Pulang ke rumah di siang bolong bukanlah kebiasaan gue 3 tahun terakhir. Aneh rasanya. Ah, biarin!Yang penting mulai detik ini gue udah tidak ada urusan lagi dengan Mak Lampir beserta tetek-bengek yang bikin nyesek.
Dinda, mbak-mbak cantik yang tinggal di sebelah rumah menegur gue. "Mas Kevin, tumben pulang awal? Sakit?" tanyanya ramah.
"Iya, nih," jawab gue seadanya, lalu membuka pintu gerbang.
Dinda mendekat. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Aduh pantesan mukanya pucet begitu! Udah berobat belum?"
Gue memaksakan senyum dan menggeleng. "Paling kecapean doang, Mbak. Lagian tadi udah berobat. Ya udah, saya masuk dulu." Gue pun menghambur masuk ke dalam rumah.
Tanpa gue sangka, Dinda, yang pada dasarnya rempong macam emak-emak, tahu-tahu ikut nyelonong masuk.
"Mas Kevin jangan bohong," sergahnya. "Tiga tahun saya kenal Mas, belum pernah tuh saya lihat situ pergi ke dokter. Orang situ cuman sakit perut aja bukannya berobat, malah teriak-teriak kaya orang gila!"
"Mbak, serius, saya ..."
Belum selesai kata-kata gue, Dinda memaksa gue duduk di sofa ruang tamu. Tangannya menyentuh dahi gue sambil bergumam.
"Agak anget," simpulnya. "Saya bikinin teh, ya?"
Gue menggeleng. "Nggak usah, Mbak. Malah ngerepotin."
Dinda mengibaskan tangannya. Tanpa memedulikan sang tuan rumah, dia main masuk ke dapur dan menyiapkan apa yang kepingin dia buat.
****
Namanya Dinda Martha Kusumaningtyastoro, seumuran gue, putih, tinggi, body ideal, cantik, dan baru saja menjanda. Suaminya minggat dengan alasan yang 'nggak-banget'. Efek nikah usia muda, kalau kata gue.
Gue jadi ingat pertama kali ketemu dia. Hari itu, gue baru saja tiba di Jakarta dari Semarang. Pukul 10 pagi di terminal Kampung Rambutan. Gue yang masih polos tentang Jakarta agak-agak pusing mendapati hiruk-pikuk terminal yang cukup mengejutkan.
Sebelum hijrah, gue diberi wejangan bahwa kota Jakarta adalah kota keras, dimana kejahatan tak terhitung jumlahnya. Tentu gue amat-sangat-berhati-hati. Orang-orang yang menatap gue, gue tatap balik dengan pandangan bengis. Gue bukan cowok penakut. Bahkan kalau diajak berantem, ya udah, ayok!
Ponsel gue berdering. Ibu.
"Halo, Bu?"
"Gimana, Kev? Udah sampe Jakarta?"
"Udah, Bu."
"Syukur, deh. Eh alamat rumahnya om Nino ndak lupa, toh?"
Gue merogoh saku celana. Mengambil sepotong kertas berisikan informasi rumah saudara yang siap menampung gue. Dengan gratis. "Ndak, Bu."
"Ya udah ati-ati. Inget, Jakarta kota keras. Banyak penipu. Jangan sampe ketipu sama orang-orang yang keliatan baik, ya?"
"Iya, Bu."
"Ya udah. Tuhan memberkati."
"Amin."
Telepon ditutup.
Gue baca pelan-pelan alamatnya. Kata Ibu, sih, rumah Om Nino tidak jauh dari terminal. Naik angkot sekali, terus oper, oper lagi, jalan 10 menit, sampai, deh. Dan gue menangis batin.
Masa itu belum jaman yang namanya ojek online. Jadi satu-satunya jalan adalah naik taksi atau ngojek.
"Masnya mau ke xxx ?" Seorang cewek tahu-tahu bertanya. Gue tengok kanan-kiri. Dia ngomong sama gue? Gue mengedip-ngedipkan mata. Buset! Bening amat, nih, cewek. Mind blowing.
"Mas!" Dia menepuk pundak gue. Dengan keras.
Gue tersentak. Menyadari sesuatu. Pertama, gebukannya bertenaga. Kedua, menurut kabar, menepuk pundak adalah salah satu cara tukang hipnotis memangsa korbannya. Dan tiada lebih mencurigakan selain ada cewek cantik, sok dekat, sok baik, tiba-tiba menawarkan bantuan tanpa diminta, dan menepuk pundak pakai tenaga.
Tanpa membalas ucapan dia, gue balik kanan. Maju jalan.
Buset! baru nyampe aja udah nyaris kena hipnotis, rutuk gue dalam hati, terus berjalan cepat. Beberapa kali gue menyenggol pejalan kaki lain. Tidak peduli mendengar maki-makian orang, pokoknya gue harus menjauh.
Gue berhasil keluar dari terminal dan duduk di trotoar. Kepala celingukan seperti maling menghindari kejaran polisi. Syukur, mbak-mbak tukang hipnotis tadi sudah tak tampak batang hidungnya. Fiuh!
Sebut gue lebay atau parno berlebihan. Ya, mau bagaimana lagi? Ini kali pertama gue menginjakkan kaki di Jakarta. Belum tahu harus kemana dan bagaimana. Yang gue pegang cuma selembar kertas yang belum ada gunanya sama sekali dan harapan bahwa Senin mendatang gue kerja kantoran.
"Aduh, Mas. Kok malah kabur, sih?!" Sekonyong-konyong, cewek tukang hipnotis tadi muncul di hadapan gue. Refleks, gue teriak, "TUKANG HIPNOTIS!"
Perhatian orang-orang beralih ke gue. Cewek di depan gue tetiba panik. Dia langsung menjerit, "Nggak! Saya bukan tukang hipnotis!"
Gue yang tidak percaya membalas, "Mbak! Kamu tuh cantik, tapi kita belum kenal. EH, tahu-tahu nawarin saya bantuan, terus nepuk-nepuk pundak saya. Mana nepuknya keras. Kalau bukan mau hipnotis terus apa?"
Orang-orang mulai berkerumun. Suasana mulai panas.
"Nggak! Sumpah demi Allah! Saya bukan tukang hipnotis!"
"Terus kenapa situ ngejar-ngejar saya?" Gue berapi-api. Penipu mana mau ngaku?
"Karena saya kepingin jemput kamu."
Idih! Jangan pikir gue bakal luluh dengan rayuan receh macem itu! "Saya nggak percaya."
Beberapa orang terpancing suasana. Tapi kelihatannya cewek ini tahu harus berbuat apa untuk menutupi kebohongannya. "Saya bisa jelaskan."
"Apa?"
"Nama kamu Kevin Setyawan?"
Gue terdiam. Mengangguk. Kok, tahu?
"Kamu dari Semarang, pengin ke xxx?"
Oke. Tampaknya dia bukan tukang hipnotis.
"Kok, kamu tahu?" kata gue.
"Ya tahulah! Om kamu yang mengutus saya buat jemput kamu! Bahkan dia kasih saya foto kamu supaya saya nggak salah jemput! Nih!" Dia menyodorkan ponselnya yang memajang foto gue.
"Oh, Mbak ini kenal sama Om Nino?"
"Sebentar," seorang pria tahu-tahu memotong, "jadi, Mbak bukan tukang hipnotis?"
"Bukanlah, Pak! Ini cuma salah paham!" belanya.
"Yaahh..." Suara-suara kecewa mengudara. Kerumunan bubar. Anti-klimaks.
"Mbak bukan tukang hipnotis, toh?" kata gue hati-hati.
"Kenalin, saya Dinda. Saya bukan tukang hipnotis, tapi tetangganya Om Nino. Kebetulan, Om kamu itu lagi keluar kota sama keluarganya. Jadi saya yang harus jemput kamu."
Gue manggut-manggut. "Hehe. Maaf, ya, Mbak?" ucap gue dengan nada sok polos dan tidak berdosa, yang dibalas helaan napas berat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Seorang Pengangguran [Real Story]
Non-FictionCerita ini merupakan kisah nyata yang dialami teman kecil penulis. Sebut saja Kevin. Jadi, penulis kenal dan percaya bahwa sebagian besar kisahnya adalah asli. Namun ane tidak menampik adanya suara-suara ragu dari para reader. Ambil pelajarannya saj...