Bagai orang gila, Aru berlarian di lorong rumah sakit. Meninggalkan Mega di taman kota dalam kebingungan, tanpa ada satu pun alasan yang jelas.
Kabar dari Pak Yanto benar-benar mengejutkannya. Rasa khawatirnya pada Dipa membuat lupa segalanya. Akal sehatnya enggan berfungsi, bahkan rasa simpatinya pada Mega tidak lagi berguna.
Pikirannya hanya dipenuhi oleh Dipa, tidak ada yang lain. Memikirkan berbagai macam kemungkinan, banyak alasan yang bahkan tidak mampu dia jamah dengan akal sehatnya.
Lebih dari itu semua, keadaan Dipa saat inilah yang paling penting. Mendengar suara Pak Yanto yang bergetar, memberitahunya jika Dipa harus dilarikan ke rumah sakit, menyakiti hatinya.
Sebagian akal sehat Aru menyalahkan dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya, karena nyatanya Aru tidak tahu apa pun tentang Dipa. Atau memang dia tidak ingin tahu. Dibutakan oleh euforia. Angan-angan akan kebebasan berlebih yang akhirnya bisa dia dapatkan setelah dua tahun dia terbangun dari koma.
"Dipa ...."
Aru membuka pintu kamar rawat Dipa kuat, sambil meneriakan namanya. Bahkan dia tidak peduli pada ayah dan ibu yang terlonjak kaget oleh ulahnya.
Semula ayah dan ibu Aru tengah mendengarkan cerita Pak Yanto. Cerita tentang percobaan yang Aru dan Dipa lakukan semalam. Semuanya. Hingga detail terkecilnya. Termasuk, keadaan Aru yang baik-baik saja setelah Dipa memperjauh jarak mereka, bahkan dalam kurun waktu lebih dari dua jam.
Begitu Aru datang, Pak Yanto lebih memilih untuk pamit undur diri. Pak Yanto sadar diri, tidak ada tempat baginya untuk terlibat lebih dalam urusan keluarga Jaya.
Pun ibu dan ayah Aru. Setelah mendengar langsung dari Pak Yanto, mereka tahu alasan di balik nekatnya Aru pergi ke luar rumah seorang diri, tanpa Dipa. Berusaha memaklumi tindakan Aru yang sedikit gegabah. Berniat memahami keinginan putra tunggal mereka untuk sekadar merasakan kebebasan.
Mungkin, keberadaan Dipa yang selama ini ditasbihkan sebagai tempat untuk menggantungkan hidupnya cukup membebani Aru. Mengurungnya secara tidak langsung.
Walau Aru tidak pernah mengatakannya, tapi hatinya membentuk pola sedemikian. Hingga ketika dia bisa lepas dari bayang-bayang Dipa, rasanya pasti akan sangat membahagiakan.
Aru bahkan melupakan kenyataan, jika bukan hanya dirinya yang membutuhkan Dipa. Bahwa Dipa juga membutuhkannya, bahkan lebih. Bagi Dipa, Aru bukan hanya sumber kehidupannya, tapi juga sumber kebahagiaannya.
"Mami?"
Aru masih berdiri di depan pintu. Mata bulatnya berkaca-kaca, melihat Dipa terbaring diam di ranjangnya. Bahkan setelah Aru datang, setelah mereka kembali berdekatan. Dipa masih menutup matanya.
"Mendekatlah nak! Tidak sepertimu, Dipa ternyata masih membutuhkanmu di dekatnya."
Akhirnya air mata Aru terjatuh. Bersamaan dengan tubuhnya yang terduduk tidak berdaya di samping Dipa. Untuk kesekian kalinya merutuki kebodohannya.
"Dokter bilang, kondisi jantungnya kembali melemah seperti dua tahun yang lalu."
Penuturan ibunya lembut, ibu coba sehalus mungkin menyampaikan kabar yang kurang bagus tersebut pada Aru. Coba membuat Aru mengerti bahwa apa yang terjadi pada Dipa bukan sepenuhnya kesalahan Aru. Namun, karena memang sedari awal keadaan jantung Dipa memang sudah cukup parah.
Argumen apa pun itu, nyatanya tidak bisa menenangkan Aru. Dia masih menangis tersedu di samping Dipa. Menggenggam tangan anak nakal itu erat, berharap keajaiban kembali terjadi di antara mereka.
Seburuk apa pun kondisi Dipa saat ini, Aru akan terus di sampingnya, dan berharap bisa membantu Dipa sembuh. Seperti Dipa yang membangunkannya dari koma.
KAMU SEDANG MEMBACA
CHEMISE (Complete)
Short Story"Bangunlah Andaru Jaya! Aku sudah di sini sekarang." "Si ... siapa kamu?" "Dipa, Dipa Estu Jatmika, kamu butuh otakku, dan aku membutuhkan detak jantungmu. Kita saling membutuhkan sekarang." A big love to @ramviari for create this beautiful cover 😍...