"SEOKJIN!!"
Lengkingan nyaring Nona Park membuat orang tadi melepaskan cengkramannya pada leher Seokjin. Dengan segera Seokjin menyeret badannya menjauh dari orang tadi, yang kini ia konfirmasi sebagai pria, brengsek jika ia boleh tambah. Jemari Seokjin mengusap lembut di sekitaran lehernya yang malang. Dengan nafas tersengal Seokjin menatap pria di depannya. Rambut nyaris perak dan mata hitam sipit yang tajam.
Nona Park berderap keras. Ia melayangkan tamparan ke pipi si pria rambut perak. Sedangkan Seokjin? Ia hanya dapat menyaksikan drama hidupnya.
"Apa kau sudah kehilangan akal?! Kau tau siapa dia!!" Nona Park menatap tajam si pria rambut perak, yang tentunya dibalas pula oleh si pria.
"Ya dan Tidak," si pria seakan tidak melakukan kesalahan apapun, atau malah merasa tak ada kejadian apapun, langsung melenggang pergi. Menengok keadaan Seokjin pun tidak.
Nona Park mendengus kesal. Ia kemudian membantu Seokjin untuk berdiri dan duduk di sofa, "apa yang kau lakukan? Tak biasanya Namjoon menyerang tanpa alasan."
Seokjin menatap kesal Nona Park. Apa Nona Park berkata kalau Seokjin adalah pelaku dan Namjoon adalah korban? Ini benar-benar menyebalkan. "Aku tidak tahu. Dia tiba-tiba menyerangku dan mengatakan untuk berhenti bermain flute," lebih tepatnya memainkan Gabriel Fauré - Pavane, Op. 50. Namun, siapa dia memerintah Seokjin seenaknya?
"Flute?" Dahi Nona Park seketika mengkerut. Seokjin tidak tahu harus mengartikannya sebagai kesal, tak suka, takut, atau khawatir. "Tunjukkan padaku."
Seokjin menggerutu kesal dan mencoba kembali membentuk flute yang tadi begitu saja menghilang. Dalam hitungan detik flute dengan fisik sama muncul di telapak tangan Seokjin. Masih sama dengan warna dual-krom.
"Tsk, terjadi lagi..." Nona Park kemudian membuang muka setelah melihat flute milik Seokjin, "apa yang kau mainkan?"
"Pavane." Jawaban singkat Seokjin dihadiahi dengan hembusan nafas kecil dari Nona Park.
"Lenyapkan kembali flute mu. Setelah itu segera tidur, besok akan menjadi hari yang panjang." Seokjin mengangguk mengerti. Segera setelah ia berhasil 'melenyapkan' flute nya, Nona Park dengan sebuah anggukan kecil mengantarkan Seokjin ke depan kamar
Tak usah berkata besok adalah hari yang panjang. Seokjin sudah merasakan hari yang begitu panjang selama hampir tiga belas tahun.
"Haaah, lelah." Segera setelah Seokjin bertemu dengan kasur ia tertidur pulas.
~*~Pagi Seokjin amat sangat normal. Terlalu normal jika itu menurutnya, tapi Seokjin tidak akan mengeluh.
Ia bangun dengan sinar mentari menyusup dari celah gorden jendela tepat mengenai wajahnya. Seokjin melihat sekeliling, berusaha mengingat kembali apa yang terjadi malam sebelumnya. Pagi ini ia bangun dengan keadaan utuh, tidak di rumah sakit. Tidak ada luka berarti, hanya bekas cekikan si pria rambut perak... Ah, Namjoon, ya itu namanya.
Seokjin berjalan menuju jendela yang tertutup oleh gorden, menyibaknya dan langsung menatap taman tempat ia 'berlatih' dengan Nona Park. Seokjin menempelkan dahinya pada kaca jendela. Seokjin kembali teringat mengenai kejadian tadi malam. Ia kembali ke musik nya. Seokjin mengingat desir bahagia yang ia rasakan ketika bermain flute, bagaimana jarinya bermain dan nafasnya terbentuk.
Dalam rencana besar hidupnya Seokjin tak pernah menyangka bahwa musik akan menjadi bagian terindah dalam hidupnya. Dan ia juga tidak akan pernah menyangka bahwa bagian itu terenggut karena keadaan. Ia kembali membayangkan flute miliknya dan tak lama instrumen itu kembali di tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ZERO [Namjin]
FanfictionSeokjin merasa puas di kehidupan normalnya. Ia hanya anak kuliah biasa yang memiliki sedikit perbedaan. Tak masalah. Mungkin itu yang Seokjin dan temannya pikirkan, namun untuk 'mereka' Seokjin adalah ancaman. Seokjin adalah anomali. Seokjin adalah...