"Ma, aku mau ngomong." Kata Bimo kepada Muti istrinya.Muti yang saat itu sedang tiduran di kamar sambil mainan HP langsung bangun dari posisinya. Bimo segera duduk di samping istrinya sambil memegang amplop di tangan.
"Papa gajian, ya?" Tanya Muti dengan mata berbinar.
"Iya, Ma. Tapi papa mau ngomong dulu." Nampak wajah Bimo serius.
"Ngomong apa?" Muti mulai penasaran dengan suaminya.
"Dua minggu lagi Mas Pras mau nikah." Bimo mengambil nafas, dia sepertinya sedang berfikir mengenai pernikahan kakaknya itu.
"Trus?"
"Aku ga mau ibu punya hutang banyak, Ma."
"Trus?"
"Aku mau bantu ibu."
"Ya, silahkan tak apa lah kalau mau bantu ibu." Kata Muti masih dengan suara tenang sambil memandang suaminya.
"Mama ga marah?" Tanya Bimo dengan binar bahagia, rasa khawatir yang dari tadi nampak di raut mukanya sudah berganti senyum bahagia.
"Ya, enggak lah, ngapain marah. Kan papa bantu ibu, itu dah kewajiban anak laki-laki terhadap ibunya." Jawab Muti dengan senyum manisnya yang membuat Bimo semakin merasa tenang, senyumnya pun mengembang.
"Ya, udah. Ini sisa gaji papa." Kata Bimo menyerahkan amplop berisi uang gajiannya.
Muti pun dengan sumringah menerima dan membuka amplop tersebut. Tapi... tiba-tiba wajah Muti berubah antara bingung dan juga kaget.
"Pa, ini kok cuma Rp 25.000,00 saja? Yang lain mana?" Tanya Muti minta penjelasan.
"Udah aku kasih ke ibu, Ma. Katanya boleh?"
"Ya, Allah, Pa... Tolong lah jangan kebangetan. Boleh bantu tapi ga gini juga kali, mosok sie aku cuma dikasih Rp 25.000,00 saja? Mikir donk, kita punya anak 2 lho, mau dikasih makan apa? Ini sama aja aku terus yang kudu muter otak." Muti nerocos bersamaan airmatanya yang sudah tak sanggup lagi dia bendung.
"Nanti kan ada rejeki lagi, Ma. Kalau bantu orang tua kudu ikhlas, ga boleh kayak gitu."
"Iya, faham aku. Tapi kamu udah ga masuk akal, sama saja mengorbankan anak istrimu hanya untuk bantu saudaramu nikahan."
"Ini aja masih kurang, Ma. Papa mau pinjam kantor buat biaya wira-wiri kita nanti dan bayar sewa mobil buat rombongan. Kasihan ibu kalau nanti hutang sana-sini."
"Ya, Allah... udah ga ngerti lagi aku dengan cara pikir kamu, Pa. Capek!" Sambil mengembalikan amplop ke tangan Bimo, Muti pun berlalu dengan tangisannya.
Tapi baru sampai pintu kamar, Muti berbalik dan menatap tajam suaminya.
"Kita pisah, aku sudah tak sanggup lagi!" Suara Muti berat dan tegas penuh tekanan.
"Ma, kok gitu sie?" Bimo mendekati Muti yang berada di ambang pintu. Tangannya meraih tangan Muti, namun dengan kasar ditepis oleh Muti.
"Aku dah capek, Pa. Kamu selalu saja membebankan semua tanggungjawab ke aku. Aku ini istrimu, bukan sapi perah!" Emosi Muti meluap, semua uneg-uneg dia keluarkan.
"Ya, udah. Maunya mama gimana?" Tanya Bimo dengan nada tinggi.
"Hanya bantu orang tua aja dianggap salah, mama tuh harusnya mikir donk, kasian ibu kalau sampai harus banyak hutang!" Lanjut Bimo sambil berlalu dari hadapan Muti.
Tinggallah Muti yang masih mematung geram, tangan mengepal menahan sebal ia pukul pintu kamar itu berkali-kali. Bukan karena dia tak rela gaji suaminya diberikan ke ibunya, namun lebih menyesalkan pada sikap suaminya yang tak mau mempertimbangkan dan berfikir bahwa istri dan anaknya pun butuh dia hidupi.
****
Menurut reader gimana tentang sikap si Bimo?
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PENGUJI
Historia Cortaulasan tentang keluh kesah seorang wanita yang telah lelah menanggung beban