1.2 back to our first sight

113 14 1
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•••

past


"Jangan murung terus,"

Lelaki itu tersentak kaget ketika ada seseorang yang memergokinya. "Eh, aku nggak apa-apa kok," lelaki itu tertawa kaku.

Pemuda itu menyipitkan matanya. Mencoba mengingat sesuatu. "Kamu Kim Rena dari 10 - 2 bukan?"

"Iya, kamu... kenal aku?"

Laki-laki itu kembali tertawa. "Belum, tapi aku tahu namamu,"

"Aku kira aku nggak kelihatan," kata gadis itu tertawa renyah.

"Ya... nggak begitu," katanya. Lelaki itu ikut duduk di halte setelah melihat sang gadis duduk. "Kok belum pulang? Nungguin orang ya?"

Si gadis menggeleng. "Enggak, tadi ada barang ketinggalan. Kamu sendiri?"

"Males pulang ke rumah," katanya namun tetap sambil tertawa. Bohong. Jelas tercermin dari pancaran matanya itu bukan sekedar tawa. Itu adalah luka, jelas itu luka.

"Ohh, aku naik bus setelah ini." kata gadis itu seraya memasang satu earphone ke telinganya.

"Eh! Aku ikut yaa," Lelaki itu tersenyum sangat lebar hingga seolah-olah seluruh dunia dapat terkena silaunya.

"Hah? ikut? Memangnya searah?"  gadis itu malah bertanya.

"Iyaa, searah kok, searah," dia tersenyum jahil, mencoba meyakinkan si gadis.

"Ayo, itu busnya udah ada."

Tangan gadis itu kini sudah ada dalam genggaman si anak laki-laki tersebut. Dia masih bingung, tapi akhirnya dia menurut. Mereka memberhentikan bus di halte dan segera menaikinya.

"Aku Lee Haechan, senang bertemu denganmu," katanya seraya menjabat tangan si gadis saat duduk di dalam bus.

"Kim Rena," katanya. "Senang bertemu denganmu juga," dia lanjut tersenyum.

"Serius loh, aku senang ada teman searah pulang," tanya Haechan di sela perjalanan.

Rena menggeleng. "Kok tahu?" Rena memandangnya curiga.

Si adam tertawa lagi. "Ada deh, kapan-kapan aku kasih tau."

Rena semakin memicingnkan matanya. "Kamu penguntit ya?"

Haechan semakin tertawa. "Bukan! Ada-ada aja ya."

"Kalau begitu bilang! Kok tahu searah denganku?"

Haechan menggaruk kepalanya, ia tertawa—lagi, duh bocah ini suka sekali tertawa, untung kelihatannya indah, kalau tidak sudah dicap gila daritadi—sambil menarik napasnya, "Begini, Rena, jadi sebelum aku benar-benar pindah ke sekolah, aku pernah jalan-jalan sambil lihat-lihat kan, eh aku melihatmu waktu itu, awalnya tadi saat di halte aku kira salah orang, tapi setelah kuperhatikan, ternyata itu benar kamu." Jelasnya panjang lebar dengan nada super cepat.

Rena ternganga dan membulatkan mulutnya. "Oh, begitu, bagus deh kukira kamu penguntit,"

"Ngomong-ngomong kamu tadi belum bilang, kok nggak mau pulang?" Rena menengok ke arah Haechan. Laki-laki itu tengah menatapnya dari tadi ternyata.

"Ck, eum,, aku belum niat pulang," katanya seraya meringis. Lalu ia tertawa—lagi.

"Lagi ada masalah?" tanya Rena. "—eh maksudku, bukan begitu,"

"Iya, nggak apa-apa. Tapi, jangan bilang yang lain ya?"

"Jangan bilang apa?"

"Kalau aku ada masalah,"

Gadis itu mengernyit tidak paham. "Eum, oke."

"Aku nggak mau dikasihani teman-temanku," katanya seraya tersenyum pahit.

Rena mengangguk, "Iya, gapapa. Santai saja,"

"Besok aku ulang tahun,"

Rena menengok ke sampingnya, "Oh, ya?"

Haechan mengangguk. Rena tersenyum dengan tulus, "Kalau begitu, selamat ulang tahun!"

Haechan ikut tersenyum. "Tapi, ulang tahunku masih besok," gumam Haechan.

"Biar aku jadi yang pertama," kata Rena asal, sambil tertawa.

Haechan meringis sambil melambaikan tangannya, "Jangan sekarang, katanya kalau mengucapkan sebelum harinya nanti aku jadi mati, tau!"

Rena mendecak. "Ya... semua orang bakalan mati kok, pada akhirnya.. "

Haechan meringis. "Duh, bukan begitu maksudnya." penuda itu tertawa riang.

Rena ikut tersenyum. Senyuman Haechan sangat mudah menular, seperti virus. Sesampainya di halte dekat rumah mereka turun bersama dan jalan menuju rumah.

Ketika di persimpangan jalan, mereka saling melambai dan saling berpisah sampai Haechan tidak lagi terlihat oleh Rena.

Sementara itu, Haechan tidak langsung pulang ke rumahnya. Ia memutar arah ke taman di kompleknya dan duduk disana selama seperempat jam, mengulur waktu sampai ke rumah.

Menjelang senja barulah lelaki itu pulang ke rumahnya. Dia memang tidak suka pulang. Jangan risau, dia tidak akan macam-macam walau di luar rumah. alasannya tidak pulang hanya satu: rumahnya bukan rumah.

AMIGDALA || HAECHAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang