Ilustrasi Kevin
*****
Selembar kertas HVS berukuran A4 ada di tangan. Gue teliti dari atas sampai bawah. Memastikan tidak ada kata-kata yang keliru maupun salah ketik. Tiga kali dibaca, tiga kali pula niat gue naik-turun seperti harga susu.
"Lu yakin?" tanya Dimas, rekan kerja gue selama 2 tahun terakhir.
Gue mengangguk, lalu membubuhkan tanda tangan. "Kalau gak sekarang, kapan lagi?"****
Berbeda dari biasanya, pagi ini ruangan bos terasa menyeramkan lebih dari apapun. Padahal, kemarin gue masih bebas-leluasa masuk ke sini tanpa beban. Sekarang? Dada gue naik-turun. Ngos-ngosan tanda gelisah. Jantung berdebar seolah hendak meloncat keluar.
Ditemani gugup yang berlebihan, gue mengetuk pintu ruangan si Bos. Terdengar suara perempuan menyambut dari dalam.
"Siapa?"
"Kevin, Bu."
"Masuk."
Dengan mengucap bismillah, gue pun memasuki ruangan tersebut. Menemui Bu Christina untuk menyerahkan surat resign.****
"Gimana?" tanya Dimas penasaran.
Gue menghela napas panjang.
"Gagal maning?"
Sebagai jawaban, gue menghela napas ... lagi. Bukan sekali ini gue mengajukan resign. Sudah 2 atau 3 kali. Namun selalu sukses ditolak dengan alasan yang belibet.
Dimas cekikikan. "Mungkin Mak Lampir demen sama elu kali, makanya lu nggak boleh resign."
"Mendingan gue mati."
"Eh, lu belum jawab pertanyaan gue." Dimas mengubah posisi duduknya. "Tadi gimana? Lu berhasil yakinin Mak Lampir?"
"Berhasil, sih," balas gue lesu. "Tapi –"
"Tapi apa?"
"Tapi gue kudu nunggu ada pengganti buat ngisi posisi gue di sini."
"Lah, kan ada si Fajar bagian HRD. Dia bisa gantiin posisi elu di sini, kan? Ngapain mesti cari orang baru?"
"Kata Mak Lampir Fajar nggak menarik," jawab gue. "Dia takut kena polusi mata. Mak Lampir penginnya punya sekretaris yang enak dipandang. Itu syarat utama. Wajib!"
Dimas manggut-manggut sambil menggumam. Wajahnya sok serius. "Kok, bisa gitu, ya?"
"Bisa apa?"
"Mak Lampir kepingin punya sekretaris yang enak dipandang. Itu artinya, selama ini dia punya sekretaris yang enak dipandang, kan?"
"Terus?"
"Emangnya lu enak dipandang?"
Bangsyat!****
Dua tahun gue habiskan waktu mengabdikan diri menjadi karyawan sebuah perusahaan XXX yang bergerak di bidang peternakan. Kebetulan gue bekerja di bagian kantor pusat, menjadi sekretaris pribadi.
Jaman sekolah dulu, gue pikir jadi sektretaris itu enak. Kerjanya santai. Macam di film-film atau sinetron.
Tapi fakta berkata lain. Dia tak segan menamparmu untuk menyadarkan bahwa ada kehidupan lain yang disebut realitas.
Menjadi sekretaris berarti bekerja penuh ketelitian dan komitmen. Mengatur jadwal, menerima telepon ini dan itu, menuruti apa yang bos mau, membuat berkas ini-itu, dan semacamnya.
Terdengar enak? Memang. Namun pekerjaan yang 'terdengar enak' itu tak luput dari resiko. Terlebih bila menyangkut jadwal si bos. Salah sedikit saja imbasnya bisa luar biasa. Bukan hanya mental yang terguncang akibat dicaci sepanjang hari, tapi juga gaji.
"Jadi alasan lu resign tuh sebenernya apa, sih? Bosan jadi kacungnya Mak Lampir?" Dimas bertanya disela kunyahannya. Kami sedang istirahat makan siang di KFC dekat kantor.
Gue mengangguk. "Elu tahu sendiri gimana Mak Lampir, kan? Manusia mana yang betah lama-lama kerja sama orang kaya dia?"
"Namanya juga kerjaan. Pasti ada resikonya."
"Resiko apaan?! Okelah kalau dia nyuruh bikin berkas, jadwal, dan semacamnya. Itu memang tanggung jawab gue. Tapi kalau lebih dari itu, ya, mana gue sudi?"
Kening Dimas berkerut. "Maksudnya?"
Gue menghembus napas kencang. Selera makan mendadak sirna. Gue menyandarkan punggung di sandaran kursi. Memandang ke jalanan yang ramai lancar. Mengumpulkan keinginan untuk mengeluarkan unek-unek yang selama ini terpendam dalam hati. Dan sepertinya, mungkin ini waktu yang tepat untuk menumpahkan segalanya. Kepada satu-satunya sahabat yang dekat dengan gue di perantauan.
"Jadi gini, Dim," kata gue memulai cerita. "Elu pasti pernah denger gosip tentang mantan-mantan sekretaris Mak Lampir yang resign. Mas Bayu, Mas Indra, Mas Dicky."
"Denger-denger, mereka resign karena nggak betah, kan?"
"Mereka bukannya nggak betah, Dim. Tapi dipecat."
Kedua alisnya bertemu. "Dipecat? Masa, sih?"
Gue mengangguk. "Iya. Mereka dipecat gara-gara ... nolak jadi 'kucing'-nya Mak Lampir."
Dimas tersedak. "Buset! Serius?! Jangan bohong, lu!"
"Gue gak bohong! Mas Bayu yang kasih tahu gue," balas gue meyakinkan. "Kata dia, mendingan gue ngajuin resign sebelum dipecat akibat nolak 'permintaan' Mak Lampir."
"Lah, bukannya mendingan dipecat, ya? Maksudnya biar dapet pesangon gitu."
Gue berdecak. "Lu salah kalau mikir gitu. Dipecat dari perusahaan ini, itu artinya elu mesti siap menanggung konsekuensi."
"Konsekuensi apa?"
"Mak Lampir punya koneksi yang luas. Dia nggak ragu kasih kita 'nilai merah' ke temen-temennya. Imbasnya? Lu bakalan sulit diterima kerja di perusahaan-perusahaan gede. Mas Bayu contohnya."
Dimas manggut-manggut paham sambil bergidik ngeri. Dari raut mukanya yang berubah, gue yakin dia mulai mengantisipasi kerja head to head bareng Mak Lampir.
"Kev, jangan marah, ya?" tanya Dimas ragu. "Mak Lampir pernah gak ... 'minta jatah' ke elu?"
Gue kembali membuang pandangan ke luar. Ada jeda hening sebelum akhirnya gue menjawab.
"5 kali."
Dimas tertegun.
"Tapi karena gue masih punya harga diri, makanya gue langsung minta resign."
Dimas tidak berkata-kata lagi. Kami menghabiskan sisa waktu makan siang dalam diam.
"Mungkin itu alasan dia minta dicariin sekretaris yang enak dipandang," simpulnya kemudian.
Gue mengedikkan bahu.
Entah apa yang ada dalam pikiran Dimas sekarang. Tapi yang gue percaya, pandangan dia mengenai pekerjaan gue telah berubah. Selama ini dia iri karena pekerjaan gue kelihatannya santai dan seperti makan gaji buta. Sayang sekali, bayangan indahnya harus terhempas dan hancur oleh kenyataan pahit yang keluar dari mulut gue. Sang sekretaris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Seorang Pengangguran [Real Story]
Non-FictionCerita ini merupakan kisah nyata yang dialami teman kecil penulis. Sebut saja Kevin. Jadi, penulis kenal dan percaya bahwa sebagian besar kisahnya adalah asli. Namun ane tidak menampik adanya suara-suara ragu dari para reader. Ambil pelajarannya saj...