Hai, readers setia Bimo dan Muti. Apa kabarnya, nich?
Tulisan kali ini author ingin mengajak bernostalgia mengenang masa-masa indah ketika Bimo berjuang mendapatkan Muti. Semoga suka, ya...****
Kisah dimulai, Januari 2003
Siang itu, Muti pulang mengajar dengan naik bus. Seperti hari-hari biasa yang telah ia lewati semenjak Oktober 2001, berangkat pukul 06.15 dan pulang pukul 13.30 dengan naik bus. Pekerjaan yang tak pernah dia bayangkan, bahkan tak pernah ia inginkan. Cita-citanya hanya ingin jadi guide wisata, namun apalah daya meski dapat beasiswa dari Akademi Pariwisata, ia tetap tak mampu dengan biaya hidup yang akan ia tanggung seorang diri. Keluarganya tak ada yang mendukung cita-citanya itu.
Ya, semua adalah takdir Tuhan. Semua sudah digariskan bahwa Muti harus mengubur cita-citanya. Sekarang, keseharian Muti adalah sebagai guru komputer di sebuah yayasan besar di kota yang menjadi ibukota provinsi Jawa Tengah. Sejak lulus SMA 2001 kemudian ia kursus komputer 3 bulan, karena tantenya adalah kepala sekolah dan banyak relasi akhirnya Muti mendapatkan pekerjaan yang nyaman.
Sesampai di rumah, ia lepas sepatu, cuci tangan dan kaki, kemudian naik ke lantai atas menuju kamarnya. Baru saja merebahkan badan, terdengar suara kaki menaiki tangga. Pembantu tante yang datang dengan tergopoh-gopoh.
"Mbak Muti, mbak Puji kecelakaan." Kata pembantu rumah tante memberitahuku, seketika aku kaget dan bangun dari tempat tidur.
"Mbak Muti diminta ke tempat dia dirawat, karena ga ada yang jagain." Lanjutnya.
"Dimana dia dirawat?"
"Di Sangkal Putung Suratmo, Manyaran."
"Iya, nanti aku kesana."
Bergegaslah Muti kesana tanpa mengganti pakaian, bahkan ia lupa kalau belum makan. Puji adalah sepupunya, anak dari tante yang mencarikan pekerjaan untuknya. Dia janda beranak dua, pisah dengan suaminya semenjak usia 30 tahun. Meskipun dia bekerja di sebuah universitas ternama dan sudah PNS, namun nyatanya jodoh belum menghampirinya.
Butuh 15 menit naik angkot untuk sampai di tempat yang ia tuju. Angkot tidak melewati depan tempat rawat itu karena memang bukan jalurnya. Mau tidak mau Muti harus berjalan kaki, berbelok ke arah jalan Suratmo. Tidak jauh, hanya sekitar 100 meter saja Muti berjalan dan tempat itu sudah terlihat.
Muti celingukan mencari sepupunya, dia tengok setiap bilik ruang yang disekat-sekat triplek bercat putih. Ramai juga orang yang berobat disana, karena ternyata tempat sangkal putung ini dapat mengobati berbagai penyakit bahkan kanker juga.
"Muti!" Panggil seseorang dari dalam sebuah bilik yang tirainya terbuka.
Muti menoleh dan dia dapati sepupunya dengan kaki diperban khusus untuk tulang patah sedang duduk bersandar ke dinding.
"Jatuh lagi, mbak? Kok ga kapok juga, sih?"
"Lha wong jatuh dewe kok!"
"Ya, tau jatuh sendiri. Emang dijatuhin?" Kelakar Muti yang disambut tawa Puji.
"Gimana keadaannya?"
"Biasa, mlengse lagi tulangnya. Paling semingguan disini."
"Waduh, aku bakalan bolak-balik kesini, dong!"
Dan benar saja, Muti memang yang harus bolak-balik ke tempat tersebut. Hingga suatu malam, tepatnya malam Jumat Kliwon di tempat tersebut berkumpul para murid dan juga pasien-pasien yang berobat jalan maupun yang menginap berkumpul untuk melakukan ritual pengobatan, doa bersama. Lokasi berkumpul di rumah pemilik sangkal putung yang bersebelahan dengan tempat praktiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JODOH PENGUJI
Short Storyulasan tentang keluh kesah seorang wanita yang telah lelah menanggung beban