Part 4

68 15 8
                                    

"Pelajaran yang kalian benci?",

Pasti kebanyakan menjawab matematika.

***

Aku menatap seorang wanita yang berdiri di depan kelas.

Dia terus saja mengoceh, tanpa mau mengerti rasa bosan yang sedari tadi menyiksa kami.

Lucu rasanya melihat wajah teman temanku yang di penuhi rasa ngantuk.

Contohnya saja, Rara.

Sebuah buku berdiri tegak di depannya, menyembunyikan gadis itu yang kini terlelap di atas meja.

Lain lagi dengan Farhan yang nampak menunduk seolah membaca buku. Kenyataannya, mata coklat itu mengarah pada handphone yang dia sembunyikan di laci meja.

Rasanya berbahaya jika hal ini terjadi terus menerus.

Bahaya, jika bu Cika dibiarkan mengajar.

Aku tak ingin menjadi Rara yang hanya bisa tidur lalu kembali bangun ketika bu Cika berjalan menghampirinya.

Aku tak ingin menjadi Farhan yang handphonenya harus disita karena ketahuan.

Aku ingin menjadi diriku sendiri.
Menjadi penyelamat bagi semua teman teman ku.

Makanya setelah pelajaran selesai, kubantu bu Cika membawa buku buku paket ke kantor guru.

Aku harus mengambil hatinya,
Sebelum benar benar mengambil jantungnya bukan?

Hujan baru saja berhenti mengguyur kota kecilku, meninggalkan beberapa genangan yang menghiasi jalanan dan kenangan terpatri dalam ingatan.

Aku berjalan pelan sembari memperhatikan langkah bu Cika di depan. Cipratan air beberapa kali membasahi sepatuku.

Setelah selesai mengantar buku paket ke kantor guru, aku sengaja menunggu bu Cika, lalu membuntutinya, dan kemudian..

Yah, kalian bisa menebaknya!

Langkah bu Cika semakin cepat seakan akan dia menyadari kehadiranku.

Dahiku mengerut melihatnya berbelok ke arah gang kecil.

Untuk apa?
Tak tahu kah dia, jika gang itu buntu?

Tapi tak apa, dengan ini bu Cika semakin mempermudahku menyelesaikan part 4 dari cerita Am I a Psychopath.

"Ibu ngapain?" Aku menunduk melihat bu Cika yang duduk meringkuk di ujung gang.

"Die?, kamu di sini?" Tanya bu Cika sesekali mengalihkan pandangan keluar gang.

Adakah yang bisa memberitahu bu Cika, jika akulah yang sedari tadi menguntitnya?

"Tadi ibu lupa bilang makasih ke saya,"

Mendengar ucapanku, entah mengapa perlahan raut wajah bu Cika berubah ketakutan. Dia bergegas mengambil tas dan beranjak pergi.

Namun, aku lebih dulu mencegatnya. Sebuah kain penuh obat bius kudekatkan ke indra penciuman bu Cika, sampai dia perlahan lemas dan tidak sadarkan diri.

Dengan hati hati aku mengangkat tubuh itu kedalam taksi yang sudah kupesan.

"Tolong cepat ya pak. Ibu saya harus segera istirahat." Ucapku berbohong untuk menghilangkan rasa curiga dari sang sopir.

Tiba di rumah sebuah kursi bersama tali tambang sudah kusiapkan.

Hanya dengan 5 menit, wanita paruh baya itu kini duduk di kursi dengan tangan dan kakinya yang terikat.

Sring sring..

Bunyi nyaring dari pisau yang terasah menjadi temanku ketika menunggu mata bu Cika kembali terbuka.

Raut wajah bingung dan ketakutan nampak terlihat jelas begitu bu Cika sadar.

Dia meronta ronta, berharap ikatan yang melingkar pada tubuhnya bisa terlepas. Deru nafas makin cepat, saat ku perlahan melangkah mendekat.

Air matanya baru mengalir ketika kepala itu kupaksa mendongak.

Sebuah pisau aku dekatkan pada leher jenjang itu. Lalu,

Tsret.. tsret

Bu Cika menutup mata, menikmati sentuhan tajam dari pisauku yang menyayat tenggorokannya berulang ulang.

Teriakan kesakitan memenuhi seisi ruangan, saat tanganku memaksa masuk kedalam luka sayat itu dan menarik paksa lidah milik bu Cika hingga menjulur keluar melalui luka terbuka di tenggorokannya.

Aku tersenyum lebar mengerikan melihat matanya yang melotot seakan ingin keluar.

Kali ini, sesuatu yang pernah kulakukan pada Dani, akan terulang kembali pada tubuh bu Cika.

Tapi, aku takkan memakai garpu. Sebuah bor akan menemaninya menemui kematian.

Rasa senang semakin terasa melihat bu Cika menggeleng lemah saat mata bor yang berputar mulai mendekati kedua bola matanya.

Craat...

Darah memancar mengenai wajahku.

Jijik?

Tidak, aku bahkan bahagia menatap bu Cika yang kini kehilangan bola mata sebelah kanannya.

Craat..

Darah yang mengalir semakin membuatku bersemangat untuk mengebor mata bu Cika lebih dalam, seolah akan tembus hingga kepalanya.

Tanganku baru berhenti ketika tak ada respon dari wanita paruh baya itu.

Dia mati?

Yang benar saja, aku baru akan mulai menyiksanya lebih tragis lagi!

Haruskah kubelah dadanya untuk memastikan bahwa jantung itu benar benar sudah berhenti berdetak atau tidak?

Tak ingin membuang waktu lama, kuseret tubuh kaku yang mulai dingin itu ke halaman belakang rumah.

Mengikatnya berdiri pada kayu dengan sebuah ban yang sudah diisi bensin melingkar pada bagian dada juga lengannya.

"Selamat tinggal dan terima kasih sudah menjadi korbanku di part 4 ini."

Ucapku seraya membuang korek yang sudah menyala ke tubuh bu Cika.

Dengan sekejap, api membesar melahap tubuh kaku itu.

Aku tersenyum, menikmati aroma daging bakar juga lelehan kulit kulit itu yang perlahan meninggalkan tulangnya.


Am I a Psychopath?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang