Rintik hujan masih terlihat jatuh dari langit sore itu, awan tampak enggan menyudahi tangisnya, hawa dingin yang terbawa oleh angin membuatku menggigil. Rasanya begitu menusuk hingga kini menyentuh tulang, dari dulu aku memang tak pernah tahan dengan suhu udara yang terlalu dingin seperti ini.
Beruntung Bunda mengulurkan tangan dan memelukku dengan erat. Hangat. Sudah lama aku tidak merasakan kehangatan ini. Kehangatan dari pelukan seorang ibu. Selimut termahal di dunia pun tidak akan pernah bisa menggantikannya. Pelukan Bunda adalah hal ternyaman bagiku. Dari dulu, sejak kecil tangan lembut itu adalah favoritku.
Namun sayang, sore itu pelukan Bunda diiringi dengan isak tangis yang begitu menyayat hati. Tubuhnya bergetar, bibir tuanya tak henti-henti menciumku. Hatiku begitu sakit melihat Bunda seperti ini. Aku tidak tahu apa yang membuatnya menangis sekeras ini. Apa yang salah? Apa yang terjadi dengan Bundaku?
Rumahku pun mendadak ramai, banyak sekali tetangga yang datang, beberapa juga kulihat teman kantor Bunda, memberi wanita berhargaku itu pelukan dan selalu berbisik agar Bunda bersabar.
"Tuhan lebih menyayanginya."
Kalimat itu yang selalu aku dengar.
Aku tidak mengerti apa maksudnya, aku juga tidak mengerti mengapa orang-orang menangis dan berpakaian serba hitam.
Kucoba meraih tangan Bunda, begitu saja tanganku lolos. Apa yang terjadi? Aku bisa melihat tubuhku dipeluk erat oleh Bunda. Aku bisa merasakan kehangatan itu di tubuhku. Aku juga bisa mendengar jerit tangis beliau.
Kemarin aku masih bisa memegang tangannya, aku masih bisa memintanya duduk bersamaku di ruang makan. Walaupun Bunda selalu menolak, berdalih mengatakan waktuku masih panjang, beliau selalu meninggalkanku saat aku memintanya untuk tetap tinggal.
Saudara kembarku adalah prioritas Bunda. Bunda mengatakan bahwa beliau harus fokus dulu mencari donor jantung yang cocok untuk Revan. Aku tahu Revan mempunyai penyakit yang sama seperti Ayah. Penyakit yang beberapa tahun lalu merenggut beliau dari kami. Bunda sepertinya takut kehilangan Revan, ia takut kehilangan untuk kedua kalinya.
Aku mengerti. Aku tidak akan memaksa Bunda untuk meninggalkan Revan demi diriku yang mempunyai waktu lebih banyak bersamanya. Tapi, aku hanya meminta Bunda menemaniku di saat saudara kembarku tertidur. Aku hanya meminta sedikit waktu Bunda. Sedikit perhatiannya. Sedikit belaian kasih sayang darinya.
Namun, lagi-lagi kalimat yang sama selalu kudapatkan. "Waktumu masih panjang, kita bisa melakukannya lain kali. Bunda harus menemani Revan."
Aku tak bisa berbuat apa-apa saat Bunda sudah berkata demikian. Kala ia mulai melepas genggaman tanganku yang merengek, kala ia hanya menatapku sesaat lalu berbalik, yang bisa kulakukan hanyalah melihat punggungnya yang menjauh dariku.
Aku kesepian. Tentu saja. Aku merasa hidup seorang diri, pelukan hangat tak pernah Bunda berikan kepadaku. Bunda tak lagi mengajariku membuat PR. Bunda tak lagi mengajakku keluar bersamanya. Selalu Revan. Sudah kubilang ia adalah prioritas Bunda.
Di malam sewaktu Bunda berteriak histeris memanggil sopir, aku hanya bisa terpekur melihat tubuh Revan digotong keluar. Ia tertidur, terlihat begitu pulas. Tapi Bunda menangis, ia sesenggukan.
Hatiku teriris melihat air mata Bunda yang terus mengalir dengan deras. Wanita hebatku terlihat begitu rapuh. Kakiku melangkah mengikutinya yang berlari keluar bersama sopir yang membopong tubuh Revan. Aku hanya ingin mendekati Bunda dan memeluknya. Menghapus air matanya yang membuat dadaku sesak.
Namun aku terlambat. Beliau sudah memasuki mobil. Ini salahku karena sempat tak bergerak dan hanya memerhatikan mereka. Seharusnya aku lebih gesit untuk mengejar Bunda.
Langkahku terus bergerak walau mobil sudah meninggalkan pekarangan rumah. Aku ingin sekali berada di sisi Bunda kala itu. Aku sangat ingin menggenggam tangannya. Menghapus jejak air matanya. Memeluknya, membisikan kalimat menenangkan. Namun yang hanya bisa kulakukan adalah menatap mobil hitam yang ditumpangi Bunda.
Sama halnya mobil itu yang kian menjauh, jarak pandangku pun kian memudar. Genangan di pelupuk mataku membuat jalanan terlihat mengabur malam itu.
Aku berteriak, memanggil nama Bunda berkali-kali, memintanya untuk berbalik dan membawaku pergi bersama mereka. Aku meminta agar Bunda tidak meninggalkanku seorang diri. Aku meminta agar Bunda bisa melihatku, bukan sebagai anak yang sehat dan mempunyai waktu yang lebih panjang. Aku hanya ingin Bunda melihatku sebagai putranya yang juga membutuhkan kasih sayang.
Namun usahaku sia-sia saat mobil itu tertelan rintik hujan. Petrikor menguar menyapa indra penciumanku, jika tidak dalam kondisi seperti ini mungkin aku akan sangat senang menikmati hujan pertama di bulan Desember itu. Namun kala itu deras rintik hujan beradu dengan rinai yang berjatuhan dari mataku.
Untuk pertama kalinya aku menangis karena Bunda, menjadi bukti pertama atas luka yang aku tunjukan kepada dunia. Luka yang digores Bunda selama ini, dan juga sesak yang menumpuk bertahun-tahun. Tak kusangka malam itu semuanya akan kutumpahkan di bawah tangisan langit. Di tengah hujan yang selalu aku nikmati di balik jendela.
Tiba-tiba aku merasakan sesuatu menyambar tubuhku dari belakang, terhantam keras hingga membuatku melayang, merasakan angin dingin yang bertiup di atas udara, sampai akhirnya aku terhempas keras ke aspal, menggelinding beberapa kali hingga berhenti dengan sendirinya.
Sakit. Teramat sakit.
Tubuhku terasa remuk. Bau anyir menelusup di sela-sela aroma petrikor. Aku tergeletak di atas jalanan yang berhujan. Samar, aku menatap langit. Di tengah pekat itu, hadir bayangan Bunda. Lengkungan senyum tak bisa aku tahan.
"Bunda."
Walau dalam hati aku merasa bahagia karena saat itu Bunda langsung menoleh hanya dalam satu panggilan. Itu pertama kalinya semenjak Bunda tak lagi menatapku.
"Bunda, bisakah Bunda memelukku? Bisakah Bunda menggenggam tanganku? Tubuhku benar-benar terasa sakit. Sangat sakit."
Tangisku merebak di tengah deras tetes hujan yang mengguyur sekujur tubuh.
"Bunda, aku tidak butuh waktu yang banyak untuk bersamamu. Aku tak butuh waktu tersisa yang engkau janjikan. Yang aku inginkan hanya pelukanmu detik ini. Pelukan yang bisa mengurai rasa sakit yang begitu dahsyat di sekujur tubuhku, rasa sakit yang bahkan melumpuhkan sendi-sendiku."
Namun, Bunda tak kunjung datang, bayangnya pun menghilang saat rasa sakit itu membuat kelopak mataku memberat. Dalam pejam, aku tak lagi menemukan Bunda.
Aku terbangun di sore harinya, semua sudah berbeda, rumahku ramai dengan orang-orang yang mengucapkan belasungkawanya kepada Bunda.
Tangisan beliau kala itu tak mengubah apapun. Sekalipun ia meminta Tuhan mengembalikanku, tubuh kaku di dalam pelukannya tak bisa kugerakkan. Karena setelah malam itu, ragaku tak lagi menjadi milikku.
Bunda berbohong tentang waktuku yang masih panjang. Bunda berbohong akan selalu bersamaku. Bunda berbohong tentang umur panjang yang akan kujalani. Nyatanya, aku tak bisa lagi menyentuh Bunda. Aku tak bisa lagi memeluk Bunda. Aku tidak bisa menghabiskan waktu bersama Bunda seperti yang selalu ia katakan saat menolakku.
Sekarang, aku tak berada di dunia yang sama dengan Bunda. Ada satu hal yang belum sempat aku katakan kepadanya, satu hal yang selalu ingin aku katakan tatkala ia melepas genggamanku. Hanya beberapa rentetan kata yang tak pernah mendapatkan sempat untuk terucap.
Kalau Devan ... sangat menyayangi Bunda.
⏳T I M E⏳
Lombok, 15 April 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
TIME (1/1 End)
Short Story(Oneshoot) Ini tentang waktu yang tak sempat kumiliki. Copyright©2019 by haynett_