Narasi-ku
Hidup memang beralur. Punya konsekuensi disetiap lajur. Pilihannya, bergerak maju atau berjalan mundur. Tergantung, bagaimana keadaan memposisikanmu.
Fana. Ketika banyak orang bersuara ‘Tidak ada yang mustahil ketika mau berjuang’. Bagi sebagian awam memang benar. Tapi banyak juga yang beranggapan ‘Harusnya kamu sadar diri’.
Bukankah setiap bagian diri memiliki porsi? Lantas, mengapa harus memaksakan hal yang berujung tak pasti?
Sudah ratusan hari. Ratusan kali pula tergambar perjalanan. Catatan yang semakin penuh dilembaran hidup.Tetapi mengapa semakin terasa ada yang menjauh. Seakan semua pergi.
Yang tinggal hanya kita –Aku, dan kesepianku...
***
Kalian pernah mengalami Cinta Pertama? Jelas pernah, bukan? Sebelum itu, bedakan antara Cinta Pertama dan Pacar Pertama. Kedua hal yang jelas berbeda tapi sering diartikan sama.
Pertanyaanku adalah. Apa kalian tahu rasanya... ketika tidak bisa melupakan Cinta Pertama, bahkan untuk waktu yang lama? Aku... tahu rasanya.
Masa kuliah, umur 20 tahun. Saat aku pertama kali menemukan cinta pertamaku. Dan sekarang, aku menulis ini disaat umurku 23 tahun. Sudah 3 tahun? Ya, selama itu aku masih mengingatnya. Oh, atau ada yang lebih lama dariku? Coba katakan.
Selama 3 tahun ini aku mengingatnya. Wajahnya, sikapnya, senyumnya, siluetnya, bahkan sosoknya dari belakang. Kadang aku berfikir, apa ini adil untuk seseorang yang bahkan tidak memperjuangkanku? Tunggu, aku akan menceritakannya nanti.
Aku berpisah dengannya dengan baik-baik. Bahkan terlewat baik, mungkin? Berawal dengan pertemuan kami di satu kelas kuliah yang sama, dan berlanjut begitu saja setiap harinya. Aku terlanjur terbiasa dengan kehadirannya. Juga merasa nyaman, terlalu nyaman sampai aku tidak memedulikan statusnya saat itu. Kami tidak pacaran. Tapi hubungan kami jelas untuk sebagian orang yang mengenal kami berdua. Oh ayolah, meskipun waktu itu aku masih labil tapi aku tidak cukup bodoh untuk pacaran dengan laki-laki yang sudah punya pacar.
Apa aku mengejutkan kalian? Hahaha jangan mengasihaniku. Teman-teman bahkan kakakku sudah sering melakukan itu.
Ya, aku bertemu dengannya saat ia tengah menjalin hubungan dengan seseorang yang sudah ia jalani hampir 5 tahun. Dari jaman SMA, katanya. Cukup lama, bukan? Bahkan aku sempat terkejut saat pertama kali mendengarnya.
Dan seolah buta, aku tidak peduli dengan status ataupun pacarnya saat itu. Hanya berusaha menikmati perasaan kami setiap harinya. Belajar bersama, istirahat dan makan makanan kantin bersama, kerja kelompok bersama, dan tak jarang mengantar jemput pula. Beruntung pacarnya itu beda kampus, jadi aku dengan leluasa menikmati setiap rasa yang muncul diantara kami. Seolah jika dia sedang berdamaku, maka dia adalah milikku.
Selingkuhan? Orang ketiga? Egois? Silahkan menyebutku begitu. Aku bukan tidak sadar, aku bahkan justru yang paling sering menyebut kata itu pada diriku sendiri. Ya, jika lagi sadar. Karena beberapa orang yang tahu hubungan kami, bahkan tidak pernah menyebutku begitu. Sahabat-sahabatku justru seperti mendukung dan seolah berkata ‘rebut aja’. Mesipun masih ada beberapa orang yang tidak suka, mereka kebanyakan laki-laki. Hey, bukannya aku tidak laku. Justru sebaliknya.
4 dari sahabat laki-laki dekatku dikuliah, 3 diantaranya dengan terang-terangan menyatakan perasannnya padaku. Dan entah aku bodoh atau apa, aku menolak dua orang yang jelas single dan lebih memilih Dia yang termasuk tiga orang tadi, yang jelas-jelas sudah punya pacar.
Entahlah, memangnya Cinta bisa memilih kemana dia akan berlabuh? Yang kedatangannya pun kadang tidak kita sadari.
Beberapa bulan berlalu dan aku semakin dewasa. Dan entah untuk menyadarkan perbuatanku yang jelas salah atau apa, perlahan aku mulai sadar dan lebih sering berfikir daripada sebelumnya. Tentu karena sikapnya juga yang kadang aku rasa janggal.
Aku mengenalnya sebagai pria baik. Kuliah sambil kerja, aku juga melakukannya, karena kami memang berada dikelas karyawan. Tidak merokok, tidak minum, dan katanya dia juga belum pernah melakukan sesuatu yang dilarang agama kepada wanita. Benar-benar tipeku, salah satu alasan kenapa aku menyukainya.
Pertama kali aku sadar saat hubungan kami justru semakin dekat. Aku sudah seperti pacarnya sendiri, bahkan aku dibawa dan dikenalkan pada keluarganya. Wanita mana yang tidak akan jatuh hati jika mengalaminya? Tapi jawabanku... aku justru semakin berfikir. Ini sudah sekitar 10 bulan dan sekarang aku bahkan akrab dengan ibu juga adik-adiknya. Yang mengganggu fikiranku saat itu adalah... “Mau sampai kapan kita begini? Kenapa kamu seolah mau serius? Tapi kamu tak kunjung memperjelas hubungan kita. Bahkan kamu masih pacaran sama pacar kamu itu,” memang terdengar egois. Tanpa kata-kata langsung, tapi sikapku menunjukan seolah berkata “putusin pacar kamu!” jelas aku tidak berani mengungkapkannya langsung. Aku masih sadar diri.
Setelah itu hubungan kami sedikit renggang. Aku menghindar dan banyak merenung. Hingga ada salah satu sahabat laki-laki, termasuk ke empat orang yang aku sebutkan diatas. Dia sadar dengan situasiku dan mengajakku bicara. Jangan heran, meskipun aku menolak mereka, tapi kami tetap dekat seperti sebelumnya, tipe sahabat dan cinta yang tak perlu balasan, itulah mereka. Apa aku kurang bersyukur ya?
Dia mengajakku bicara dan akupun mengungkapkan semuanya padanya. Dan tiba pada saat dia mengeluarkan kata-kata yang membuatku mengutuk diri sendiri. Alasannya selama ini tidak menyukai hubunganku, selain karena sudah punya pacar, dia mengatakan hal yang sulit aku terima, bahwa laki-laki yang selama ini aku cintai ternyata sudah pernah melakukan hal yang dilarang agama dengan pacarnya, bahkan sering. Sahabatku dengan marah mengatakan “Kamu udah dibohongin selama ini. Dia itu bukan laki-laki baik, dia ga pantes buat kamu,” dan saat itu aku hanya bisa diam, berusaha mencerna kata-katanya yang sulit aku percaya. Dia melanjutkan “Maaf aku diam selama ini. Aku Cuma menghargai pilihan kamu yang jelas salah, aku berfikir kamu pasti bisa jalaninnya dan siap dengan semua resiko yang kamu ambil, maaf,”
Aku tidak menyalahkan sahabatku, justru aku menyalahkan diriku sendiri yang kelewat naif. Dengan perasaan yang campur aduk aku memberanikan diri mengajaknya bertemu dan menanyakan semua itu padanya. Dan saat itulah aku mengambil nafas dan mengatakan jika hubungan kita berakhir setelah ia berkata “Ya” tentang semua pertanyaanku. Seolah menggali kubur sendiri, aku bertanya kapan pertama kali ia melakukannya. Dan keterjutanku semakin jauh saat dia berkata “Sejak SMA”. Tanpa apapun lagi, aku mengakhiri semuanya disana. Tak ingin mendengar apapun lagi, lebih baik aku tidak tahu. Sejak SMA? Aku berfikir keras, rasanya pada saat aku SMA berpegangan tangan saja tidak berani. Tapi dia? Seberapa jauh sebenarnya?
Aku ketakutan, aku membenci diriku. Aku sempat berfikir ‘bagaimana kalau dia juga berniat begitu padaku?’ rasanya aneh, mengingat hubungan kita selama ini yang wajar-wajar saja. Sebenarnya, seberapa jauh aku mengenal laki-laki yang selama ini aku cintai? Atau aku yang terlalu buta dan memilih untuk tidak tahu?
Tiga bulan berlalu dengan saling menghindar. Beruntung waktu pergantian semester kita berbeda kelas. Sedikit lebih lega dibanding selama ini yang harus terpaksa melihat wajahnya karena kami satu kelas. Kami sudah tidak pernah saling bicara, semua kontaknya aku blokir. Dibanding rasa sakit, aku lebih kecewa saat itu. Bahkan ketika tidak sengaja bertemu di tangga yang sama, aku memilih untuk turun dan membiarkannya naik terlebih dulu. Aku terlalu sakit jika harus berada dekat dengannya, atau melihat wajahnya.
Hingga suatu hari salah satu teman kerjaku menyadarkanku. Dia memperhatikanku yang selama 3 bulan ini berubah, lebih diam. Aku tipe gadis yang berisik, jadi pantas saja jika mereka yang mengenalku akan sadar jika aku tiba-tiba diam. Dia memberiku pencerahan dan nasihat setelah aku menjelaskan semuanya padanya. Dia mengatakan aku harus minta maaf dan memaafkan diri sendiri “Jangan malu untuk minta maaf, disini bukan dia yang sepenuhnya salah. Kucing mana yang tidak akan tertarik jika dikasih ikan?” katanya.
Aku berfikir beberapa hari karena perkataan itu. Mungkin benar jika aku juga salah. Mungkin semua ini tak akan terjadi jika aku menolaknya dari awal. Bukan malah menerima seolah akan siap dengan semua resikonya. Hatiku mulai luluh, aku mulai mencari kontaknya yang aku block. Dan aku terkejut dengan apa yang pertama kali aku temukan di socmednya. Dia sudah putus.
Aku menghubunginya tanpa basa-basi dan mengajaknya bertemu. Aku mengawali pembicaraan saat keheningan yang terjadi diantara kami semakin lama, sibuk dengan fikiran masing-masing. Memang terasa aneh, bertemu kembali setelah 3 bulan saling menghindar dan putus kontak. Aku mengatakan semua yang aku rasakan selama ini dan berakhir dengan permintaan maafku karena telah berani memasuki hidupnya. Dan dia membalasku dengan banyak penjelasan atas sikapnya selama ini, juga atas kebohongan besarnya. Aku tidak akan menjelaskan, itu adalah penjelasan yang cukup masuk akal dan dapat kuterima.
Penjelasannya berakhir dengan permintaan maafnya dan cerita yang menyebabkannya putus dengan pacarnya. Sebelum itu berlanjut, aku lebih dulu memotongnya. “Sekarang, lebih baik kita jalanin hidup masing-masing. Aku maafin kamu dan aku juga berusaha maafin diri sendiri,” kata-kataku yang jelas dengan penolakan karena dia yang berniat membawaku kembali. Saat itu aku hanya berfikir, aku ingin terbebas dulu dari semuanya. Berhubungan baik dan tidak saling menghindar lagi. Aku juga bukan tipe orang yang akan menjalani kembali sesuatu yang sudah kepalang hancur. Seakan, kalau jodoh gak akan kemana. Aku meninggalkannya saat itu dengan harapan kami akan baik-baik saja dengan hidup kami masing-masing.
Namun siapa sangka, aku terus mengingatnya selama tiga tahun. Aku bukan tidak mencoba, tapi selalu saja berakhir buruk, dengan siapapun itu. Sampai saat ini aku masih belum menemukan apa yang harus aku lakukan dengan perasaan ini? Disaat bahkan dirinya telah akan menikah dengan wanita lain.
Ya, setelah aku meninggalkannya waktu itu, kami tetap berhubugan baik. Tak jarang dia juga mengubungiku untuk menanyakan kabar dan menceritakan hal-hal kecil. Dengan batasan tanpa menyinggung perasaan, kami baik-baik saja. Bahkan kami menceritakan pacar masing-masing, sebelum aku putus untuk yang kesekian kalinya. Berbeda denganku, dia hanya bertahan dengan satu wanita setelah itu, dan berlanjut sampai dengan rencana pernikahan.
Kadang rasanya tidak adil. Bagaimana dia bisa bahagia sedangkan aku masih begini?
Beberapa orang berkata padaku “Mungkin kamu cuma belum bertemu dengan orang yang tepat” mungkin itu benar. Atau hanya sebatas penghiburan? Entahlah.
Sore hari, jam 03.51 PM, diluar sedang hujan. Sambil membaca weebtoon Matahari Setengah Lingkar, yang kisahnya sedikit mirip dengan yang aku rasakan. Aku menulis ini... menatap hujan, aku berharap, jika aku akan segera bertemu dengan seseorang yang bisa menggantikanmu. Melupakanmu... dirimu yang sebentar lagi akan menikah.