[22] We're late.

2.8K 464 72
                                    


***

Nyatanya, walaupun sudah menuruti perintah sang Ayah, Ali tetap dikeluarkan dari sekolah. Dia sudah tau dari awal kalau ini akan terjadi, jadi anak itu sudah tidak kaget lagi.

"Besok bawa rapot kamu kemari, dan hari ini kamu silahkan pulang. Tidak perlu mengikuti KBM lagi."

Ali mengambil surat yang di sodorkan oleh Pak Jody, selaku kesiswaan di sekolahnya. Di tatapnya surat itu sebentar, sebelum berkata, "Jadi... saya langsung pulang?"

"Iya, tidak perlu masuk kelas! Itu mau kamu, kan?" Pak Bondan datang dengan cangkir kopi ditangannya.

Pak Jody berdehem. "Iya, sudah diwakilkan jawabannya." Laki-laki paruh baya itu, mengambil secarik kertas dari laci mejanya, kemudian memberikannya pada Ali. "Tolong besok di bawa lagi. Ingat, harus sudah di tandatangani."

"Jangan besok," lagi-lagi Pak Bondan menyahut. "Langsung saja sekarang. Pakai pulpen saya!"

Pak Jody melirik sang kepala sekolah itu dengan heran. "Oke, sekarang." ucapnya.

Ali mengangguk pelan, lalu bersiap untuk menandatangani surat pengunduran diri itu. Lagipula, tidak ada lagi yang perlu ia pertahankan di sekolah ini. Satu-satunya orang yang bisa membuatnya untuk tetap waras sudah menjauhinya.

Jadi.... untuk apa Ali masih disini?

"Ali, cepat. Saya harus ngajar habis ini." Pak Jody melirik jam tangannya sekilas.

Brak!

"BERHENTI! AKU BISA JELASIN!!"

Ali mematung saat mendengar teriakan itu. Sedikit ragu dengan suara yang terdengar ditelinganya, tapi ucapan pak Jody membuatnya langsung berbalik.

"Prilly? Ada perlu apa?" Pak Jody berdiri dengan mata menyipit bingung. "Dan tolong, ketuk pintunya dulu. Kamu bisa lebih sopan?"

Prilly menggeleng tidak peduli. "Pak, tolong dengerin penjelasan saya dulu!"

Pak Jody mengeryit, sambil membetulkan letak kacamatanya. "Penjelasan apa?"

Prilly menoleh ke arah Ali, tatapan keduanya bertemu. Prilly tercenung ketika melihat sorot sendu itu. "Ali nggak salah, ini semua gara-gara saya!"

Ali berkedip linglung. "Prill..?"

"Aku yang jauhin kamu tanpa sebab, aku yang buat kamu sakit hati, aku yang egois!" Prilly berjalan tertatih menghampiri Ali, kemudian memegang tangan cowok itu dengan erat. "Aku yang salah, Ali.."

Ali terdiam, membiarkan Prilly menangis didepannya. Tubuhnya menegang begitu mendengar bisikan dibelakangnya. "Sejak kapan kamu berhubungan sama perempuan..?"

Cowok itu menggigit bibirnya cemas. "Jangan dengerin Prilly, dia nggak punya urusan apa-apa di sini." ia menepis tangan Prilly, lalu kembali melanjutkan kegiatannya.

"Ja-jangan-!" Prilly meraung, sambil menahan lengan Ali. Mengabaikan sosok guru didekatnya. "Maaf! Maaf! Maaf!" racaunya.

Ali menghela nafas. "Tolong, jangan ganggu gue, Prill." diliriknya Prilly dengan singkat. "Gue nggak mau lo kena masalah,"

"Aku juga nggak mau kamu kena masalah!" balas cewek itu marah. "A-aku mau berguna buat kamu!"

Pak Jody berdehem. "Kamu mau jelasin apa, Prilly?"

Prilly memandang gurunya. "Ini semua karna masalah pribadi," Lirihnya. "semua gara-gara saya.."

"Jadi, kamu mau menukar posisi Ali?"

Prilly tersentak, namun kemudian mengangguk cepat. Ini semua demi masa depan Ali. Ia hanya ingin melihat cowok itu bahagia kedepannya.

"Baik Prilly, tandatangani surat itu!"

Love You, Nerd! (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang