27. MENANTI BAHAGIA

1.5K 135 8
                                    

Auhtor Note : Vote sebelum membaca ya 😉 budayakan sikap menghargai karya orang lain.
Modal baca part ini : Kesabaran. Kalau gak bisa sabar boleh sedia tisu barangkali dibutuhkan.😂






//Memisahkan yang dekat dan mendekatkan yang terpisah. Seperti itulah cara unik bekerjanya waktu. Saat ini terasa awkward mungkin besok akan terasa dekat//






"Selamat pagi, Tari, hari ini ada kegiatan apa di sekolah?"

Aku memandang datar, laki-laki yang hampir tujuh tahun menjadi Ayah sambungku itu. Laki-laki yang kupercaya dan akhirnya mengecewakanku karena telah mengkhianati Ibu.

"Sariawan ya? Papa ajak ngomong nggak ditanggepin?"

Kuletakkan selai kacang di atas meja, sedikit keras hingga meja makan terasa bergetar. Aku melirik Ibu yang masih fokus berkutat di dapur. "Jangan sok baik. Saya cuma sedang butuh waktu buat bongkar semuanya sama Ibu."

"Silakan saja, kalau kamu mau." Sumpah, jawabanya yang acuh membuatku ingin membalikkan meja. Tidak ada rasa bersalah sama sekali dalam dirinya, mengkhianati Ibu yang selama ini tulus mencintainya.

"Waduh, ini kenapa pada bisik-bisik? Main rahasiaan ya di belakang Ibu?" Aku menoleh dengan senyum tipis. Ibu membawa nasi goreng ke meja makan. Sebagai debut perdananya menjadi Ibu rumah tangga lagi setelah beberapa saat vakum karena memilih jadi wanita karier.

"Enak nasi gorengnya, Papa suka. Tahu begini dari dulu aja Papa minta Mama tinggal di rumah."

Ibu tersenyum bahagia, sedang aku mengumpat dalam hati. "Mulai hari ini dan seterusnya, Papa sama Tari bisa request apa aja sama Ibu. Nanti Ibu masakin yang spesial buat kalian."

Aku hanya tersenyum menanggapi. Sebenarnya aku senang karena Ibu memilih rumah ketimbang pekerjaannya. Ibu bisa lebih memperhatikanku dan aku tidak perlu lagi kesepian. Tapi Papa Ari? Ini semakin membuatnya leluasa berkhianat pada Ibu. Ibu selalu di sampingnya saja dia masih sempat berselingkuh. Bagaimana sekarang? Dia pasti sudah merasa merdeka bisa kencan dengan wanita simpanannya itu kapan pun dia mau.

"Oh iya, Bu, hari ini Papa mau kontrol usaha yang di Banjar, mungkin lusa baru pulang." Ungkapan Papa Ari langsung membuatku tersedak. Ibu buru-buru mengambilkanku segelas air putih, sambil menepuk-nepuk punggungku.

"Tari, kalau makan pelan-pelan dong sayang." Aku memegangi dadaku yang sedikit sesak. Meminum sisa air di gelas sampai habis. Diam-diam Papa Ari melempar senyum tipis, sangat tipis hingga mungkin hanya aku yang sadar kalau dia sedang tersenyum, dan aku tahu maksud dibalik senyumannya. Dia mengejekku yang tak bisa jujur pada Ibu perihal semua yang kuketahui tentang dirinya.

Aku mendorong kursi ke belakang, membuat suara berderit. Berdiri, memakai tas, "Tari berangkat sekolah dulu. Assalamu 'alaikum," kuambil tangan ibu lantas menciumnya, setelah itu aku langsung berlari keluar dengan dalih sedang buru-buru saat Ibu memanggil, menyuruhku berpamitan dengan Papa Ari juga.

Di luar, ada Kak Linggar yang sudah menunggu. Tidak tahu kapan persisnya dia datang tapi dia bilang motornya baru menyentuh halaman rumahku.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, aku tidak banyak bicara. Hanya sesekali menjawab 'iya' atau 'tidak' saja untuk pertanyaan Kak Linggar. Pikiranku terkuras oleh permasalahan pelik antara aku Papa Ari dan Ibu. Oke, fine! Ini memang salahku, membiarkan semuanya berlarut-larut. Tapi kalau kalian yang berada di posisiku bagaimana? Semuanya butuh waktu, tidak segamblang itu aku menghancurkan perasaan Ibu. Aku mau Ibu tahu dengan cara yang lain, mungkin suatu saat aku terpikir cara apa yang bisa membuat Ibu mengetahui semuanya.

Dia dan Ilusiku [Completed✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang