjin. Kita akan pergi setelah menyelesaikan makan."
"Lagipula lebih baik menjalani semua ini bersama."
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Namjin]
FanfictionSeokjin merasa puas di kehidupan normalnya. Ia hanya anak kuliah biasa yang memiliki sedikit perbedaan. Tak masalah. Mungkin itu yang Seokjin dan temannya pikirkan, namun untuk 'mereka' Seokjin adalah ancaman. Seokjin adalah anomali. Seokjin adalah...