Dendam Pernikahan 17

24.6K 1.5K 83
                                    

Dendam_Pernikahan
Part. 17

💔

Pagi yang cerah. Udara segar masuk ke rumah saat jendela kamar dan dapur di buka. Memberikan sedikit ketenangan saat menghirupnya. Setelah semalaman berkubang dalam air mata kesedihan. Dan meski sesak masih terasa, karena tak ada jawaban pasti yang Daffa berikan atas pertanyaan Aira semalam. Semua terasa masih menggantung. Tidak ada kepastian bagaimana hati Daffa sesungguhnya.

Sesak itu pasti. Siapa yang tak sakit hati saat suami masih tenggelam pada cinta masa lalu. Namun, bukan berarti Aira harus ikut tenggelam dalam rasa sakit terlalu dalam. Cukup mengadu pada Sang Maha Membolak-balikkan Hati, pada sepertiga malam. Kemudian berusaha memberikan yang terbaik untuk suami, agar cinta itu bisa tumbuh bersemi.

Pukul enam pagi, Aira telah selesai membuat sarapan, nasi goreng telur ceplok. Juga telah selesai membersihkan berbagai ruangan. Aira menyibakkan tirai biru muda ruang tamu. Membuka pintu dan menyapu halaman depan. Tersenyum dan memberi anggukan saat ada tetangga yang menyapa.

Suasana sekitar sudah sangat ramai. Banyak warga berlalu-lalang di jalan. Ada yang sibuk menjemur pakaian. Ada yang menyuapi anak-anaknya di teras depan. Ada juga yang mengelap motor atau memberi makan burung kesayangan. Lalu para pedagang keliling sudah mulai ramai berteriak memanggil pembeli. Di seberang rumah Aira, ada pedagang bubur ayam yang sudah dikerubungi ibu-ibu, mengantre membawa mangkuk masing-masing.

Aira hanya tersenyum saat salah satu ibu-ibu memanggil dan menawarkan bubur ayam. Mungkin lain kali akan mencoba sarapan bubur. Setelah halaman bersih, Aira segera masuk. Meletakkan kembali sapu dan mencuci tangan. Sudah jam setengah tujuh, tapi Daffa belum juga bangun. Aira memilih untuk mandi lebih dulu.

Rutinitas pagi yang hampir setiap hari dijalani. Kemudian masing-masing berangkat kerja. Aira masih seperti biasa, pulang dan sampai rumah saat matahari mulai tenggelam. Mandi dan sholat Maghrib. Kemudian lanjut masak untuk makan malam. Kegiatan yang hampir sama setiap harinya. Malamnya, Aira akan bercerita banyak hal tentang rutinitas seharian di toko. Begitulah. Berputar terus dan itu-itu saja, tapi tak pernah bosan.

Kedai milik Daffa sudah dibuka sejak beberapa hari yang lalu. Masih sepi dan belum banyak pembeli, padahal letak ruko tersebut cukup strategis dan ramai. Mungkin karena masih baru dan belum banyak yang mengenal. Azril sendiri gencar memasang promosi di berbagai media sosial. Terkadang ia rindu mempromosikan kopi di kedai lama. Hanya bisa melihat foto-foto yang masih ada, sebagai kenangan.

Sore ini Daffa dan Azril memilih duduk di kursi plastik di depan kedai. Sudah satu jam lebih belum ada pengunjung lagi. Maka, ia hanya duduk-duduk, merokok, sambil bermain gitar. Azril sangat lihai dalam memetik gitar, tapi tidak dengan suaranya. Fals dan mungkin lebih baik tidak bernyanyi daripada merusak pendengaran.

“Nih, Bang.” Seorang lelaki muda usia 20 datang membawa dua gelas es campur.

Daffa menerima dan meletakkan di meja. Azril langsung menyambar dan menyeruputnya. Mendesah lega saat kerongkongan yang kering akibat terik mentari seharian ini seolah membakar tubuhnya. Memang begitulah Azril. Hal biasa bisa membuatnya bahagia. Atau selalu menyikapi sesuatu secara berlebihan.

“Numpang duduk sini dulu, ya, Bang. Panas.” Lelaki muda itu meraih satu kursi kosong. Mengelap keringat di pelipis dan mengipas wajahnya.

“Panas-panas gini pasti laris es campurnya ‘kan?” tanya Azril setelah meletakkan kembali gelas ke meja.

“Alhamdulillah lumayan.”

Mereka pun tenggelam dalam percakapan. Azril yang kembali memetik gitar dan bernyayi, diledek oleh lelaki muda bernama Arul itu. Daffa tertawa dan membenarkan perkataan Arul bahwa suara Azril memang merdu, alias merusak dunia. Arul meminta gitar tersebut dan ternyata lelaki ini memang jago bermain gitar. Suaranya pun enak didengar.

Dendam Pernikahan (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang