Chapter 1

534 23 7
                                    

Seperti biasanya, malam ini Sakura terbangun dari tidurnya karena mimpi buruk. Dia duduk di tepi ranjang mengatur napasnya yang tersengal-sengal, keringat dingin membanjiri kening, mengalir ke tepi wajahnya lalu ke lehernya.

Ini bukan mimpi buruk biasa. Mimpi ini merupakan sebuah kejadian di masa lalunya yang kemudian selalu dilihatnya lagi di dalam setiap tidurnya selama 2 tahun terakhir semenjak peristiwa itu terjadi. Ini sudah seperti kaset rekaman yang diputar dan ditonton berulang-ulang.

Sakura menyeka keringat di keningnya dengan telapak tangan. Dia melirik pada jam kecil di meja samping tempat tidurnya, masih pukul dua pagi. Sulit baginya untuk bisa tertidur tetapi saat dia mendapatkan tidurnya, dia hanya akan terlelap sebentar lalu akhirnya terbangun lagi karena mimpi buruk seperti saat ini.

Di malam yang sunyi ini udara terasa sangat dingin menyergap menembus kulit, merayap hingga ke tulang-tulang meski AC di dalam kamar sudah dimatikan. Sakura duduk memeluk lutut, termangu mengenang masa lalu yang merenggut nyawa calon suaminya, Shinici Okamoto dan juga dua sahabatnya Yamazaki dan Chiharu.
Merupakan satu-satunya hal terburuk yang pernah terjadi dalam hidupnya ketika melihat orang-orang yang berharga baginya dibunuh tepat di depan matanya. Suara letusan senjata api, jeritan, tangisan, juga kata-kata dari sang pembunuh selalu mengiang di dalam telinganya. Setiap kalimat yang dikatakan sang pelaku tertanam sangat dalam di ingatannya. Rasa takut ketika dia berlari dengan kaki telanjang masih teringat jelas di dalam benaknya. Menyisakan ketakutan dan luka mendalam yang entah bagaimana cara menyembuhkannya.

Bukanlah perkara mudah meredam kesedihan karena kehilangan terlebih lagi jika kehilangan orang yang paling berharga dalam hidup. Kehidupan Sakura saat itu seolah telah berhenti, dia tetap hidup tapi seperti mati.
Setelah kejadian itu Sakura tidak makan dan tidak tidur selama beberapa hari hingga membuatnya jatuh sakit, dia demam selama sepekan dan banyak kehilangan berat tubuhnya. Terkadang jika ada sesuatu yang mengingatkan nya dengan peristiwa tersebut, dia bisa pingsan atau terkadang menjadi tiba-tiba panik dan menyalahkan dirinya sendiri. Akan tetapi, perasaan sedihnya dan rasa takut yang mendalam tidak pernah membuatnya menangis sekalipun meski matanya selalu terlihat sendu. Sakura bahkan jarang berbicara sejak saat itu kecuali hal-hal yang dirasanya perlu atau ingin dikatakan. Dia mengucilkan diri dari kehidupan sosial lalu menjadi kesulitan untuk menunjukkan emosinya yang menyebabkan Sakura cenderung terlihat dingin. Wajah ceria yang dahulu selalu menghiasi wajahnya sudah tak pernah lagi terlihat. Perasaannya bagaikan bom waktu yang hanya menunggu kapan waktunya untuk meledak.

Sakura berbaring di tempat tidur, menutup matanya mencoba untuk tidur kembali, dimulai dengan harapan yang selalu sama yaitu semoga bisa bermimpi Indah.
Namun, suara gaduh tiba-tiba saja memecahkan keinginannya untuk tidur. Suara tersebut berasal dari ruangan sebelah yang merupakan ruang kerja ayahnya, Fujitaka. Karena penasaran Sakura keluar untuk melihat apa yang sedang dilakukan Ayahnya pada waktu dini hari seperti ini.

Saat itu ruang kerja Fujitaka tidak tertutup dengan rapat sehingga Sakura bisa melihat keadaan di dalam dari luar. Fujitaka sedang merungguh memunguti barang-barang yang berserakan di lantai, dari balik kacamata terlihat matanya yang cekung dan juga sayu, sesekali dia menguap dan menggosok matanya.
Tanpa meminta ijin dari sang ayah, Sakura segera masuk ke dalam ruangan itu membantu ayahnya memunguti barang-barang yang berserakan.

Fujitaka terkejut melihat Sakura yang tiba-tiba masuk ke ruang kerjanya, "Sakura? Kau belum tidur?" tanya Fujitaka.

Sakura tidak menjawab, hanya menggelengkan kepalanya sambil memungut barang-barang di lantai lalu menyusunnya di meja. Saat itu pandangannya langsung beralih pada bingkai foto mendiang ibunya, Nadeshiko yang dipajang di meja itu.

Emerald Eyed Girl Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang