Waktu berlalu dan ujian tengah semester baru usai seminggu lalu. Hari ini tepat hari senin adalah waktu raport hasil belajar dilaporkan.
Di sekolahnya dulu mungkin perlu wali siswa untuk mengambilnya, tapi di sekolah ini berbeda. Mereka hanya perlu mengambilnya sendiri dan orang tua diundang jika hanya ada suatu keperluan. Modern sekali. Tapi menurut Runa itu suatu hal yang perlu disayangkan karena orang tua jadi tak begitu tahu perkembangan anaknya selama di sekolah. Yah, mungkin karena mayoritas orang tua siswa disini adalah orang yang sibuk maka tak heran jika peraturan itu diberlakukan.
Dari awal ia berada di sini, ia yakin ia sudah berusaha segenap hati sesuai kemampuannya untuk belajar. Dari sudut pandangnya, anak-anak disini banyak yang pintar. Saat kuis pun nilai mereka banyak yang tinggi. Mungkin karena kelas itu adalah salah satu kelas unggulan, maka tak heran. Dan karena itulah, apapun hasilnya nanti, ia akan menerima. Selama itu murni hasil usahanya. Ia pasti akan bersyukur!
Seketika Runa mengingat nasihat Ayahnya. Kala itu ia SD dan baru mendapatkan hasil Ujian Nasionalnya. Hasilnya tak memuaskan. Bahkan ia sampai susah mendaftar ke SMP karena nilai akhirnya itu. Runa sedih. Ia menangis sekeras-kerasnya lalu merutuki keadaan. Lalu Ayahnya berkata sebuah kalimat ajaib sembari mengelus lembut rambutnya.
Kata Ayah, "Berapa pun hasil yang ia dapatkan. Ayah tetap bangga. Karena selama ia sudah berusaha, berdoa dan jujur itu adalah hasil terbaik."
Bagaimana pun hasilnya selama sudah berusaha, berdoa dan jujur itu adalah hasil terbaik. Kalimat ajib itu mengukuhkannya. Runa tersenyum.
Seorang guru wanita bernama Erina sedang berbicara di depan kelas. Anak-anak di kelas ini langsung berubah serius. Begitu pula dengan raut wajah Runa.
"As always, Aziel Ersa Wardhana. Congratulation, for the number one!" Erina tersenyum.
Riuh rendah suara semua anak di kelas memberikan selamat pada Ziel. Anak lelaki hanya menyungging senyum tipisnya sebagai respon. Sedangkan Runa bertepuk tangan pelan tanpa menimbulkan suara sembari tersenyum ikut senang dengan hasil yang Ziel dapatkan.
"And second place..."
Semua langsung menyebutkan nama Lula, karena memang dari awal berada di sekolah ini dia selalu menjadi rival Ziel. Dulu saat mereka tak sekelas Lula selalu mendapatkan peringkat satu. Tapi kemudian mereka sekelas, meski perlu diakui Lula pintar namun Ziel selalu lebih unggul darinya. Tak heran jika orang-orang berargumen bahwa Lula-lah yang akan menempati posisi kedua setelah Ziel.
"Congratulation, Aruna Fathiara our newbie. You are in number two!"
Aruna terperangah. Ia terkejut bukan main. Hal ini tak pernah ia pikirkan akan terjadi. Dulu ia memang juara kelas bahkan mendapatkan beasiswa. Tapi di sekolah ini dan mendapat juara dua itu cukup mengejutkan!
Beberapa orang memberikan ucapan selamat padanya. Lalu, sebagian yang lain terlihat berbisik-bisik. Lula yang sejak dulu menjadi juara bertahan dua besar itu kini tergeserkan.
"The Third place, Lula Andara!"
Lula di tempatnya hanya terdiam. Ia tak berkomentar atas ucapan selamat guru itu atau teman-temannya di sekelilingnya.
Ziel melirik Lula yang memang duduk di seberangnya. Ia tahu betul, Lula pasti sudah kesal setengah mati. Meski pun dari luar anak perempuan itu terlihat biasa saja, tapi Ziel tahu Lula pasti sudah menahan amarah dalam dada.
***
"Wahh, Aruna! Gue nggak tau kalau lo pinter!" Seru Rini ketika seorang guru menyudahi pelajaran dengan keluar kelas. Sementara Runa hanya tersenyum menanggapinya.
"Ajarin gue dong!" Pinta Rini.
"Boleh aja,"
"Asiikk!" Pekik Rini senang.
"Gue juga dong!" Itu suara Raka. Entah dari mana anak itu padahal sedari pelajaran kedua dia meninggalkan kelas dan baru sekarang ia kembali.
"Ish, ikut-ikut gue aja lo!" Sungut Rini tak terima.
Runa menatap Raka yang kini sedang memelototi Rini dan menarik rambut anak perempuan itu, jahil. "Raka, dari mana?"
"UKS." Jawab Raka singkat.
"Kamu sakit?" Wajah Runa berubah heran. Jelas saja ia bertanya begitu, pasalnya anak lelaki itu dari pagi tadi baik-baik saja sama sekali tak terlihat sedang sakit. Dan sepertinya sekarang pun ia masih baik-baik saja.
Belum sempat Raka menjawab, seseorang memotong percakapan mereka. Itu Vino, anak lelaki keturunan Finlandia, si rambut merah yang ikal.
"Kalian udah pacaran ya? Asik banget. New couple!!" Serunya membuat seisi kelas jadi ramai.
Karena sudah sering menghadapi hal ini, Runa jadi tak kaget lagi. Ia pun sudah bisa mengontrol sikapnya. Jadi, ia bersikap biasa saja. Toh, apa yang mereka katakan hanya sekedar rumor bukan realita. Yang penting hubungan pertemanannya dengan Raka baik-baik saja.
"Kamu sakit?" Tanya Runa lagi. Ia mengulang pertanyaannya, mengabaikan suara lain yang mengganggu.
Raka mengangguk. Wajahnya datar bahkan lebih terkesan polos.
Runa menyipitkan matanya. Lalu memperhatikan wajah Raka lekat-lekat. Lalu, di dekatkan tangannya pada dahi Raka. Suhunya sangat normal. Runa memutar bola matanya. Ia lantas mendorong tangannya ke depan membuat kepala Raka terpental ke belakang. "Tukang bohong!"
Semua orang kontan tertawa terbahak-bahak melihat hal itu. Sementara Raka hanya diam saja menerima tanpa perlawanan. Padahal biasanya anak lelaki itu pasti akan melotot dengan garang atau membalaskan hal yang sama.
"Savage!" Celetuk Orland. Yang membuat semua orang di kelas itu makin tertawa keras.
Kemudian, mereka langsung berseru pada Raka untuk membalas perlakuan Runa padanya. Namun bukannya terpancing ia malah memasang senyum manis pada Runa lalu menepuk pelan puncak kepala anak perempuan itu sebelum akhirnya duduk ke tempatnya berada. Tentu saja hal itu semakin membuat seisi kelas itu geger bukan main!
Sementara di tempatnya, Ziel hanya diam dengan mata yang terus memperhatikan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...