Setelah kemarin malam gue hura-hura tidak jelas di Malioboro, akhirnya pagi ini gue punya tujuan yang lebih dari kata jelas.
Gue berangkat sekolah dan segera menemui si Gondrong yang asik bersantai di pohon beringin sambil main game AOV.
"Hoi! Gondrong!" sapa gue sambil ngegas.
Gondrong menoleh, "apa, hoi?"
"Gue minta dibukain indera dong,"
"Indera Bekti?"
"Bukan... indera itu lho, yang ke 6 atau yang keberapa itu lah, yang bisa lihat Nyi Ngin."
"Lo mau nikung milik gue?" Gondrong tiba-tiba membanting gawainya di depan gue.
Gue bingung, kenapa Gondrong kayak gini?
"Nyi Ngin itu milik gue. Lo jangan berani coba-coba ambil dia dari gue!" balas Gondrong sambil meluapkan emosinya. Memang jiwanya sudah tergoncang.
"Bu... bukan, gue pengen dibuka aja, biar kayak jadi anak indigo gitu... enggak sendirian,"
Gondrong membalikkan badannya. Kemudian berjalan dua langkah menjauh dari gue.
"Eh... gue gak maksa kok," kata gue.
"Bukan... gue mau minta saran sama Nyi Ngin dulu. Dia bilang yes."
Gondrong akhirnya mendekati gue, membacakan mantra yang sama sekali gue tidak paham. "Similikitiasdfghjklawkward,"
Tidak lama kemudian Gondrong langsung menyemburkan angin di wajah gue. Sontak gue langsung menutupkan mata biar tidak kemasukan air liurnya.
Pas gue buka mata, si Gondrong tidak ada. Apa mantranya sudah selesai? Apa gue sudah jadi anak indigo?
Tiba-tiba ada yang menepuk punggung gue dengan kasar. Gue tidak berani menoleh karena gue mungkin sudah jadi anak indigo.
"Heh. Lihat gue!" katanya.
Itu suara si Gondrong. Gue kira dia ngilang, ternyata sembunyi dibelakang gue. Dasar.
Gue dalam posisi hadap-hadapan dengan Gondrong. Terus mata gue ditutup dengan tangan Gondrong. Lagi-lagi ia membacakan mantra.
"Asdfghjklaseloleahaiahaiahaiwikwikwik,"
Kok ada lagu Thailandnya juga ya, keren nih, si Gondrong.
"Udah, lo buka mata," ucap Gondrong.
Gue membuka mata. Tidak ada perubahan apapun dari gue. "Ah, lo bohong. Gue minta beneran tapi lo malah ngasihnya candaan. Jahat!" Gue lari dari Gondrong.
Kemudian gue ketemu sama guru gue, namanya pak Jono. Pak Jono nyapa gue sambil tersenyum. "Pagi, Venus!"
Seharusnya kan, murid yang menyapa? Tapi kok ini guru? Memang pak Jono guru paling teladan, terganteng, terbaik, terseksi, ter unch, ter ter ter... ser... goyang pak Jono!!
Maaf, gue suka kumat.
Akhirnya gue balas tersenyum kepada pak Jono. "Pagi-" omongan gue terpotong ketika melihat ada sosok pocong di belakang pak Jono, "-pocong!"
Gue lari sekencang mungkin. Itu pertama kali gue melihat sosok yang tidak pernah dilihat oleh para manusia normal.
Saat gue lari, pak Joko memaki-maki gue. Oke, gue salah karena bilang pagi pocong. Itu tidak sengaja. Predikat murid pendatang gue mungkin sudah ternodai.
Disepanjang perjalanan gue ketemu mereka yang tak terlihat yang tiba-tiba muncul dimana saja tanpa beri salam.
"Hei! Venus! Lo kenapa?" tanya Riko saat berpapasan di jalan.
"Ge... ge..."
"Gege? Lady Gege?"
"Genderuo di belakang lo, anjir!"
Gue lari kembali. Eh, si Riko ikut-ikutan. Nah, genderuonya juga ikut. Jadi kami bertiga berlarian kesana kemari dan tertawa.
Eh, bukan tertawa, ketakutan setengah mati.
Hidupku kembali tidak jelas...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tjinta & Tinja - Cinta & Tai ✔
Humor[do]AKAN TERBIT. Author tidak tanggung jawab jika ada pembaca yang tidak bisa berhenti tertawa. Ini cerita humor yang receh sekali antara kehidupan, cinta dan tahi dari kehidupan Venus. Dipersilahkan untuk berimajinasi saat membaca. Bahasa tidak bak...