Dendam Pernikahan 15

23.4K 1.4K 60
                                    

Dendam_Pernikahan
Part. 15

💔💔💔

“Abang tidak apa-apa?” Tangan Aira terulur menyentuh ujung mata Daffa yang basah. Mengusapnya pelan dengan tatapan iba. Ia sendiri tak kuasa menahan air mata mendengar cerita suaminya. Tak bisa membayangkan betapa sakitnya masa lalu itu.

Daffa membuka mata, tersenyum ke arah Aira. “Permintaanku sederhana, Ra. Jangan pergi.” Ia menyeringai dan mengusap wajahnya secara kasar.

“Lalu … bagaimana selanjutnya? Apa Abang menjual rumah dan pergi ke Jakarta?”

Daffa mengangguk. “Waktu itu aku masih kelas 2 SMA, jadi harus menunggu setahun sampai kelulusan baru aku jual. Meski sebenarnya berat. Sangat berat.”

*

Daffa berdiri di depan rumah. Rumah kayu dan masih berlantai tanah. Sederhana tapi menyimpan berjuta kenangan. Tak rela, tapi juga tidak ada pilihan lain. Ini adalah amanah terakhir papanya. Maka dengan berat hati, ia menjual rumah yang pernah menjadi harapan untuk berkumpul kembali dengan keluarga lengkap.

Kabut tebal di mata mulai menutupi penglihatannya. Entah berapa lama ia berdiri menatap datar rumah yang sudah menjadi milik orang lain sekarang. Daffa menyeka air mata yang jatuh, menarik napas panjang, dan mulai berjalan keluar. Tanpa menoleh lagi.

Dia berjanji akan melanjutkan hidup. Menjadi orang sukses seperti harapan papanya. Jika dia kaya dan banyak uang, maka tidak akan ada orang yang berani menghina atau meremehkannya. Tidak akan lagi ada yang menyia-nyiakan dan mengabaikannya.

Bukankah di dunia ini memang yang banyak uang akan jauh lebih berharga di mata banyak orang?

Maka sejak saat itu, Daffa memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Padang, Sumatera Barat. Meninggalkan segala cerita lama, kenangan, masa lalu, dan segalanya yang menyedihkan. Menjemput masa depan dengan memulai lembaran cerita baru yang penuh kebahagiaan.

Daffa segera mencari indekos dekat kampus saat sampai di Jakarta. Mendaftarkan diri sebagai mahasiswa di salah satu universitas terbaik dengan jurusan ilmu komputer dan informatika.

Di sini, tidak ada orang yang mengenalinya. Tidak akan ada lagi yang menghinanya. Tidak ada lagi yang akan menyebutnya ‘anak bandar judi!’. Tidak ada lagi orang yang merendahkannya. Atau orang-orang yang justru memandang iba atau kasihan. Daffa benci dikasihani!

Kehidupan baru. Orang-orang baru. Tentunya cerita baru yang akan ia buat menjadi lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Bukankah nasib seseorang ada di tangannya sendiri? Maka, Daffa pun akan mengubah nasibnya menjadi seperti yang diinginkan.

Menjadi orang sukses. Banyak uang. Disegani. Dihormati. Dan tentunya dihargai. Bukankah semua itu dapat dibeli dengan uang?

*
“Abang tidak menemui Mama dan Silfya?” potong Aira. Ia begitu penasaran hubungan Daffa dengan mama juga adiknya.

“Dua bulan lebih di Jakarta, aku baru datang menemui mereka. Tentunya setelah melawan berbagai rasa marah dan kebencian!”

*
Daffa memegang secarik kertas bertuliskan alamat. Memandangi cukup lama hampir setiap malam. Bertarung melawan segala rasa yang menggunung. Benci, marah, kecewa, tapi juga rindu. Semua itu menyatu membentuk sebuah gumpalan yang menyesakkan. Andai bukan karena amanah terakhir papanya yang menyuruh membagi hasil penjualan rumah dengan Silfya, ia tidak akan pernah menemui mamanya!

Siang itu di depan rumah kontrakan kecil di salah satu gang terpencil, Jakarta Selatan. Daffa berdiri memandang datar, tangan kiri memegang tas ransel di bahu, tangan kanan memegang secarik kertas bertuliskan alamat lengkap. Benar. Ini adalah rumah sesuai alamat yang tertulis. Namun, Daffa ragu untuk maju dan masuk. Entah berapa lama ia berdiri di sana, hingga ….

Dendam Pernikahan (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang