Inikah Ujungnya?

24 3 0
                                    


Bung..! bung..! bung..! “hahaha.. rasakan!”
Biru-biru merah ini sangat setia dengan tubuhku. Sial!! Ingin ku mengumpat saat teringat segalanya. Jika aku tersadar semua terasa bodoh, satu lawan delapan yang membuatku tak berdaya untuk menangkalnya. Aghhh!! Lupakan!
Rumus senyawa baru dimulai lima belas menit toa kelas sudah berbunyi, namaku dipanggil, kurasa semua orang tahu suara nyaring dari speaker itu. Aku langsung menuju sumber suara. Perjalanan dari kelas ke ruangan tersebut sangat kecut jika bisa dirasakan dengan lidah. Tak seorangpun mampu diam, semua orang terpusat pada laju fantofelku dan bergunjing di belakang layar udara. Ku acuhkan segalanya, fokusku tertuju pada pintu terbuka lebar yang di dalamnya terdapat seseorang beraut muka menyerupai malaikat maut. Tanpa kode yang jelas aku langsung masuk. Orang itu pun mulai membuka mulutnya.
“Kamu tahu kan saya panggil ke sini untuk apa?” tanyanya sangat ketus
“Maaf pak jika boleh jujur, saya tidak tahu,” jawabku apa adanya
Mendengar jawabanku orang itu menatapku tajam dengan pandangan sengit.
“Kamu sudah SMA seharusnya mengerti tentang ilmu kepekaan, kamu saya panggil ke sini karena kamu terbukti mengambil barang milik temanmu!” jelasnya
“Emm anuu pak, maaf saya tidak mengambil,” jawabku dengan nada lirih
“Semuanya sudah terbukti! Banyak saksi mata, wajahmu  juga memar, sekarang akui semuanya! Kembalikan barang yang kamu curi dan tanda tangani surat pernyataan ini!” Panjang lebar kata-katanya tapi mungkin hanya sepintas yang nyangkut di telingaku.
“Baiklah pak, tetapi saya tidak mau tanda tangan karena saya rasa saya anak baik-baik, saya berjanji kejadian ini tidak akan terulang lagi,” Jawabku menentang, gila saja aku mau di DroupOut dari sini.
“Oke, saya beri kesempatan. Tapi jika hal ini terulang sekali lagi tidak ada ampunan bagimu!” sambil memutar badan dan mengalihkan arah pandangan.
Fix Kali ini aku kalah. Kutinggalkan ruangan maut itu. Sampai di kelas guru kimia sudah keluar. Tak satu pun yang bertanya alasan ku dipanggil kepala sekolah. Tidak masalah!

Perjalanan fajar hingga senja ku hanya ditemani buku-buku karangan Boy Chandra. Sebenarnya bukan kemauanku, tetapi sebuah paksaan. Mulai saat ini hubunganku dengan teman-teman serasa air dan minyak yang tidak pernah bersatu. Perlakuan mereka kepadaku bisa dibilang seperti tokoh antagonis terhadap tokoh protagonis. Tak masalah bagiku, apapun yang terjadi karena semua bukan kesalahan ku. Aku selalu terdiam, sekarang diam adalah makananku, bibir ini terbungkam saat mereka tidak percaya apapun yang aku katakan.
Bukan hanya teman sekelas saja, namun semua kelas jika berpapasan muka dengan ku mereka mencela dan mengutarakan perkataan yang tidak wajar.
“Dasar pencuri! Hahaha ternyata di sekolah favorit seperti ini memuat seorang pencuri,”
“Satu kali, dua kali, tiga kali mungkin tidak ketahuan. Tapi namanya pencuri ya tetap pencuri,”
(aku hanya terdiam..)
Perkataan-perkataan itu selalu muncul dari mulut teman-teman ku. Jika mampu, ingin ku menjerit namun hanyalah sia-sia. Jadi, lebih baik diam.
Aku bukan pencuri! Aku bisa membeli semua yang aku mau. Mengapa tak ada yang percaya? Gerutuku dalam hati.

Semua siswa beranjak ke aula sekolah, seminar dimulai pukul sembilan. Pengisi seminar kali ini adalah ahli psikolog. Banyak materi yang Beliau bahas. Dari sekian banyak materi dari nya, ada satu materi yang bisa mempengaruhi teman-temanku untuk menengok ke arahku. ‘Theory Labelling’ yang mengecap seseorang berdasarkan perbuatannya. Pengisi seminar memberikan permisalan teori ini pada seorang pencuri,  semua peserta seminar melihat wajahku. Aku berfikir, mengapa mereka langsung memperhatikanku? Ada yang salah denganku?
Banyak kata dari Bapak Sobirun tentang teori-teori dalam kajian ilmu sosial, ya memang Beliau adalah ahli psikolog yang mahir dalam ilmu sosial. Katanya akibat julukan dari Theory Labelling ini bisa mempengaruhi seseorang untuk terus melakukan sesuatu berdasarkan julukan tersebut. Teman-temanku berfikir bahwa aku diberi julukan pencuri dan aku bakalan jadi pencuri selamanya. Tetapi aku tidak pernah terpengaruh dengan julukan-julukan tadi, aku bisa memiliki segala yang aku mau dari orang tuaku, dan aku juga bukan pencuri.
“Hei pencuri” kata seorang temanku.
“Ingat! Aku bukan pencuri!” jawabku.
“Namanya pencuri ya pencuri! Awas loh ya.. udah pencuri diberi julukan pencuri pula, makin parah nih jadi pencurinya, ingat Theory Labelling kan? Hahaha.. mulai sekarang kamu bukan teman ku lagi,” jawabnya nyolot.
Aku tidak meladeni perkataannya, semakin aku menjawab semakin dia menyolot. Aku beranjak dari tempat dudukku dan memaligkan muka darinya.

Kejadian kedua kalinya, toa berisik itu berkumandang di kelasku. Namaku dipanggil lagi dan lagi. Aishhh!! Apaan ini, aku dituduh mencuri lagi! Sadar tidak sadar, aku tidak mencuri. Tetapi argumenku tidak digagas sama sekali, artinya aku bakalan diDropOut dari sekolah ini, padahal tidak ada bukti yang jelas tapi kenapa harus namaku yang menjadi kambing hitam? Semuanya tidak adil!
Aku menangis di loteng, kubiarkan bibir ini menjerit dan tak mempedulikan hamparan padi sangat indah bagaikan permadani yang bergelaran di bawah loteng. Selagi aku menangis ada suara sepatu menuju ke arah ku. Aku tidak melihat ke arahnya, aku tidak mengerti itu siapa, dan yang pasti dia tidak mungkin peduli pada hidupku.
“Hai, kamu jangan menangis. Santai saja kamu tidak akan di DropOut dari sini,” Katanya sangat berwibawa.
Aku sangat terkejut dengan suara itu. Suara siapa? Aku benar-benar tidak dapat menahan pendanganku yang seolah tidak peduli padanya, aku langsung menatapnya dan beranjak dari singgahan ku.
“Kamu? Kenapa kamu bisa bicara seperti ini?” Kataku padanya
“Sudah santai saja, kamu tidak perlu merasakan penderitaan. Kamu tidak mungkin diDropOut dari sini, jangan tanyakan alasannya,” jawabnya penuh percaya diri.
“Hei jangan gila! Jangan mengada-ada, yang tau segalanya itu aku, bukan kamu!” aku mulai terbawa emosi.
“Tapi kali ini aku serius, kalau kamu tidak percaya silakan pastikan ke ruang kepala sekolah,” katanya sangat santai.
Aku tidak menjawab kata-kata nya, aku langsung meninggalkannya sendiri di tempat itu, dan aku berjalan sedikit lari untuk memastikan kebenaran.
Sesampai di ruang kepala sekolah, ternyata benar aku tidak di DropOut. Beliau mengatakan bahwa ada seorang anak yang mengaku bahwa dirinya mengambil HandPhone milik temannya, artinya aku tidak bersalah. Tetapi Beliau menegaskan bahwa Beliau tidak begitu percaya jika anak tersebut yang mengambil, karena anak itu adalah anak yang pintar, baik, dan anak organisasi, sepertinya tidak mungkin jika dia yang mengambil. Aku langsung berfikir, siapa dia? Apakah benar dia yang bersalah? Sampai-sampai dia mengaku dan meminta diDropOut asalkan aku tidak diDropOut dari sini. Sudah gila?
Tanpa berfikir panjang aku kembali ke loteng menemui Dika.
“Hei ini semua karena otakmu?” kataku padanya
“Iya,aku ngga akan biarkan kamu diDropOut dari sekolah ini, aku ngga peduli siapa pelaku sebenarnya, yang penting kamu tidak keluar dari sini,” jawabnya polos.
“Hei sudah gila kamu? Kenapa kamu lakukan ini? Ngga usah sok peduli sama hidupku!”
“Hai mengertilah,aku memang peduli sama kamu, aku suka sama kamu dari awal masuk SMA, tetapi kulakukan semua ini bukan karena hal itu. Aku tahu kamu anak yang baik, cantik, pinter, kamu selalu mendapat peringkat paralel, kamu juga tulus dalam segala hal, jadi aku ngga mungkin biarkan kamu dikeluarkan, pikirku lebih baik aku yang keluar, aku di sini tidak begitu berguna sepertimu,” katanya dengan penuh makna.
“Tapi kenapa harus lakukan ini? persepsimu buat dirimu sendiri itu salah! Harusnya aku yang keluar, aku yang salah, kamu salah persepsi! Kamu bilang tidak berguna di sini, kamu itu lebih berguna dariku. Kamu pintar, anak organisasi, kamu berasal dari keluarga mampu, wajahmu membuatmu banyak fans, dan kamu itu dikenal banyak guru. Mana mungkin guru percaya jika kamu akan dikeluarkan dari sekolah ini apalagi gara-gara mencuri,” kataku penuh emosi sambil menangis
“Ahh.. sudahlah terserah dirimu, itu sudah keputusanku.” Katanya sambil meninggalkanku.
Singkat cerita, dia benar-benar dikeluarkan dari sekolah ini. Aku tidak peduli, aku sudah mati-matian melarangnya tapi respon dia tetap tidak jalan. Ya sudah aku tidak menggugatnya lagi, sebenarnya aku ingin berterima kasih kepadanya tetapi dia sudah menghilang.

Pokoknya keinginanku harus terpenuhi. Aku ingin mengambil iphone temanku. Aku sangat tertarik, pikirku bagus jika ku letakkan di bagian paling depan. Tanpa basa-basi aku simpan dalam tasku.
Orang-orang bersamaan mencari iphone tersebut, aku tidak memperdulikannya. Semua orang menuduhku mengambil, aku memalingkan muka serasa tidak mengenal mereka.
Akhir-akhir ini banyak barang-barang yang hilang. Bagiku tidak masalah, karena semua yang aku minta pada orang tuaku pastilah akan terkabulkan. Jadi jika barangku hilang karena jelmaan pencuri menurutku masa bodoh buat aku, aku tinggal mengacungkan tangan pada orang tuaku apa yang aku minta pasti segalanya akan aku dapatkan.
Hari pertama keinginanku mengambil tab milik teman sebangkuku yang memang modelnya bagus, resiko memang ada tapi semua itu keinginanku.
Hari kedua keinginanku untuk mengambil DSLR milik teman yang mempunyai nomer urut 6 di kelasku, kamera itu sangat bagus apalagi lensanya, mungkin tidak akan kugabungkan dengan yang lain, jika aku sudah bosan akan ku buang di tempat sampah depan rumahku.
Hari ketiga  aku mengambil kamera digital milik teman yang duduk di belakangku, kameranya bagus banget, dan mungkin jika aku masukkan ke dalam bak mandi sangat menarik.
Bisingan mobil yang berjalan berlawanan tanpa harus bertabrakan menemani keadaan kelas kali ini. Guru BK memberi materi tentang pendidikan karakter, aku tenang-tenang saja karena aku merasa sudah memilki karakter yang bagus, jika ada yang bilang aku pencuri, itu adalah kesalahan besar karena aku tidak pernah mencuri. Tidak mugkin kan anak konglomerat bisa mencuri?
Hari ini aku berkeinginan mengambil GoPro milik teman yang duduk di depankku, aku mengambil saat jam istirahat, tak seorangpun mengetahuinya. Setelah berhasil mengambil, GoPro itu aku siram dengan air dan ku pukul dengan batu hingga pecah. Semua siswa dan guru mengerubungi. Aku dikatakan gila oleh mereka. Aku tidak takut karena aku tidak bersalah.
“Della, habis ini ikut dengan saya ya” kata seorang guru
Aku dipanggil lagi. Ditemani kacamata transisi ku, kaki ini mengayunkan langkah ke ruang BK. Di sana aku diberi banyak pertanyaan mengenai keluargaku, tetapi aku tidak bisa menceritakan.dengan leluasa. Aku lebih banyak diam, namun anehnya pengintrogasi tidak semenyeramkan malaikat maut. Dengan nada halus semua perkataan yang terlontar dari mulut mereka.
“Dell, kenapa kamu melakukan semua ini?” tanya seorang yang ada di ruang itu.
“Memangnya saya melakukan apa? Apa ada yang salah dengan saya Bu?” jawabku apa adanya.
“Baiklah, kamu bisa kembali ke kelas ya” katanya lagi.
Aku tidak mengerti ini permainan jenis apa, kenapa aku harus dipanggil dan setelah diintrogasi aku disuruh keluar. Panggilan ini sangat tidak berfaedah. Aggh.. biarkan, yang penting aku tidak bersalah.

Tanpa sepengetahuanku pihak sekolah mengadakan sebuah penelitian, dan tak salah lagi aku menjadi objek dari penelitian tersebut. Anehnya mereka semua berlaku seperti dulu, bersikap baik, halus, tanpa menancapkan duri dalam hati. Suatu ketika mereka mengikutiku ke rumah, mereka melihat semua koleksi ku yang ada di lemari kaca, seusai melihat mengapa mereka terpengangah?
“Ini semua milikmu Dell?” kata seorang temanku.
“Iya, ini milikku yang ku ambil dari teman-teman. Yang ini bagus kan? Tapi bentar lagi lemarinya sudah tidak muat, aku akan buang barang-barang yang lama ke sungai dekat rumahku.” Jawabku.
Penelitian ini hanya sampai di sini, lalu apa faedahnya? Aku benar-benar tidak mengerti. Tak ku pikir dalam dan ku abaikan semuanya.
Bersama partnerku kutinggalkan rumahku. Aku sangat cinta dengan mobil ini, mobil yang kudapati dari ayahku saat ulang tahun yang ke 16, aku merasa sedih disetiap ulang tahun ku kenapa ayah dan ibuku selalu memberikan kado, tetapi mereka memberinya sendiri-sendiri dan bahkan aku selalu mendapat dua kejutan. Aku seperti berada dalam taruhan, harus memilih ayah atau ibuku. Ahh sudahlan lupakan! Ku lanjutkan perjalanan ke rumah sakit, destinasi kali ini bukan ke mall, aku ingin terapi.
Terapi berjalanan lancar, tetapi ada sedikit hal yang mengganjal di hati. Saat terapi berlangsung aku merasa ada yang mengikuti ku, entah siapa. Aku tidak peduli.

Ulangan Kenaikan Kelas sudah berlansung tujuh hari yang lalu, artinya besok adalah waktu untuk penerimaan laporan hasil belajar, aku tidak pernah takut akan hal itu. Hari tersebut menjadi hari yang ku nanti-nantikan setiap semesternya. Aku selalu diberi hadiah dengan ayah dan ibuku.
Yang datang kali ini adalah ayahku. Ayahku masuk ke dalam ruangan saat guru kelas memanggil namaku, ya memang sudah urutanku. Namun anehnya aku juga disuruh masuk, padahal teman-teman yang lain menunggu di depan pintu. Firasatku tidak enak.
“Bapak, selamat Della Putri Rahadian mendapatkan peringkat satu paralel di sekolah ini. Tetapi maaf pak, kami terpaksa harus mengeluarkan anak bapak,” kata guru itu dengan air mata yang berusaha keluar.
“Haa? Apa maksud ibu? Tidak bisa begini dong. Anak saya sudah jelas-jelas mendapatkan peringkat satu paralel, kenapa harus dikeluarkan? Jika ada masalah ya harus diselesaikan baik-baik jangan asal DropOut anak, Anda bisa kena pasal,” jawab ayahku setengah emosi.
Aku terkejut kenapa aku harus di DropOut, aku tidak bisa berkata apa-apa. Semua kata-kataku yang ingin kuucapkan bersembunyi jauh dari mulutku.
“Begini pak, saya mengakui bahwa anak bapak memang luar biasa cerdasnya, nilainya saja hampir sempurna. Tapi akhir-akhir ini banyak kasus pencurian dan pelakunya anak bapak,” jawab ibu guru
“Apaa?? Anak saya tidak mungkin mencuri. Dia anak satu-satunya dan saya selalu menuruti apa yang dia inginkan,” jawab ayahku seolah-olah lupa dengan kelainan yang aku punya.
“Iya memang pak, anak bapak bukan pencuri. Kami telah melakukan banyak penelitian, salah satunya melihat anak bapak saat shock terapi di rumah sakit, berdasarkan penelitian dari pihak sekolah kami menyimpulkan bahwa anak bapak...” jawab wali kelas ku yang belum sempat diteruskan karena dipotong oleh ayahku.
“Iya anak saya memang memiliki kelainan, anak saya menderita kleptomania, tetapi apa salah dia? Itu bukan karena sifat nya yang buruk, itu adalah penyakit Bu, harusnya pihak sekolah tidak seperti ini, ada toleransi khusus untuk nya,”
“Iya Pak benar, tetapi kami tidak bisa membiarkan karena kasus pengambilan barang oleh Della belakangan ini semakin menjamur hingga pada saat itu Della berantem satu lawan delapan dengan teman-temannya, saat mereka tahu bahwa Della mengambil barang milik mereka dan kami mendapat banyak complain dari orang tua siswa, maka kami membuat kebijakan seperti ini Pak, sekali lagi mohon maaf,”
“Ya sudah jika ini sudah menjadi kebijakan, ayo Dell kita pulang,” kata ayahku sedikit emosi, sambil menarik tanganku.

Aku bingung harus bagaimana, semua cita-cita ku yang ada di depan mata seketika melebur dengan hebatnya. Aku menangis, aku sudah tidak punya harapan hidup, ataukah lebih baik aku mati?
Ku renungi hidup ku. Ku pikirkan segalanya yang pernah terjadi.
Benar adanya. Aku Della Putri Rahadian anak konglomerat, aku anak satu-satunya dari Pak Barata seorang kontraktor terkenal, ibuku Bu Rinetta kaum sosialita yang memiliki butik nomer satu di kota ini. Aku dilahirkan sempurna secara fisik, diberi tubuh yang bagus dan paras yang cantik, aku memiliki kecerdasan yang luar biasa, IQ ku mencapai tingkat jenius, aku bisa memiliki apa yang aku mau, kekayaan orang tua ku tidak dapat diukur dengan kata-kata. Hidupku bisa dikatakan sempurna, tetapi kenapa aku harus memiliki kelainan kleptomania? Dari lahir aku sudah mendapati penyakit ini. Berjalannya waktu aku tumbuh besar, aku sudah duduk di bangku SD dan selalu rutin untuk shock terapi, hingga akhirnya diagnosa dari dokter mengatakan kelainanku mulai berkurang dan mungkin bisa hilang dua taun lagi setelah terapi rutin selama tujuh tahun. Aku bersujud syukur saat mendengar vonis tersebut.
Selang satu bulan dari hari itu orang tuaku berpisah rumah. Ibu menggugat ayakhku untuk bercerai, aku menjadi taruhan di antara mereka. Apa yang aku minta, pasti ku dapatkan dua. Ayah dan ibuku menuruti apa yang aku inginkan, masing-masing menuruti. Pernah pada suatu ketika handphone ku pecah, aku meminta pada ayahku, disela-sela pembicaraan ibuku mendengar, lalu ayah dan ibuku sama-sama membelikan ku handphone mereka bersaing harga, aku disuruh milih milik ibu atau ayahku. Bagiku itu bukan hal yang menyenangkan, lebih baik mendapatkan satu barang daripada mendapat dua barang sebagai taruhan.
Terapi selanjutnya aku benar-benar terkejut dan stress, dokter mengatakan bahwa penyakitku tambah parah karena faktor pikiran. Diagnosanya mengatakan bahwa aku tidak akan pernah bisa sembuh. Aku menceritakan segalanya kepada ayah dan ibuku namun mereka tidak menyadari kalau penyakit ku tambah parah karena pikiranku yang terlalu fokus pada hubungan mereka. Walaupun sampai saat ini mereka belum bercerai.
Sejak saat itu aku tinggal bersama pembantuku di rumah yang sangat besar, kleptomaniaku semakin hari semakin parah. Aku merasa sakit jika tidak mengambil sesuatu saat penyakitku kambuh. Semua barang yang ku ambil sebenarnya tidak ternilai harganya, barang-barang itu hanya kuletakkan dalam lemari kaca di kamarku, adakalanya aku bosan barang itu ku buang di tempat sampah, atau ku pukul hingga pecah. Semua itu bukan karena niat jahatku tetapi keinginan ku yang terkadang diluar kesadaran, jika tidak terpenuhi rasa sakit ini semakin membara. Keadaan seperti ini masih terus terjadi hingga aku pindah ke pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMA.
Hahhh!! Lamunan yang tidak berarti. Semua sudah terjadi, bagaimanapun aku harus menerima. Semua yang terjadi sudah menjadi takdirku.

Meja hijau akan segera dimulai, semua pihak keluarga berkumpul di kursi itu. Perceraian ayah dan ibuku akan berlangsung. Aku benar-benar tidak tahu penyebab mereka bercerai. Airmataku tidak bisa ku tahan dari kantungnya, jika mampu ingin ku menjerit di hadapan semua  orang.
Aku berlari ke arah jembatan, ku duduk sambil menangis. Tak lama kemudian datanglah seseorang dari belakangku. Gerak-gerik nya sama seperti orang yang datang saat aku menangis di loteng. Aku benci pada semua orang, aku tidak mau melihat siapapun.
“Dell, kamu kenapa? Ceritakan semuanya kepadaku,” kata orang itu
“Dika, kamu Dika kan? Makasih buat pengorbananmu waktu itu, sekarang jangan dekati aku, pergilah dari sini,” kataku sambil menangis
“Iya aku Dika Lorent Pratama, kenapa kamu mengusirku? Aku di sini ingin menghiburmu,”
“Sudahlah pergi saja, sebelum aku marah. Pergii!” kataku dengan nada sedikit tinggi
“Kamu kenapa? Ceritakan semuanya.” Sambil mendekati aku
Aku tidak tahan, aku memeluknya dan menangis. Kuceritakan semua yang terjadi, namun ia malah tersenyum, ia mengatakan bahwa dirinya bernasip sama dengan ku dan lebih parahnya lagi ayah dan ibuya masing-masing sudah berkeluarga. Aku menyuruhnya pergi, bagiku dia tidak berguna di sini. Hidupku juga sudah tidak ada artinya lagi.
Ku biarkan tubuhku melayang turun bersama udara menuju derasnya air dan terhanyut aliran yang tak ada ujungnya.

--TAMAT--

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Inikah Ujungnya?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang