Tangisan Basah dari Mimpi (cerpen)

40 7 0
                                    


Rinai hujan masih saja turun, mengungkung atmosfer kota yang berjuluk "Kota Bertuah" ini. Menciptakan kubangan di mana-mana dengan setiap tetes airnya. Percikannya membasahi ujung sepatuku. Namun, apa peduliku dengan itu? Yang aku inginkan sekarang hanyalah pulang, dan menghangatkan diri di rumah. Aku tak pernah menyukai rasa dingin. Rasanya seakan-akan butiran kristal es menembus masuk ke dalam tulangku.

Menyebalkan.

Aku mengedarkan pandang ke sekeliling. Masih cukup ramai siswa yang belum pulang. Tetapi, tetap saja aku merasa tidak nyaman. Hawa angin yang lembab dan dingin terasa menusuk pori-pori kulitku. Jari-jariku bahkan sudah mulai memutih.

Aku menghela nafas, lalu mencoba untuk bersandar ke dinding. Dinginnya beton seketika menjalar ke punggungku. Aku menatap langit yang terisak. Mungkin awan itu sedih, dan tidak bisa menahan bebannya lagi. Ku tutup mataku perlahan, meresapi sensasi dingin yang merayap ke sekujur tubuhku. Terasa tajam, dan juga -entah bagaimana-  sepi. Apakah dingin pun juga kesepian?

"Hey, belum pulang?"

Ahh.. ternyata temanku. Sungguh sebuah pertanyaan retoris. Jika aku sudah pulang, maka untuk apa aku di sini?

"Ya, begitulah. Sepertinya mama masih di jalan."

"Ahh.. benar juga. Saat hujan begini biasanya macet, kan?"

"Yap."

Hening. Aku mengeluarkan buku dan pensil dari dalam tas. Mengabaikan suasana canggung yang mulai menguar, aku pun mulai menggoreskan warna abu-abu yang khas itu ke atas kertas. Membiarkan jariku berdansa sesukanya membentuk beberapa objek random yang terlintas di pikiran.

"Wahh... kau berbakat! Coba saja aku bisa menggambar seperti itu."

Aku hanya tersenyum, lalu kembali melanjutkan aktifitasku itu. Sudah hampir 80 menit aku menunggu di sini. Kakiku rasanya kebas.

"Hey, aku pulang duluan yaa.. bye!"  ujarnya sambil melambaikan tangan.
Aku membalas lambaiannya, dan kembali menggambar.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Bosan sekali. Aku tidak pernah tahan dengan rasa bosan. Rasanya seperti... hampa.

Kringg kringg

Kaget, akupun memandang asal nada dering itu. Satu telepon masuk dari mama, pertanda bahwa ia sudah sampai. Secara otomatis, tanganku bergerak merapikan tas dan memandang keluar gerbang. Terlihat mobil berwarna hitam milik mama terparkir di sana. Aku pun berlari menembus tirai hujan dan segera masuk ke dalam mobil. Tetesan air hujan itu membasahi wajah dan kepalaku.

Dingin.

Mataku memandang ke arah mama. Dia tidak bicara apapun. Begitu juga denganku. Suasana di dalam mobil begitu hening. Aku menoleh ke luar jendela, menatapi buliran air hujan yang meluncur di kaca mobil. Hujan itu indah, namun sensasi dinginnya membuatku menjadi tidak menyukai hujan. Suara gemericik air terdengar deras dan ribut di luar. Berbanding terbalik dengan situasi di dalam mobil. Namun, aku tidak terlalu ambil peduli dengan diamnya mama. Karena aku sadar, aku memang merepotkan.

*flashback on*

"Ma, Asra ada di rumah?" tanyaku pada mama melalui telepon.

"Iya. Kok kamu nggak pulang sama Asra?"

"Emm.., tadi dia sibuk, terus Austine ada klub juga. Jadinya tadi nggak sempat bilang mau pulang sama dia," jelasku.

"Hahh, kalian ini. Padahal bersaudara tapi seperti ini."

Hatiku mencelos seketika mendengar mama berkata seperti itu. Pedih.

"Ya.., dia tadi nggak bisa diganggu karena sedang latihan. Nanti dia dimarahi kakak kelasnya," ujarku sedikit kesal. Bagaimana mungkin aku mengatakan pada Mama, saat Asra tidak bisa diganggu ataupun dihubungi?!

Trash-CanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang