𝙃𝙖𝙥𝙥𝙮 𝙧𝙚𝙖𝙙𝙞𝙣𝙜 (ಠ◡ಠ)♡
-
-
Kakiku melangkah lincah menuju dapur. Kulihat mangkuk makanan ku sudah terisi penuh. Perlahan, senyumku mengembang. Pandanganku beredar kesana kemari.
Kemana perginya Papa? Biasanya, lelaki itu sibuk berkutat dengan penggorengan sejak matahari belum terbit. Namun pagi ini, dapur terlihat sunyi tanpa Papa. Dengan berat hati, aku melahap sarapanku sendiri.
Rasanya aku ingin menangis memikirkan Papa. Tidak seperti biasanya Papa meninggalkanku sepagi ini.
Apa Papa sesibuk itu hingga lupa membangunkanku? Selera makanku mendadak hilang memikirkannya.
Aku kesal.
Aku marah pada Papa.
Kutinggalkan mangkuk makananku yang baru habis setengah. Dengan pikiran yang terus berkecamuk, aku kembali membaringkan tubuhku di atas kasur. Lebih baik kembali tidur hingga sore. Hingga Papa kembali jika bisa.
Baru saja hendak memejamkan mata, telingaku menangkap suara kenop pintu terbuka. Mataku membulat. Aku tahu itu pasti Papa. Tapi perasaan marah dan kecewa masih menguasaiku. Kembali kupejamkan mata, pura-pura tertidur. Kudengar langkah kaki semakin mendekati kamar.
CKLEK!
"Hoonie?" suara itu memanggil.
Mataku masih terus terpejam, mengabaikan Papa.
Bisa kurasakan bagian pinggir kasur seperti sedikit turun. Papa duduk tepat disampingku. Kepalaku di elus sayang. Pipiku di cubit gemas.
"Hoonie, ayo bangun. Kulihat makananmu belum habis." ucap Papa lembut. Perlahan aku membuka mata. Menatap Papa sekilas kemudian berbalik memunggunginya.
Aku tidak lapar. Bisikku.
Papa semakin mendekat.
"Apa Hoonie?" tanya Papa sambil mengusap puncak kepalaku. Kudengar Papa terkekeh kemudian ia menarikku ke dalam pelukannya.
"Maafkan aku. Tadi aku mendapat panggilan mendadak dari rumah sakit. Ada pasien yang membutuhkanku." ujarnya sambil terus mengusap punggungku. Aku hanya bergumam. Nyaman sekali berada di dalam dekapan hangat Papa.
"Aku bahkan belum sempat sarapan tadi. Kau mau menemaniku, kan?" pinta Papa. Aku mendongak. Menatap manik mata kecokelatan Papa yang balas menatapku teduh.
Iya. Ayo sarapan bersama. Jawabku.
Papa tersenyum kemudian menggendongku sampai ke dapur.
Baru saja Papa menurunkanku, suara dering ponsel berhasil mengalihkan perhatian Papa.
"Ya, dengan dokter Daniel disini. Apa? Sekarang? Baiklah saya akan segera kesana!" jawab Papa pada sambungan telepon. Setelah itu Papa berlari ke kamar, entah mengambil apa. Jas dokternya ia sampirkan di bahu. Tangannya sudah menggenggam kunci mobil. Ia terlihat sangat terburu-buru.
"Hoonie, maafkan aku. Tapi ada urusan mendadak yang mesti kuselesaikan sekarang." Papa menatapku penuh rasa bersalah. Tangan kekarnya terulur, mengelus pipiku, "Ayo kita bertemu saat makan malam nanti."
Aku hanya menatap Papa kosong. Tak menjawab. Kukira Papa akan terus membujukku agar setuju. Nyatanya, tanpa menunggu jawabanku, Papa langsung pergi meninggalkanku.
Aku ingin menangis.
Lagi-lagi.
Sebelumnya Papa tidak pernah seperti ini.
YOU ARE READING
Park Jihoon One Shoot
Krótkie Opowiadania𝘈 𝘤𝘰𝘭𝘭𝘦𝘤𝘵𝘪𝘰𝘯 𝘴𝘵𝘰𝘳𝘺 𝘰𝘧 𝘞𝘪𝘯𝘬 𝘒𝘪𝘯𝘨, 𝘗𝘢𝘳𝘬 𝘑𝘪𝘩𝘰𝘰𝘯! 𝘌𝘯𝘫𝘰𝘺 𝘺𝘰𝘶𝘳 𝘵𝘪𝘮𝘦! © 𝙝𝙤𝙧𝙖, 2019.