Bagian 2

16K 1.5K 36
                                    

Dian memasukkan ulekan bumbu berbarengan dengan nasi dan udang yang sudah ia iris kecil-kecil ke dalam penggorengan, diaduk hingga merata. Setelah beberapa menit harumnya terasa sedap di hidung, Dian mencicipinya terlebih dahulu sebelum meletakkan ke dalam piring saji.

Dari dulu Dian memang hobi memasak, dan suka bereksperimen berbagai menu masakan yang ia dapatkan dari media video berbagi. Mulai dari masakan khas Jawa, Nasional, sampai Internasional. Dari situ pula Dian mulai belajar ngevlog, yang isinya tentang aktivitas memasaknya dan menu baru yang diciptakannya. Selain itu ia juga membuat berbagai jenis kue kering maupun basah.

Dian sangat bersyukur konten memasaknya dapat mengapresiasi orang banyak. Terlebih para ibu rumah tangga yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Seiring bertambahnya penonton dan pelanggan konten Youtubenya, bertambah pula pundi-pundi rupiah yang Dian dapatkan. Dari situlah akhirnya Dian terdampar menjadi mahasiswi tata boga. Dian bercita-cita ingin menjadi chef handal di negeri ini.

Baiklah, berhenti membahas karir. Kali ini Dian ingin berbagi keluh kesah tentang kehidupan pribadinya. Ehm! Berbicara tentang statusnya kini, 20 tahun memang terbilang muda bila harus menyandang gelar seorang istri. Tapi tahukah kalian, Dian tak merasa demikian. Dian merasa sudah cukup matang dan siap mengemban tugasnya sebagai istri. Mungkin karena ia menikahi pria yang diinginkannya. Pria yang telah mencuri hatinya sejak lama.

Suatu ketika, Dian pernah berpikir. Mungkinkah di umurnya yang hampir mencapai kepala 3 kakaknya itu belum memiliki kekasih? Rasanya sangat mustahil bila pria yang mapan dan rupawan seperti Setya belum memiliki tambatan hati. Tapi pada kenyataannya, pria itu memang belum pernah sekalipun mengajak seorang gadis untuk dikenalkan pada orang tuanya.

Usai resepsi kemarin, Setya langsung memboyongnya ke rumah baru. Rumah yang menurut Dian sangat mewah, dua kali lebih besar dari rumah orang tuanya di Pakuwon. Kombinasi dari rumah tradisional adat Jawa dengan tampilannya lebih modern. Dian tak repot-repot menutupi kekagumannya pada desain interior rumah ini. Bisa dipastikan bukan sembarang ahli yang menggarapnya. Mayoritas dindingnya berupa kaca berukuran tinggi sehingga ia langsung bisa melihat pemandangan taman yang segar.

Kamar utama juga didekor sedemikian rupa. Setiap sisi kamar akan dihadapkan ke arah kolam renang yang merupakan pemandangan terbaik di belakang rumah, dan taman kecil yang menghiasi pinggir kolam renang.

Suaminya adalah seorang arsitek ternama. Pasti tak susah mewujudkan rumah seindah ini.

Kembali ke topik awal. Tidak membutuhkan sekolah tinggi-tinggi serta ilmu khusus untuk mengetahui perasaan seseorang. Hanya dengan tatapan matanya saja Dian bisa melihatnya. Cara Setya yang memandangnya biasa saja, berbeda 180 derajat dengan Dian, yang selalu menatap pria itu penuh damba. Membuat dadanya seakan terhimpit. Dian merasakan kesesakan yang mendalam saat cintanya bertepuk sebelah tangan.

Bukankah sangat menyedihkan bila hanya seorang istri yang mencintai suaminya?

Dan semalam, suaminya membiarkannya tidur sendiri. Jujur Dian agak tersinggung. Setya lebih memilih lembur kerja yang katanya sudah deadline minggu ini. Dian berpikir tidakkah pria itu bisa membedakan hari kemarin dengan hari biasanya. Kemarin adalah hari pernikahannya, malamnya adalah malam pengantin mereka. Tidakkah Setya merasa malam pengantin adalah malam spesial? Kenapa malah memilih bekerja daripada menghabiskan waktu bersama?

Tentunya Dian juga belum siap jika harus menjalankan tugasnya sebagai istri, dalam arti yang sesungguhnya. Dian belum siap jika semalam Setya meminta haknya, tetapi mereka bisa memulainya dengan beradaptasi terlebih dahulu. Dian sangat paham hubungannya dengan Setya akan sangat canggung. Tetapi setidaknya mereka bisa memulainya perlahan, sampai rasa canggung itu hilang dengan sendirinya. Terlepas dari status masa lalu mereka yang pernah menjadi kakak beradik, tentunya rasa canggung itu pasti juga dirasakan setiap pasangan baru di luar sana.

Dian merasa Setya sengaja menghindar. Kedekatan yang dulu terjalin sebagai saudara, seolah lenyap seiring bergantinya status mereka.

Suara derap langkah mengalihkan fokus Dian dari aktivitas menghidangkan menu masakan di meja makan. Suaminya sudah rapi dengan pakaian kerjanya, kemeja biru dongker dengan bawahan celana kain hitam polos. Dian memindai penampilan suaminya yang selalu rapi layaknya eksekutif muda yang mapan dan rupawan. Rambutnya disisir klimis belah pinggir. Hidungnya mancung, tatapannya teduh namun tajam. Tubuhnya tinggi, dengan perut rata dan lengan kuat. Warna kulitnya sedikit eksotis, mungkin karena Setya banyak menghabiskan waktu kerja di lapangan.

Saat harum parfum maskulin memasuki indera penciumannya, rasanya Dian ingin menubruk tubuh itu sekarang juga. Menghirup banyak-banyak aroma Setya yang pasti akan membuatnya candu.

"Sarapan dulu, Mas." Dian memangkas pikiran gilanya dan lekas menyodorkan sepiring nasi goreng pada suaminya. Tak lupa disusul dengan teh manis.

Setya menerimanya dengan suka cita dan mulai menyantap sarapan lahap.

"Enak!" pujinya setelah menandaskan separuh porsi. "Nasi gorengmu emang juara, Di."

"Habisin kalo gitu. Nggak boleh nyisa."

"Kapan aku pernah nyisa? Dari dulu selalu Mas habisin."

Dian tersenyum, dan lanjut menyuap.

"Kamu kok nggak siap-siap? Nggak ada kelas?" Suaminya kembali membuka obrolan setelah meletakkan sendok di atas piring yang sudah kosong.

"Aku masuk kelas siang Mas." Jawab Dian. Mini Coopernya belum disempat dibawa serta ke rumah ini.

"Sampe sore berarti ya? Waduh, Mas nggak bisa jemput, Di. Kamu bisa pake grab ke Pakuwon?"

Pergerakan menyuap Dian langsung terhenti. Ia mengangkat kepalanya menatap Setya. "Ke Pakuwon? Ngapain?"

"Memang kamu berani di rumah sendiri? Ya kalo kamu berani sendiri sih terserah."

Dian langsung tertegun. Setya memang selalu mengunjungi tempat masa kecilnya itu setiap hari jumat, dan akan pulang ke rumah minggu sore. Menghabiskan waktu akhir pekannya di sana. Tapi, apakah rutinitas itu akan tetap Setya lakukan saat sekarang sudah memiliki istri?

Sebenarnya, Dian ingin protes. Dian ingin mengeluarkan keberatannya saat akan ditinggal. Bisa dibilang mereka masih pengantin baru. Bukankah seharusnya mereka memiliki waktu lebih banyak untuk berdua? Tetapi kenapa lidahnya mendadak kelu? Dian takut hatinya akan bertambah kecewa bila keinginannya tak dihiraukan. Akan lebih baik ia menurut dan mengunci rapat mulutnya. Tapi mau sampai kapan?

"Mending kamu pulang ke Pakuwon aja. Nggak ada yang jagain kamu di sini."

Aku, Kamu dan Pengikat (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang