Karina merasa diabaikan oleh pacarnya, Hesa, yang lebih memilih latihan band daripada mengantarnya pulang. Saat memesan Grab, ia bertemu dengan Jeno, seorang driver santai yang berhasil menghiburnya.
Namun, segalanya berubah saat Karina mengetahui...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pagi itu, Karina merasa sedikit lebih ringan. Meski Hesa masih terbayang dalam pikirannya, perasaan yang tadinya begitu berat mulai sedikit berkurang. Seperti ada sesuatu yang mulai beranjak di dalam dirinya—sesuatu yang tumbuh perlahan, seperti benih yang mulai bertunas.
Semuanya berawal dari kehadiran Jeno yang tiba-tiba datang dan membawa keceriaan yang Karina tak pernah duga sebelumnya. Setiap kali bersamanya, semuanya terasa lebih mudah, lebih menyenangkan, dan, yang paling penting, lebih tenang.
Namun, meski perasaannya semakin kuat, Karina masih ragu. Dia belum siap untuk mengakuinya. Bagaimana bisa dia begitu cepat merasakan sesuatu yang lebih dalam untuk Jeno, sementara perasaan terhadap Hesa belum sepenuhnya hilang? Dia tahu Jeno baik, perhatian, dan selalu ada di saat yang tepat. Tapi apakah itu cukup untuk menggantikan perasaan yang sudah lama tumbuh bersama Hesa?
Pagi itu, Karina memutuskan untuk mengirim pesan ke Jeno. Mereka sudah cukup dekat untuk berbagi cerita, tapi dia belum pernah benar-benar mengungkapkan perasaannya dengan jujur. Setiap kali mereka bertemu, selalu ada hal-hal kecil yang membuat hati Karina semakin hangat. Namun, apakah itu cukup untuk membangun sesuatu yang lebih? Atau apakah itu hanya rasa nyaman yang muncul setelah perasaan kecewa?
Karina mengetik pesan itu dengan ragu. "Jeno, gue butuh ngobrol sama lo nanti. Ada yang mau gue kasih tau." Setelah beberapa detik, dia menekan tombol kirim. Ketika Jeno membalas pesan itu dengan cepat, hatinya sedikit lega. "Ayo, mau kapan?. Gue siap kok."
Selama kuliah hari itu, Karina tidak bisa berhenti memikirkan pertemuan mereka nanti. Dia tahu ada banyak hal yang harus diungkapkan, tetapi rasa takut akan mengubah hubungan mereka membuatnya khawatir. Apakah Jeno siap untuk mendengarnya? Apakah dia siap untuk mendengarkan perasaannya yang selama ini ia simpan?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sore harinya, setelah kelas berakhir, Karina berjalan ke taman seperti biasa, tempat di mana mereka sering menghabiskan waktu bersama. Jeno sudah menunggu di sana, duduk santai di bangku yang sama. Ketika Karina mendekat, Jeno tersenyum lebar dan melambai ke arahnya. "Gue tahu lo bakal datang. Udah siap buat ngobrol?"
Karina tertawa kecil. "Iya, gue udah siap. Cuma... ada yang pengen gue bicarain."
Jeno menatapnya dengan perhatian. "Gue dengerin, suara lo agak serius. Kenapa, Rin?"
Karina menghela napas, duduk di samping Jeno. Suasana mulai terasa lebih berat. "Gue cuma mau bilang, belakangan ini gue merasa banyak hal berubah. Gue kayak ngerasa... ada sesuatu keputusan yang harus gue ambil, tapi bingung."
"Lo tahu kan soal gue dan Hesa," jawab Karina pelan. "Setelah putus sama dia, gue jadi lebih sering mikirin... mungkin gue butuh orang yang ngerti gue lebih baik. Orang yang nggak bikin gue merasa terabaikan. Dan lo... lo selalu ada. Lo bikin gue ngerasa... nyaman. Lo nggak cuma temen, Jeno."
Jeno terdiam sejenak, seakan meresapi setiap kata yang diucapkan Karina. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata, "Rin, lo nggak perlu merasa bingung. Gue ngerti kok. Gue... gue nggak mau lo merasa tertekan. Gue nggak pernah maksain lo buat mutusin apa-apa."
Tapi Karina bisa melihat sedikit kerutan di dahi Jeno. "Tapi lo juga harus tahu, Jeno, gue nggak bisa langsung jadi orang lain. Gue baru aja selesai dari hubungan yang cukup berat, dan gue masih ada perasaan sama dia. Gue nggak mau salah lagi. Gue nggak mau terburu-buru."
Jeno mengangguk, senyum tipis di wajahnya. "Gue paham, Rin. Gue cuma... nggak ingin lo merasa sendirian, apapun yang terjadi. Gue di sini, nggak buat ngatur hidup lo, tapi buat nungguin lo kalau lo butuh waktu buat mikir."
Karina merasa sedikit lega mendengar kata-kata Jeno. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah seseorang yang bisa menerima tanpa menghakimi, seseorang yang tidak terburu-buru untuk mendapatkan jawaban. Itu yang Karina rasakan dari Jeno.
"Jadi... lo nggak keberatan kalau gue butuh waktu?" tanya Karina, menatap Jeno dengan cemas.
Jeno tersenyum lebar, menggelengkan kepala. "Gak masalah, gue cuma pengen lo bahagia. Gue cuma pengen jadi bagian dari hidup lo, nggak peduli seberapa lama itu."
Karina merasa hangat di dalam hatinya. Jeno benar-benar membuatnya merasa dihargai, tanpa ada tekanan atau ekspektasi yang berat. "Thanks, Jeno. Gue nggak tahu apa yang bakal terjadi, tapi gue senang bisa punya temen kayak lo."
"Lo nggak cuma temen, Rin," kata Jeno, dengan suara yang lebih serius dari biasanya. "Tapi itu nanti, ya. Gue masih disini, siap nungguin lo."
Karina menatap Jeno, merasakan ketulusan dalam kata-katanya. Mungkin, hanya waktu yang bisa menjawab apa yang sebenarnya mereka rasakan, tapi setidaknya Karina tahu satu hal: dia tidak perlu lagi merasa sendirian.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.