Lembar Keenam

3.6K 147 6
                                    

Meski membuatmu merasa biru,
sesuatu yang tidak akan pernah pergi meninggalkanmu adalah kenangan.

✈ ✈ ✈ 

Satu tahun yang lalu,
Lapangan basket SMA Bintara.

Masa pengenalan lingkungan sekolah. Hiruk-pikuk murid baru. Gaskara memandang datar lautan topi hijau dan merah yang terbuat dari bola plastik itu. Yang hijau untuk perempuan dan yang merah untuk laki-laki. Gaska sendiri tidak mengenakan topi. Ia lupa, bukan, lebih tepatnya topi itu ketinggalan di meja makan. Setidaknya, begitu yang ada di ingatannya. Dan akibat dari kecerobohannya itu, disinilah dia. Berdiri di depan barisan murid baru. Menanti hukuman dari seniornya karena tidak memakai topi keramat itu.

Salah satu seniornya mendekat. Membalik papan nama dari kertas karton bertali rafia yang terkalung di lehernya. Perempuan itu menggumamkan nama Gaska. Kemudian menyerukan padanya untuk memperkenalkan diri dengan suara yang lantang–sebelum suara lain mendahuluinya.

"Punya tangan, kan? Ambil sendiri, lah!"

Semua menoleh kearah suara itu, tak terkecuali Gaska. Salah satu alisnya terangkat. Menatap lamat seorang gadis–murid baru–yang berdiri membelakanginya. Tampak berdebat dengan sekelompok senior perempuan.

"Lagian itu kan sampah lo! Bukan sampah gue," lanjut si gadis.

Gaskara tidak bisa tidak tertarik dengan suara nyaring penuh keberanian itu. Suara yang entah kenapa terdengar tidak asing di telinganya. Sampai saat salah satu senior perempuan di depan gadis itu maju. Dan tanpa aba-aba ia menarik kuat tanda pengenal si gadis sampai tali rafia yang menjadi pengaitnya putus dan membuatnya terhuyung ke depan. Lewat ekor matanya, Gaskara mengeja nama yang tertulis besar-besar di karton coklat itu. M-A-R-D-A.

Tidak, ini bencana!

✈ ✈ ✈ 

Lima bulan sebelum hari kelulusan SMP.

Gaskara menghembuskan nafas lelah. Sebaliknya, wanita bernama Rike yang kebetulan adalah Mamanya itu tidak menunjukkan tanda-tanda lelah. Meskipun sudah berulang kali menyebutkan nama yang sama dari bibirnya. Siapa? Arda? Ani? Mirna? Gaskara tersenyum begitu suara sang Mama tidak terdengar lagi. Ia kembali menyendok makanannya, sebelum—

"Jadi, Oma Lujeng itu mau cucunya ikut bimbel bareng Gaska, Ma?"

Gaskara memejamkan mata erat-erat.

Cepat-cepat menelan makanannya, Rike mengangguk menjawab pertanyaan sang Suami. "Iya, Pa. Kan, bimbel Gaska kalo tiap hari Sabtu pulangnya jam tiga sore, Oma baru tutup butik jam delapan malam. Jadi, Marda dititipin ke Mama. Gapapa, kan?" tanyanya. Adi mengangguk saja sebagai jawaban. Toh, Oma Lujeng juga bukan orang asing. Dia adalah pemilik butik dari gaun pernikahan istrinya dengannya dulu. Dan tidak tahu bagaimana bisa, kedua wanita berbeda umur itu masih berhubungan sampai saat ini. Bahkan sangat akrab.

Rike meneguk minum, kemudian kembali bersuara, "Lagian, Marda itu anak baik. Dia ceria banget, Pa, anaknya. Positif. Cuma sedikit ketinggalan pelajaran aja. Soalnya baru sembuh dari sakit," tuturnya. Adi kembali mengangguk sebagai jawaban. Ia melirik heran putra semata wayangnya yang khidmat memejamkan mata sedari tadi.

"Gaska, kamu kenapa?"

Gaskara tersentak. Sendok yang ia genggam sebagai pelampiasan kekesalannya sekarang terlempar ke lantai. Ia mengerjap, sebelum kemudian menunduk untuk mengambil sendok itu. Entah kenapabia merasa.. Marda? benar itu, kan, namanya?–gadis itu tidak sepositif yang Mamanya ceritakan.

Dan sepertinya, Gaskara harus berterima kasih kepada instingnya. Lihat! Bagaimana bisa gadis yang mengecap permen karet dengan keras mengalahkan suara guru bimbelnya itu bisa begitu dibangga-banggakan oleh sang Mama?
Gaskara mengedarkan pandangan. Takut-takut salah "Marda". Tetapi, hanya ada enam anak di ruangan ini dan hanya gadis yang duduk di sampingnya ini yang mengenalkan diri sebagai Marda.

Pesawat Kertas untuk MardaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang