Gadis kecil ayah

36 2 1
                                    


Nama :Zahra sadiesa
Judul : Synesthesia

Kelabu, aneh, kenapa kelabu? Bukankah biasanya terang? Pandanganku asing, segala ruang pandang seperti foto dengan filter abu-abu muda, lebih terlihat seperti asap tapi menyatu.

*****

Hampir semua orang yang mengenalku mengasihaniku, aku tak normal katanya, bahkan ibuku pun sependapat dengan mereka.

Awalnya mereka berkata bahwa aku gadis kecil yang nakal, hingga pada akhirnya kata "Tidak normal" pun terlabel padaku. Ayah, satu-satunya orang yang tidak memberiku label "Tidak normal" itu, dia selalu berkata bahwa aku istimewa, aku adalah hartanya yang paling berharga. Satu-satunya makhluk ciptaan-Nya yang ku akui, Ayah.

Seperti kebanyakan anak kecil, aku suka mewarnai, bahkan bisa dibilang terlalu suka. Kau ingat, kata terlalu selalu mendatangkan kata negatif setelahnya? Begitu pula dengan kegemaranku. Karena gemar mewarnai tentu saja aku pasti mengenal bermacam warna, ketika teman sepantaranku hanya mengerti warna hijau, aku sudah lama berkenalan dengan hijau lumut, hijau daun, hijau tua, dan macam-macam warna yang belum wajar jika dikenal anak seusiaku. Awalnya ibuku bangga, ibu menganggap itu sebagai nilai plus untukku.

Sampai pada suatu hari, ketika aku asik menggambar ibuku menghampiriku di ruang tengah, dia bertanya kenapa aku menggambar abstrak, kenapa tidak menggambar pegunungan seperti biasanya.
"Aku suka warna suara ibu ketika mendongengiku, pastel dan sedikit merah muda, jadi aku inggin menggambarnya," aku tersenyum bangga sambil memperlihatkan gambaranku, dengan bangga.
Kejadia seperti itu berulang-ulang, seperti ketika teman-teman ibu main ke rumah.

"Bu, tante Anisa bohong."

"Hust, kamu bilang apa sih," ibuku menatapku marah. Saat itu aku masih anak kecil yang belum terlalu paham apa fungsi tata krama.

"Tapi warna suara tante tadi abu abu sedikit hijau Bu," aku berkata sepolos anak seusiaku, mungkin sebab waktu itu aku belum mengerti arti kata tidak sopan.

"Ah, Sahira suka mewarna ya, imajinasinya tinggi loh rin, coba kamu ikutkan lomba mewarnai, kan lumayan bisa asah bakatnya."
Sungguh dari segala warna yang pernah ku lihat aku benci warna abu-abu gelap, suram, warna pembohong ulung, warna munafik.

Malamnya ibu mengadu pada ayah, jelas saja jawaban ayah pasti membelaku.

"Sahira kan memang istimewa, kamu jangan nyalahin dia, ajari dia kalau memang kurang sopan."

Ah, aku suka suara ayah, lembut. Kau tahu rasanya marshmello? Sungguh ini lebih lembut rasanya. Merah muda cerah, dengan kemilau yang sedikit terlihat perak.

Setelah hari itu mama mulai berubah, sikapnya tidak selembut dulu, ucapannya selalu kasar dan menyayat hatiku. Aku pun mulai membencinya.
Aku semakin sering mewarnai. Setelah aku naik kelas empat ayah membelikanku cat air sebagai kado setelah aku menjuarai lomba melukis di salah satu komunitas anak. Ayah juga membelikanku buku sketsa, sungguh saat itu aku sudah lupa kalau ada makhluk bernama "Ibu" di rumah.

Ayah semakin sering mengajakku ke luar rumah, mengajakku berkeliling kota, memperlihatkan keindahan tamaan, gunung, hingga asrinya pedesaan, aku benar-benar berharap hanya ada ayah di duniaku.
Tapi meskipun melihat objek seindah apapun aku tetap lebih menyukai warna suara ayah, lembut dan menenangkan.

Mungkin saat itu aku terlalu senang, hingga Tuhan memberiku waktu untuk merindukan ayah, merasa tersiksa atas ketidak hadirannya.
Ayah menjadi korban tanah longsor ketika berkunjung ke kantor temannya di kalimantan, ia koma selama berhari-hari, meninggalkanku yang terus menangis di samping tempat tidurnya sendirian.
Aku izin sekolah hingga berminggu-minggu, demi menemani ayah, bukan sebenarnya aku tidak sungguh menemani ayah, aku hanya takut keluar sendiri tanpa ayah, aku takut dengan suara-suara mengganggu dan warna-warna menyeramkan miliknya, aku takut ketiadaan ayah di sampingku setiap waktu.

Sungguh aku selalu ketakutan dengan warna-warna kebencian padaku, aku tidak suka dengan tatapan orang lain padaku, aku hanya butuh ayah di duniaku, sungguh.

Ibu tidak penuh menemani ayah saat di rumah sakit, mungkin karna ada aku, pikirku. Saat itu aku benar tidak tahu kenapa ada makhluk yang bisa membenci makhluk lain yang dia lahirkan, mungkinkah begitu pula dengan Tuhan? Mungkinkah Tuhan membenciku karena terlalu sayang pada Ayah?

Seorang suster berulang kali menghiburku, sesekali diaa memberiku coklat atau permen, setiap hari dia jugaa selalu membawakanku masakannya dari rumah, dia kasihan padaku, dan aku tahu itu dari suaranya, warna pastel cerah dan biru muda.

Aku tak pernah menolak pemberiannya, meskipun sedih aku masih sadar aku lapar, aku tidak boleh sakit saat ayah bangun nanti. Dia rajin membujukku untuk mandi, menidurkanku saat malam, rasanya suara ayah ada padanya, aku menyukainya, untuk pertama kalinya setelah memutuskan membenci makhluk seluruh dunia kecuali ayah.
Ibu? Sungguh dia tidak akan pernah kusukai, bahkan ketika aku begitu butuh suara yang menenangkan dia tak pernah ada, menatapku seolah aku patung yang bernyawa. Kenapa kau ciptakan makhluk bernama ibu Tuhan?

Satu waktu suster itu sama sekali tidak menengokku, dan setelah hari itu dia tak pernah lagi datang, ku dengar dari suster yang lain dia kecelakaan. Tuhan membenciku dia tak suka aku dekat dengan suster baik itu!

Kawan ayah sering menjenguk, banyak diantaranya yang tidak kukenal, dan tatap kasihan dari mereka, aku tidak suka! Aku tidak butuh! Aku hanya butuh ayahku!
Saat izin sekolahku hampir satu bulan, ibu mengajakku ke sekolah, dia menyuruhku masuk, padahal ayah bisa saja bangun ketika aku sekolah, lagi-lagi aku benci ibu!

Sepulang sekolah ibu menjemputku, dia berdiri di depan gerbang sambil memainkan ponselnya. Rasanya benar--benar kepedulian yang palsu, dan aku benci itu!

Perjalanan ke rumah sakit rasanya begitu panjang, bisu, hanya ada suara lagu. Tiba-tiba ibu bertanya padaku, apa aku masih suka berbicara tak sopan kepada orang-orang di sekolah, apa aku masih sering berimajinasi yang tidak masuk akal itu, intinya apakah aku masih tidak normal?

Aku ingin marah, tapi kalau aku marah aku tidak bisa bertemu ayah di rumah sakit. Ibu benar tidak peduli padaku, dia hanya peduli pada ucapan orang lain tentang makhluk yang pernah ia lahirkan ini, meski aku membenci ibu, sungguh ini tetap menyakitkan.

Aku diam, ibu geram, atsmosfir dalam mobil terasa sesak, panas. Aku muak, aku bilang pada ibu kalau aku ingin beli minum, aku haus. Dia membelokkan mobilnya ke swalayan, dia memberiku uang dan menyuruhku masuk sendiri, betapa tidak pedulinya dia.

Setelah dari swalayan aku melihaat wajah ibu seperti sedang tertekan ketika mengangkat telpon dari seseorang, aku tak tahu, aku tidak peduli.

Di tengah jalan ibu menyetir dengan konsentrasi yang buruk, dia berulang kali hampir menabrak mobil dan motor yaang ada di depannya, aku tidak peduli. Tapi ketika di perempatan entah kenapa ibu berhenti tepat di tengah, aku berusaha menyuruhnya menggerakkan mobil tapi tetap saja dia tak bergeming, seperti tidak sadar tapi dengan mata yang terbuka, aku bingung, dia diam, dan truk dari sebelah timur melaju dengan cepat, aku takut, gemetar, aku keluar mobil berlari, tapi setelah semua itu yang ku ingat gelap.

*****

Dan pagi ini aku terbangun dengan semuanya kelabu. Setudaknya ada ayah di sampingku.
Kututup buku sketsaku, mungkin setelah ini aku harus membuka lembaran baru dengan segala kesan kelabu. Aku tetap tersenyum sebab ayah jauh lebih berharga dari seluruhnyawa di dunia.

Lamongan, 2 Januari 2018

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 09, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SynesthesiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang