Manik mata itu terlihat sendu kala memandang sekumpulan teman seusianya berbondong-bondong pergi untuk mendaftar masuk SMA. Dibalik jendela usang, ia melamun, memikirkan nasibnya kelak.
"Nina ingin sekolah 'kan? Pergilah mendaftar." Suara lemah oma seketika menyentak khayalan nina. Netranya kemudian mengarah pada wanita tua renta yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
"Tidak oma ... Nina hanya ingin melihat mereka saja," Nina menyela dengan lembut. Kepalanya ia tundukkan bersama jari yang saling terpaut, ia tidak ingin memperlihatkan wajah sedihnya kepada oma.
"Oma tau kamu ingin lanjut sekolah, Nin, oma akan usahakan itu. Saat ini ... uang hasil jualan kacang goreng belum cukup untuk biaya pendaftaran"
"Sudahlah oma ... Nina tidak apa-apa."
"Baiklah, ayo bantu oma membungkus kacang goreng ini."
Nina segara beranjak, tangan mungil itu dengan cekatan membungkus beberapa kacang goreng. Oma dan Nina berbincang-bincang disela kegiatan mereka, inilah momen yang Nina sukai, Omanya begitu perhatian, Nina dengan bebas mengutarakan kejadian-kejadian yang ia alami bersama kawan. Sesekali bercanda, Nina mengamati wajah Oma yang telah dipenuhi keriput juga tangan lemah sesekali gemetaran saat membungkus kacang. Ah ... Nina hampir saja meneteskan air mata, ia takut, sangat takut jika Oma meninggalkannya sebelum ia sempat membahagiakan. Tubuh itu telah renta dimakan usia. tigapuluh menit kemudian, kacang goreng itu telah selesai di bungkus pada plastik es.
"Nina nanti titipkan kacang ini di warung ya" lagi dan lagi suara Oma menyentak khayal ketakutan Nina, ia mengangguk cepat, lagipula hasil jualan kacang goreng inilah yang menghidupi mereka meskipun penuh kekurangan. 'Tak apa, asal kita bisa makan, di luaran sana ada yang lebih tidak beruntung daripada kita' kata-kata Oma yang sering terngiang di kepala Nina saat ia mengeluhkan hidup yang serba kekurangan. Nina merasa kagum akan ketabahan Oma juga pengajaran hidup yang diberikan. Ya, ia akan ingat kata-kata itu. Selalu.
Kaki mungil dengan sendal yang kian menipis itu kini menapaki jalan ditengah terik matahari yang menyengat, panas luar biasa, keringat bercucuran di dahi Nina. Sesekali ia mengusapnya lewat dress lusuh yang ia kenakan. Jarak antara warung dan gubuk Nina sedikit jauh, sebab harus melewati gang sempit, juga jalan kompleks, warung itu terletak di depan jalan raya, warung yang selalu ramai dikunjungi, sehingga kacang goreng mereka ludes tak berisisa.
"Assalamualaikum bibi! Nina nitip kacang lagi ya?" Suara cempreng Nina begitu membahana, beberapa pengendara yang sedang singgah ikut terkikik mendengar suara Nina, tapi Nina mengacuhkan sekitarnya, ia lekas menaruh kacang itu di atas meja, dan menunggu sang bibi memberikan uang hasil jualan yang kemarin.
"Ooh kamu Nin, kirain siapa, ini uang hasil jualan kemarin," bibi menyerahkan beberapa lembar uang kepada Nina,
"Nina udah lulus ya? nanti lanjut dimana?" Pertanyaan sang bibi begitu menohok hati Nina, pertanyaan itu memang tidak menyakiti, hanya saja hati Nina yang mudah tersentil."Tidak bibi, Nina tidak lanjut. Mau bantu-bantu Oma saja. Jika bibi berkenan, boleh kan Nina bekerja disini? Mencuci piring juga Nina bisa."
Netra Nina berbinar penuh harap pada bibi yang nampak berpikir, "boleh Nin, asalkan Nina rajin datang ya, pelanggan bibi banyak soalnya." Nina langsung meloncat girang atas ucapan bibi barusan, rona bahagia tak dapat disembunyikan gadis mungil ini, ia pulang dengan hati yang riang, sesekali bersenandung ditengah jalan, nasib naas menimpa Nina, ia tak terlalu memperhatikan jalan sebab terbawa euforia bahagia. Kakinya tertusuk paku, tidak terlalu besar namun mampu mengeluarkan darah segar yang kian menderas. Bibir mungilnya menggigil ketakutan, ya, Nina phobia darah. Suara kendaraan yang berlalu lalang meredam tangis Nina yang sebenarnya kencang. Tertatih ia berjalan hingga di ujung gang ada mobil menghampiri Nina, pengemudinya keluar, seorang pria paruh baya kepala empat, dilihat dari penampilannya, bisa dikategorikan orang kaya, ia terlihat kebingungan. Entahlah, Nina sedang malas mengurusi hidup orang, rasa sakit di kakinya bertambah perih kala ia paksakan berjalan." Dek, kamu kenal tidak sama Nenek ini, " Pemilik mobil itu menghampiri Nina sambil menunjukkan foto wanita renta yang agak familiar di mata Nina, rasa perih di kakinya membuat Nina tidak bisa berpikir jernih, keningnya mengkerut, mata kecil Nina makin mengecil ketika ia serius berpikir, "kenal gak dek? Nama Nenek ini Ida, kadang dipanggil Oma ida, dia hidup bersama cucunya sekarang. Saya keponakan jauhnya ingin menjalin silaturahmi dengan Oma Ida" Suara bariton itu menyadarkan Nina, mata Nina membelalak kaget, itukan nama Omanya, "itu oma saya om!" Nina menyahut dengan cepat bersama mimik kaget yang terkesan lucu di mata orang itu, "ah benarkah? Syukurlah, saya daritadi kesulitan mencari alamatnya, ayo kita pergi menemui oma Ida," paman itu antusias ingin bertemu dengan oma Ida. "Kita tinggal di ujung gang sempit ini, jadi paman harus jalan kaki," Nina memperingatkan. " baiklah, tidak masalah." Di sepanjang perjalanan Nina hanya diam, ia juga enggan memulai percakapan apalagi dengan orang asing.