18 | Pengorbanan

1.9K 137 0
                                    

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahrin madzkur khaalan."

Tanpa mengucap terbata-bata, pemuda itu seakan telah dewasa. Seperti telah mempersiapkan pernikahan ini serius jauh-jauh hari. Tamu undangan pun turut berkata, "Sah" setelah lafal qabul itu selesai dilantunkan.

Pemuda yang ia ketahui bernama Huda itu tersenyum, mengecup lembut dahi Hayfa. Batin gadis itu menangis, jiwanya merintih, seakan meronta-ronta. Mengapa penderitaan ini tidak usai saja?

Perkataan Ali beberapa waktu lalu terngiang kembali di otaknya.

Dia menyukaimu sejak kamu kelas 1 SMA, Fa. Ingatkah kamu saat kita pertama kali ke rumahnya? Nah, saat itu dia mulai mengagumimu. Bertanya keadaanmu setiap saat kepadaku.

Air matanya seakan ingin meleleh. Betapa mudahnya Ali berkata seperti itu. Tidakkah Ali tahu jika yang ia harapkan adalah menikah dengannya? Mengapa Ali selalu membuatnya kecewa? Mengapa selalu menghadirkan luka?

Harapan bisa seatap dengannya kini sirna. Nyatanya, selama ini ia yang terlalu mengandai. Tanpa menyadari keandaian itu bertepuk sebelah tangan.

Lihatlah di sana, di antara kerumunan tamu undangan, hadir Ali dengan sudut bibir mengembang, tersenyum riang menyaksikan kepedihan hatinya yang tiada tara.

Bukankah ini kejam? lirihnya dalam hati.

Tanpa ada rasa bersalah, tanpa ada rasa kecewa, pemuda itu tersenyum menawan bak sinar rembulan. Menyaksikan hatinya yang sebentar lagi akan diregang.

Aku bodoh. Benar-benar bodoh. Sudah tahu jika rasaku selama ini bertepuk sebelah tangan, mengapa masih saja mengharapkan?

"Fa." Tiba-tiba Huda memecahkan lamunannya. Dengan segera, ia mendongak. Menatap ke arah Huda yang tersenyum. Ternyata, punggung tangan Huda sedari tadi sudah berada di depan Hayfa.

Dengan hati yang sakit bak ditusuk seribu pedang, ia mencium punggung tangannya. Membayangkan punggung tangan itu adalah milik Ali, seseorang yang tengah tersenyum menatap mereka.

Hatinya tengah lara, merasakan kesakitan yang tiada tara. Mata gadis itu perlahan meredup, seperti teriris dan jatuh oleh laut kepiluan.

Andai ... pemuda yang menjodohkannya dengan Huda tahu isi hatinya, masih tegakah ia melakukan ini? Melakukan perjodohan yang tak diinginkannya?

***

Acara itu selesai saat mentari tergelincir ke ufuk barat. Di saat itu pula, Hayfa sudah resmi menjadi seorang istri. Dadanya sesak saat menyadari bahwa ia tak pernah mendambakan seorang suami seperti Huda. Ia ingin Ali, mengapa Huda?

Bolehkah ia berharap kepada seorang lelaki lain saat sudah bersuami? Dosakah ia jika kembali berlayar menuju pelabuhan hati, tidakkah nanti ia terjembab di dalamnya?

Biarlah terjembab, akan kuteruskan berkelanaku mengarungi samudera untuk kembali mendambakan pelabuhan hati Ali.

Ya Allah ... maafkan aku.

"Dik?" tanya Huda saat melihat istrinya itu tengah melamun. Yang dipanggil tercekat, lamunannya terpecah, refleks menatap manik mata pria yang sudah halal baginya itu. Acara sudah usai sejak tadi, hadirin telah pulang sejak tadi. Dengan berat hati, Hayfa harus menginjakkan kaki di kamar seorang lelaki yang hadirnya tidak ingin ia adakan.

Huda tersenyum, menatap wajah istrinya yang lebih memesona dari sinar rembulan. Cahaya itu lebih terang dari sang dewi malam yang berdiri kokoh di langit-langit malam.

Sungguh, senyum Huda mampu mengiris-iris setiap urat nadi Hayfa. Bagaimana tidak? Walaupun raganya ada di sini, tapi hatinya masih berjalan mencari kembali pelabuhan hatinya yang dulu. Pelabuhan hati yang dimiliki oleh Ali.

Pantaskah ia disebut istri jika di hatinya ada pria selain Huda?

Suami dengan senyum polosnya itu ... raut wajah serta tingkah lakunya ....

Raga ini boleh berbohong, tapi hati ini tidak bisa! Sekali kutekankan tidak bisa!

Senyum Huda kian mengembang, semakin menusuk sanubari Hayfa. Kemudian, mendekati wanita yang selama ini dicintainya.

Lima meter.

Dua meter.

Langkah pemuda itu memangkas jarak. Hanya dalam hitungan detik lagi, pemuda itu sudah sampai di depannya.

Apakah aku sudah mengecewakannya?

Tap!

Tubuh pemuda tinggi itu telah sampai di depannya. Dengan senyum mengembang, pemuda itu perlahan mengusap jilbab Hayfa dengan jemarinya. Perlahan tapi pasti, tangan pemuda itu berusaha membuka jilbab sang istri.

Hayfa yang tertunduk menatap lantai pualam itu menangis dalam hati. Saat raganya dipaksa untuk membuka jilbab kepada laki-laki yang tidak ia anggap menjadi suami.

Baru sebentar Huda menyentuh dan mencoba membuka jilbab Hayfa, gadis itu tiba-tiba beringsut menghindar. Kembali menutup jilbabnya.

"Kita belum salat Isya, Mas," katanya untuk memberentikan Huda. Awalnya, wajah pemuda itu muram, tapi akhirnya tersenyum. Kemudian mengambil air wudu, mengajak Hayfa untuk salat.

Lagi-lagi, gadis itu menggeleng. Berkata jika ia akan salat bersama umi dan Ali di bawah.

"Maaf, Mas. Hayfa salat sama umi saja," katanya takut-takut. Ia menunduk, tak berani menatap wajah Huda. Entahlah, bagaimana ekspresi Huda saat ini.

Dua detik menunggu jawaban tetapi tidak diberikan jawaban, akhirnya gadis itu memutuskan untuk berbalik badan, berjalan menuju pintu keluar.

Belum sempat kedua kakinya melangkah keluar, tiba-tiba suara bariton Huda menghentikannya.

"Kalau begitu aku juga akan ikut berjamaah bersama mereka," katanya melirih.

Sesampainya di sana, tidak ada yang istimewa di mata Hayfa. Hanya umi dan kedua mertuanya yang terlalu melebih-lebihkan suasana. Menggoda dengan kata-kata yang membuat dirinya kembali merasa bersalah. Seperti menipu raga seorang pemuda.

"Pasutri baru, nih." Ibu mertuanya menggoda, sontak membuat orang-orang yang berada di sana turut menggoda. Hayfa tersenyum, menatap satu per satu wajah mereka yang dikelilingi oleh bahagia.

Hayfa ibarat lilin. Ia mengorbankan dirinya dilahap api untuk menerangi sekelilingnya.

"Duhai senangnya pengantin baru. Duduk bersanding bersenda gurau."

Hayfa hanya membalas senyum-senyum dari mereka. Semakin ia digoda, semakin ia merasa bersalah. Perlahan ia menatap wajah Huda, suaminya.

Penyesalan menjalar ke seluruh raganya. Ia tersadar, mengapa ia menerima lamaran itu? Gadis itu menangis dalam hati, saat melihat senyum tulus dari Huda.

Maafkan aku jika mengecewakanmu ....

Senyumnya yang sedari tadi mengembang berangsur luntur saat menyadari Ali tidak ada di sana.

"Lho, Kak Ali di mana, Mi?" tanya Hayfa sembari kepalanya celingak-celinguk.

Umi tersenyum, menatap anaknya yang sekarang sudah menikah.

"Tadi Ali mengantarkan Zahra pulang. Tidak usah khawatirkan dia," jawab umi dengan memasang senyum lembut, dibalas oleh Hayfa senyum hambar.

Sepertinya aku salah langkah jika berkelana kembali menuju pelabuhan kemarin. Mengapa aku bersikukuh untuk kembali ke pelabuhan kemarin, sedangkan saja aku telah menemukan pelabuhan baru yang selaras untuk dijadikannya rumah untuk hati? Mungkin ini saatnya untuk melupakan masa lalu, menggenggam masa depan yang sudah di depan mata.

Tak beberapa lama kemudian, ayah mertuanya mengalunkan iqamah. Kamar salat milik keluarga Huda langsung dibanjiri oleh jamaah. Walaupun tempatnya tidak terlalu sempit, tapi hanya menyisakan sedikit ruang. Mereka bersiap-siap untuk melakukan salat Isya.

Sayang, berapa kali pun aku mencoba, semakin kuat aku melupakannya, semakin kuat pula aku mengingatnya.

Muhasabah Cinta [OPEN PRE-ORDER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang