Dendam Pernikahan 18

24.5K 1.5K 87
                                    

Dendam_Pernikahan
Part. 18

💔💔💔

Aira membuka sedikit jendela kamar. Masih remang-remang di luar sana. Udara segar masuk. Dingin menerpa wajah. Seketika ia menghirupnya sambil memejamkan mata. Siap menyambut hari ini dengan senyuman. Ia melangkah ke meja rias. Duduk sambil mengusap rambut yang masih setengah basah dengan jari-jari. Tersenyum.

Mulai menyisir rambut pelan. Tersenyum lagi. Seakan melihat rona merah di wajah pada cermin, ia menyentuh pipi. Semalam, Daffa melakukannya dengan lembut. Teramat sangat lembut malah. Ah, apa ya namanya. Ada yang berubah dari Daffa, tapi apa? Susah dijelaskan. Namun, Aira bisa merasakan. Dari tatapan, belaian tangan, kecupan, atau bisikan kata maaf karena telah menyuruh melepas kalung yang dipakainya.

“Nanti aku ganti dengan yang jauh lebih bagus. Lebih cantik. Lebih mahal. Tapi nanti, kalau usahaku sudah mulai lancar.”

Muka Aira tersipu. Menggeleng pelan. Bukan janji kalung yang jauh lebih cantik. Bukan! Karena memang Aira tidak terlalu menginginkannya. Namun, nada suara Daffa yang membuatnya tersipu. Ada yang berbeda. Sesuatu yang susah untuk dijelaskan, tapi mampu ia rasakan.

Aira menutup wajah dengan kedua tangan. Malu sendiri membayangkan yang terjadi semalam. Ia menghela napas. Menoleh, menatap Daffa yang masih tengkurap dan terlelap di ranjang. Bertelanjang dada. Aira menggigit bibir. Mukanya memerah. Ia sangat suka dengan dada bidang Daffa. Dan semalam … ia puas menyentuhnya.

Soal seperti ini memang tidak akan ada habisnya jika dibahas. Membuat lupa saja jika detik jam terus berjalan. Sudah pukul setengah enam, dan belum juga keluar kamar untuk masak. Sepertinya, pagi ini Aira akan mencoba membeli bubur ayam saja. Semalam, ia sudah tanya ke Daffa, apakah mau coba sarapan bubur ayam? Daffa hanya mengangguk. Tidak terlalu memikirkan soal sarapan.

Matahari mulai naik. Aktivitas mulai terlihat. Suara motor-motor dipanaskan. Ibu-ibu berteriak memanggil anak-anaknya untuk bangun. Suara cucian. Aroma masakan. Dan keramaian pun semakin terdengar.

Aira membuka pintu, membawa ember berisi pakaian basah. Menjemurnya di samping rumah. Tersenyum ramah saat tetangga sebelah menyapa. Suara tukang bubur ayam keliling terdengar. Aira menoleh. Gerobak bubur itu sudah parkir di depan rumah persis di seberang jalan. Orang-orang mulai berdatangan membawa mangkuk masing-masing.

Selesai menjemur pakaian, Aira masuk. Satu menit kemudian, keluar membawa dua mangkuk. Menyeberang jalan. Tersenyum menyapa ibu-ibu di sana.

“Wah tumben, Neng. Mau beli bubur juga?” Susi, wanita tambun memakai daster menyapa lebih dulu. Menyuapi anak lelaki usia tiga tahun.

“Iya, Teh.” Aira menjawab singkat. Berdiri mengantre untuk membeli.

“Pengantin baru, ya, Neng?” celetuk Rosa, wanita tinggi semampai dan sangat modis penampilannya.

Aira tersenyum mengangguk samar.

“Bener, tho.” Tyas, wanita Jawa yang suka menggelung rambut panjangnya itu menyenggol lengan Rosa.

“Namanya siapa sih, Neng?” Susi bertanya.

“Humaira, Teh. Tapi panggil saja Aira.”

“Namanya cantik. Secantik orangnya.”

“Suaminya aja ganteng begitu kok ya wajar, tho.”

“Eh, tapi kalau boleh tau nih, ya,” sahut Rosa, “Maaf sebelumnya. Suaminya kerja apa? Pakaiannya rapi, tapi kok sering jalan kaki. Eh, maksudnya kayak kerja kantoran gitu, tapi kok mau tinggal di perumahan biasa di sini.”

Dendam Pernikahan (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang