"Pssst! Bhum! Bhumi!"
Bisik keras Bang Jack mengagetkanku, membuyarkan lamunan. Gamam, kutengokkan kepala ke arahnya untuk menuntut penjelasan. Sayangnya tak kudapatkan apa-apa, hanya raut wajahnya yang kalut serta sebongkah horor pada bola-bola mata. Ada yang tak beres, pikirku.
Kemudian kurasakan tengkukku memanas sekejap setelahnya, tepat sebelum suara cempreng milik Bu Sundari menggelegar di udara.
"Ingatkan saya sekali lagi, Nanda, mengapa tak saya keluarkan saja kamu dari kelas ini?" tanyanya keras, tepat di telinga.
Baru kusadari kalau perempuan gemuk pendek itu telah berada tepat di sisi kananku, berdiri menjulang dengan kerudung putih serta parfum palsu yang baunya memabukkan. Sejak kapan? Memangnya apa yang kulakukan sampai beliau sebegini marah? Dan harus kujawab apa retorika itu?
"Karena saya sedang... belajar, Bu?" jawabku setengah meringis, berpura-pura tak tahu apa yang beliau maksud.
"Belajar?"
"Belajar expression of pain?"
"Well," desahnya pelan, "kalau begitu silakan maju, Nanda! Kita lihat apa yang sudah kamu pelajari selama satu jam terakhir dengan pandangan kosong itu."
Mati aku.
Mau tak mau, sudi tak sudi, aku berdiri dan berjalan gentar ke depan kelas. Panas di tengkukku dengan cepat dan pasti menjalar ke wajah, sementara rasa dingin merayap ke kaki dan telapak tangan. Bisa kurasakan berpuluh pasang mata mengawasiku lamat-lamat, serupa lampu yang menyorotiku lekat-lekat.
"Coba bagi lima saja contoh expression of pain kepada teman-temanmu," seru Bu Sundari makin cempreng, mengatasi bisik-bisik gairah yang memenuhi langit-langit kelas. Teman-teman sialku ini pasti tahu kalau sebentar lagi akan ada tontonan menarik di sel-sela aktivitas belajar mereka yang membosankan. Dan aku tak bisa menyalahkan mereka. Toh di saat aku sedang tak sial seperti ini, aku pasti ikut tertawa di belakang sana. Apalagi Bu Sundari memang terkenal suka memberikan hukuman yang nyeleneh kepada mereka yang berani macam-macam di kelasnya. Tak sadis-sadis banget sih, hanya sanggup membuatmu malu setengah mati dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulanginya lagi.
"Dan kalau Nanda tak bisa melakukan apa yang saya pinta, saya akan bagi Nanda hadiah."
Bisik-bisik makin berisik, senyum lebar rekah di setiap mereka punya wajah. Dan hanya dari depan sini dapat kulihat Tiarma serta Kitkat meringis berbarengan, sedang Bang Jack mengusap wajahnya frustasi. Hangat hatiku dibuatnya. Begitu hangat. Mungkin mereka adalah satu-satunya yang takkan menikmati apa pun yang nanti akan terjadi. Teman paling teman.
Dan ternyata aku salah. Ada satu wajah lagi yang kulihat begitu pucat. Kemelut seakan-akan berpusar-busar di matanya yang obsidian. Dikhawatirkan begitu rupa oleh seseorang yang paling seseorang membuatku seolah memiliki kekuatan. Apalagi kenangan membanjir saat kulihat geletar pada bibirnya.
Entah kenangan baik, atau kenangan buruk.
"There are 171,476 words we usually use that contained by The Second Edition of the 20-volume Oxford English Dictionary, published in 1989," jelasku lantang, berharap suaraku terdengar jernih sampai ke meja paling belakang, "but not a single word suitable enough to describes the pain you gave me when you left."
Kulihat Hara sedikit tersentak, mengerti apa yang hendak kubawa ke tengah-tengah kita.
"There are so much, and in the same time, so little. Just like the oxygen, maybe," lanjutku kemudian, mataku masih di matanya, mencari-cari entah apa. "The oxygen when you left dropped in quantity. They were lesser. It felt like my lungs were burning and I barely could breath. But Ma and Pa said the opposite. I think they lied to me, just like you lied to me. I started to shout at the top of my lungs, begging them to open the windows.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whatever Float My Boat
Teen FictionTak ada salahnya untuk cari aman sendiri. Sungguh. Maksudku, pada akhirnya, dirimu dan hanya dirimu sajalah yang bisa kauandalkan, bukan? Ya, kan? Kau setuju, kan? Pun tak ada salahnya memanfaatkan kebaikan orang lain demi keuntunganmu, selama tak a...