Sapaan.

4.9K 305 18
                                    

🍁

Sagara menatap lekat gadis di sampingnya, diam dan tak bersuara. Manik coklat muda milik gadis itu membuat Sagara lupa akan dunianya sendiri. Entah mengapa Sagara sangat ingin memandang netra coklat terang itu lebih lama. Sagara mengingat seseorang yang sudah sangat lama hilang dari hidupnya, sesosok gadis yang sama sepertinya, yang mampu memberikan desiran hangat pada jantungnya, waupun hanya karena sebuah tatapan singkat.

"Kelas gue"
Sagara tersadar dari lamunannya.

"Kelas kamu 11 mipa 1, kita sebelahan" jawab Sagara sedikit antusias, sedangkan gadis itu seakan tak perduli.

Sagara menemukan perbedaan diantara keduanya, gadis yang ditemuinya kali ini tak seramah gadisnya dulu, juga tak semanis gadisnya dulu. Namun desiran yang ditimbulkan gadis ini melebihi desiran yang ditimbulkan oleh gadisnya.

🍁

Ayana.

Ayana adalah gadis pendiam, dan cukup anti sosial, Ayana lebih senang menyendiri dibandingkan harus bergabung dengan para remaja lain.

Ayana adalah pantulan bulan, wajahnya yang cantik, dengan manik mata coklat muda yang semakin mendukung wajah moleknya. Ia memiliki rambut panjang yang bergelombang, tubuhnya lumayan  mungil menurun dari sang ibu menjadi salah satu penunjang lain bagi kesempurnaan dalam dirinya.

Ayana tidak pernah memiliki teman dekat, sejak kecil pribadi Ayana begitu berbeda. Devan merasa cemas dengan putrinya yang selalu memilih berdiam diri di rumah daripada bermain dengan teman sebayanya, didalam keluarga kecil mereka Ayana lebih sering bertegur sapa dengan sang kakak.

Kehadiran Ayana membuat seisi kelas menjadi hening, mereka memandang Ayana dengan tatapan penuh puja. Ayana tak perduli, ia berjalan mencari bangku kosong dan langsung mendudukinya. Tak lupa Ayana mengambil headphonenya, dan memutar lagu kesukaannya.

Lima menit kemudian jam pelajaran dimulai, Ayana sedikit terkejut saat melihat guru yang masuk, namun sedetik kemudian wajahnya berubah datar kembali.

"Selamat pagi anak-anak"
Sapa sang guru muda itu dengan ramah, semua murid menjawab dengan serentak.

"Sepertinya pagi ini kita kedatangan murid baru, silahkan maju dan perkenalkan diri"
Ayana tidak menolak sama sekali, ia segera bangkit menuju podium kelas, berdiri tegak dengan wajah datar.

"Ayana, dari SMA Garuda"
Perkenalan yang sungguh sangat singkat.

"Lah SMA Garuda sama SMA Bakti kan satu yayasan kenapa lo pake pindah kalo gitu?"
Tanya seorang siswa, wajah Ayana menunjukkan ekspresi bahwa dia. . .

Tidak suka.

"Suka-suka gue"
Jawab Ayana judes, siswa yang diketahui namanya Gery itu meringis mendengar jawaban Ayana yang sangat tidak ia harapkan.

Sayang sekali mulut gadis itu tidak secantik wajahnya.

Ayana turun dari podium ia sempat melirik sang guru yang memberinya tatapan peringatan, Ayana tidak peduli sama sekali.

"Lain kali honeybun harus lebih ramah okey"
Bisik sang guru membuat Ayana mendelik kesal.

"Jangan manggil gue pakek panggilan bocah di sekolah"
Bukannya takut sang guru malah tambah tertawa kecil, ia sangat suka menjahili si bungsu.

Ayana kembali ke tempat duduknya, memilih melanjutkan acara mendengar lagunya.

"Baiklah pelajaran kita mulai, buka buku paket kalian"

🍁

Jam pelajaran pertama telah usai, kali ini Ayana terpaksa harus ke kantin karena tadi pagi ia tidak sempat untuk sarapan. Kalau saja Ayana tadi pagi sarapan, pasti saat ini dirinya lebih senang duduk di rooftop sekolah milik keluarganya ini.

Ayana membeli sebungkus roti dan juga sebotol air mineral. Lagi, tatapannya harus bertabrakan dengan pria jangkung yang tadi pagi ditugaskan untuk mengantarkannya ke kelas. Ayana mendudukan dirinya di meja yang agak jauh dari keramaian.

"Hallo, kita ketemu lagi"
Sagara menyapa dengan hangat, Ayana tidak berniat untuk menjawab.

Ayana mulai memakan rotinya, dia lapar. Tidak ada yang lebih penting dari perutnya yang sudah meronta sedari tadi, jadi untuk apa ia membuang buang waktu harus meladeni pria sok kenal disampingnya ini.

"Laper banget ya? Pelan-pelan makannya, nanti keselek"
Ayana mulai jengah, selama ini tidak ada yang mau bertegur sapa dengannya. Mereka beranggapan bahwa Ayana adalah sosok gadis aneh, memang benar dirinya aneh lalu apa masalah mereka? Ayana hanya tidak ingin mengganggu dan diganggu. Kalaupun mereka tidak mau berteman dengan Ayana, mereka cukup diam dan jangan membicarakan Ayana. Ayana tidak penah memiliki kepercayaan tentang pertemanan, dirinya bisa melakukan apapun sendirian.

Dia tidak butuh teman.

"Berhenti sok kenal sama gue"
Ayana meninggalkan makanannya dan berlalu pergi, Sagara mengedipkan matanya tidak percaya. Senyuman tipis timbul membentuk bulan sabit pada wajahnya, boleh juga.

Dia hanya ingin membantu Ayana, membantunya menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Namun sepertinya Ayana menolak dengan terang-terangan, Sagara tidak masalah sama sekali. Sikap Ayana menunjukkan betapa peduli Ayana pada dirinya sendiri, dia merasa tidak butuh siapapun. Namun Sagara yakin suatu saat nanti Ayana akan membutuhkannya.

🍁

"Diem! Jangan nangis!"
gadis itu terisak ketika merasakan darah mulai mengucur dari pelipisnya.

"Sekarang kita harus buat tangan lo kapok oke?"
Gadis itu menggeleng kuat, dirinya tidak bisa berteriak. Kain yang membungkam bibirnya membuatnya susah berbicara.

"Pilih mana, paku atau palu? Gue kasih pilihan buat tangan lo, ayo jawab"
Gadis itu berdecak kesal.

"Lo nggak punya mulut ya Vi? Gue nanya loh, jarang jarang kan liat gue nanya ke orang. Yaudah karena lo nggak jawab gue bakal kasih dua duanya, anggep aja bonus."
Gadis bernama Vivi itu semakin menangis ketika melihat tangannya yang sebentar lagi akan bernasib nahas.

Satu paku di letakkan di tengah telapak tangan Vivi, gadis itu tersenyum penuh. Senyuman yang menakutkan, Senyuman terburuk yang pernah Vivi lihat sepanjang hidupnya. Walaupun hidupnya sebentar lagi tidak akan panjang.

Tok tok

Tubuh Vivi meronta kuat, saat paku itu berhasil menembus telapak tangannya. Tubuhnya seakan tersetrum oleh aliran listrik, rasa sakit menembus sampai ke ubun-ubunnya.

"Gimana? Besok-besok jangan di ulangi lagi ya, jadi perempuan nggak boleh nakal Vi"
Vivi merasa dirinya akan pingsan ketika merasakan satu-persatu jarinya bertumbukan keras dengan palu.

"Yang ini bonus buat Vivi, gue kan baik. Jadi gue kasih bonus"
Vivi sudah tidak bisa merasakan dirinya sendiri, seluruh tubuhnya mati rasa.

"Eh jangan pingsan dulu Vi, lo harus di buat mati bukan pingsan gini"
Seketika tubuh Vivi menegang, ketika melihat gadis yang sedari tadi menyiksanya menusuk perutnya dengan sebilah pisau karat.

Merasa kurang puas gadis itu menghujam perut Vivi berkali-kali, dia menatap jijik saat bagian tubuh Vivi sudah tidak berbentuk lagi. 

"Maaf ya kayaknya gue salah bawa pisau" ucapnya meringis seakan tak berdosa, dunia Vivi telah berubah menjadi kelam.

"Mungkin Tuhan bakal hukum lo, tapi gue nggak sesabar itu buat nunggu"

🍁

Thanks buat yang udah vote dan komen, semoga ceritanya cocok sama kalian.

@Anandahumairarazaq™

Beauty PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang