Jangan menyalahkanku, salahkan masa laluku yang tak biasa, yang tak seperti cerita orang kebanyakan.
(Sandrina)
Si jago merah masih saja dengan murkanya melalap habis sebagian besar benda di sekitarnya. Termasuk rumah-rumah elit yang awalnya berdiri dengan segala bentuk arsitektur dan kemewahan yang ada. Namun siapa tahu bila Tuhan memang berkehendak demikian. Semua kemewahan itu dalam sekejap sudah usai dan berubah menjadi kepulan asap yang menggumpal menyisakan debu hitam dalam puing reruntuhan.Di bawah Pohon Camelia inilah, seorang gadis berusia 6 tahun menggigil ketakutan melihat kobaran api melahap rumahnya tak bersisa. Entah di mana kedua orangtua dan adiknya.
Gadis mungil itu terduduk ketakutan sembari mendekap kedua lututnya. Ia masih setia memeluk boneka teddy bear-nya yang berwarna cokelat terang. Rambut ikal sebahu yang dikucir dua dan dijepit pita berwarna peach senada dengan baju yang dipakainya mulai berantakan.
Wajahnya mulai kusut dan kotor terkena debu dari kepulan asap. Bahkan baju dari bahan kain kaca yang biasanya nampak berkilau dengan handmade bunga-bunga kecil dan hiasan renda bermotif kupu-kupu itu pun ikut mengumal. Ia melihat beberapa orang berseragam menghampirinya. Dan gadis kecil itu hendak berlari saat mereka akan menyergapnya. Mencoba berlari sekuat mungkin, tapi apalah daya tenaga sang gadis mungil tak cukup kuat dibandingkan dengan manusia-manusia berotot yang akan membawanya pergi itu. Ia hanya bisa pasrah saat mereka berhasil menuntunnya masuk ke mobil.
Gadis itu yang tak lain bernama Sandrina. Ia hanya bisa diam terpaku saat bayangan rumahnya yang penuh asap hitam itu mulai menjauh dari pandangannya di balik kaca mobil bersirene yang ia tumpangi.
“Mama, papa, kalian di mana? Sandrina takut,” lirihnya.
Ia masih saja mendekap kedua lututnya sampai mobil berhenti ke halaman sebuah rumah mirip sekolah. Ia membaca sebuah papan nama di atas gapura pintu masuk.
Panti Asuhan Cahaya Bunda
«««♡»»»
Sandrina mengangkat piring yang sudah berisi nasi dan lauknya. Ia mencium aroma masakan panti. Hanya berisi lauk tempe dan sayur sop dengan banyak kuah. Sandrina meletakkan piring di atas meja dan diam saja. Sementara penghuni panti lain yang masih seusianya sudah mulai makan dengan lahap.
“Kenapa kamu gak makan?” tanya seorang wanita penjaga panti dengan lemah lembut.
“Aku gak suka, makanan apa itu? Aku minta lauk dari daging,” ucapnya memaksa.
Seorang penghuni panti lain yang tengah lahap makan berhenti mendengar rajukan Sandrina. Ia berdiri dan berkacak pinggang.
“Heh! Makan daging di sini seminggu sekali. Udah syukur lo gak makan sama kerupuk!” bentaknya sambil mendekati Sandrina.
Gadis itu meraih piring yang diletakkan Sandrina, “Ayo makan!” bentaknya seraya menyodorkan piring ke depan mulut Sandrina. Sandrina menggeleng tak mau.
Gadis dengan wajah berbentuk kotak dan kulit sawo matang itu melempar piring berisi makanan Sandrina ke lantai begitu saja. Sandrina dan penghuni lain terkejut.
“Yayuk!”
Seorang wanita penjaga panti yang tadi menemani Sandrina menghampiri gadis bernama Yayuk. Dengan bahasa keibuannya ia mengusap puncak kepala Yayuk dengan kasih sayang.
“Dia di sini masih baru, Nak. Maklumin aja. Sedikit demi sedikit dia akan belajar banyak hal soal panti ini.”
“Dia harus mau menerima apapun dari panti ini, Bu. Suka gak suka. Untung aja dia gak jadi gembel di jalanan.”
Pengasuh anak panti itu hanya mendesah pelan. Kejadian seperti itu sudah biasa terjadi. Namun wanita keibuan itu meyakini bahwa kasih sayang yang tulus akan mampu meredam semua kekacauan.
Mustahil api akan padam jika dibalas dengan api. Setidaknya, kasih sayang dan cinta yang tulus yang akan menjadi air pemadamnya.
«««♡»»»
Dentang waktu mulai berbunyi sepuluh kali saat kegelapan itu menyebar di seluruh alam. Itu artinya waktu sudah menunjuk pukul sepuluh malam.
Gadis kecil yang sudah menghabiskan waktunya di panti selama empat belas tahun itu kini hanya bisa menilik jam dinding sekilas. Ia kembali membenamkan wajah di bantal busa miliknya. Semua penghuni panti sudah menyambut alam mimpi, kecuali dirinya yang masih merenung sendirian.
Sandrina Florecita. Sang mama dulu adalah pecinta film telenovela Florecita——si gadis bunga—— sehingga tak ayal, sang mama menamai anak gadisnya itu dengan nama seorang tokoh dalam seri telenovela tersebut.
Sandrina dulu adalah gadis mungil yang lugu dan berhati lembut, ketika masih bersama kedua orangtuanya. Namun kini, saat usianya beranjak dewasa, semua itu seolah terhempas waktu. Lihatlah bagaimana sikap Sandrina di kampus, tempatnya menimba ilmu pengetahuan kini.
“Jangan lo pikir, karena gue anak panti, lo bisa nindas gue sembarangan. Gue gak selemah itu, Pren!” ucap Sandrina suatu hari saat ada teman kampus yang hendak membulinya.
Bukannya kena buli, ia malah memelintir lengan teman kampus yang hendak berbuat kasar padanya itu.
“Ini hidup! Hidup itu keras! Kita cuma punya dua pilihan, ditindas ato menindas!”
Dan itu, adalah motto hidup seorang Sandrina Florecita.
—※★♡★※—23 Mei 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Sandrina
Spiritual(Sudah Terbit) bisa dipesan di Shopee aepublishing. Sandrina Florecita--nama telenovela yang diberikan oleh kedua orangtuanya. Sayangnya, nama itu menjadi satu-satunya kenangan akan kedua orangtuanya. Keras dan suka menindas adalah hobinya. Sampai d...