#14

47 4 0
                                    

Sudah beberapa hari aku di rawat, kondisi fisikku sudah mulai pulih. Namun kini aku di damping seorang Psikolog, karena aku masih saja mengalami panik yang hebat ketika mengingat-ingat kejadian beberapa hari lalu. Aku kini menjadi lebih pendiam dan sering melamun.  Ibuku datang beberapa hari lalu bersama Phil begitu mendengar kabarku dari Min Jee, namun Phil harus kembali terlebih dahulu karena ada beberapa hal yang harus dia selesaikan.

"Hana. Waktunya makan" ucap Ibuku sambil menyediakan makanan di hadapanku. Aku menatap Ibuku dengan tatapan nanar, Ibuku mendekat dan memelukku erat "Hana-ya. mianhe" ucap Ibuku, dia terisak di balik sana, aku bisa merasakan bahunya bergetar.

"Hana-ssi" Nam Joon menghentikan tangisan Ibuku, aku dan Ibuku menatapanya yang kini melangkah masuk dengan senyum dan lesung pipi indahnya. "Aku punya hadiah" ucapnya ceria, aku membalasnya dengan senyum tipis. "Tada" dia mengeluarkan sekotak susu pisang di balik kantong jas dokternya "Ini untukmu karena sudah semakin membaik" ucapnya sambil membelai rambutku lembut.

"Gomawo Nam Joon-ah" ucap Ibuku

"Ah ini sudah tugasku" balas Nam Joon tersipu malu. "Habiskan makananmu, aku akan membawamu jalan-jalan setelahnya" ucapnya.

Nam Joon mendorong kursi rodaku di taman rumah sakit. Dia menghentikan kursi rodaku dan duduk di hadapanku, mensejajarkan tubuhnya denganku. Dengan lembut dia membelai rambut dan pipiku. "Hana. Kamu tau aku akan selalu ada untukmu. Tidak peduli seberapa lama itu, jika kamu merasa lelah dan ingin menyerah datanglah kepadaku. Aku akan selalu di sini, akan aku jamin, bersamaku akan lebih mudah, semudah bernafas" tuturnya dengan nada yang lembut. Cairan hangat keluar dari kedua mataku, perlahan dan semakin deras. Aku tidak bisa lagi menahannya aku menangis sejadi-jadinya. Nam Joon mendekapku erat dalam pelukannya, aku terisak semakin keras seperti sebuah rintihan pilu.

Satu hal yang membuatku merasa sangat tersiksa dengan semua ini, aku merasa tak sanggup untuk berpisah dari Yoongi bahkan hanya dalam bayanganku. Sungguh aku sangat taku untuk memikirkan hal itu, bahkan ketika aku mendapat teror yang bertubi-tubi aku hanya dapat memikirkan tentang bagaimana karirnya jika penggemarnya akan pergi darinya. 

Nam Joon mengembalikanku lagi ke kemarku, Ibuku sedang pulang untuk mandi dan beristirahan sejenak, sudah tiga hari sejak dia sampai dan dia sama sekali tidak meninggalkanku. "Istirahatlah, aku akan pergi memeriksa pasien lain. Aku akan kembali setelahnya. Jika butuh sesuatu hubungi saja aku" ucap Nam Joon sebelum pergi meninggalkanku.

Aku memandang kearah luar jendela, langitnya sudah mulai gelap. Pantulan ruangan ini dan tubuhku terlihat di jendela besar itu. Aku berbalik ketika mendengar suara pintu di buka, Yoongi berada diambang pintu, membuka masker dan topinya. Wajah yang entah sejak kapan paling aku rindukan untuk aku lihat. Wajah yang kini berdiri di depanku menatapku yang terbaring lemah, sakit dan buruk di hadapannya. Aku yakin wajahku kini paling buruk, pucat dengan rambut berantakan.

Yoongi kini duduk di pinggiran tempat tidur. Ragu-ragu mengulurkan tangannya membelai pipiku lembut, dia menunduk, titik-titik air mata jatuh di atas pahanya. Aku memegang tangannya yang masih berada di pipiku, dengan sebelah tangan aku mengangkat dagunya membuatku menatap wajah itu lagi. Wajah yang sangat aku rindukan.

Aku tersenyum "Jangan. Jangan tersenyum seperti itu. Aku tidak pantas mendapatkan senyuman itu". Aku menghapus air matannya. Dia menatapku singkat kemudian memelukku erat.

"Maafkan aku Hana. Aku sangat buruk" ucapnya yang menenggelamkan kepalanya di leherku. "Aku berusaha secepat mungkin untuk datang. Tapi--" tambahnya tidak bisa melanjutkan ucapannya, hanya pelukannya yang semakin erat.

"Ara" ucapku membalas pelukannya, membelai lembut punggungnya.

"Aku memang tidak berguna" lanjutnya. Aku menggeleng.

My Star : Min Yoon Gi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang