Wes nasibe kudu koyo ngene... nduwe bojo kok ra tau ngepenakke~ suara dering ponsel membangunkan Dinda dari mimpi indahnya bersama Shawn Mendes.
"Halo?" Dinda membuka matanya lebar-lebar.
"Do you free tonight? I wanna ask you to have a date with me," suara bariton rendah membuat Dinda bergegas menegakkan duduknya.
"Kemana? I just woke up," jawab Dinda.
"Terserah kamu saja. Aku ngikut kamu."
Dinda tersenyum simpul, mungkin hubungannya dengan Alan akan berjalan lebih dari dua hari, tidak seperti mantan pacarnya yang lain yang hanya dalam hitungan jam.
"Oke. Jam 7 gue berangkat dari rumah. Jadi belum pasti sampek sana jam berapa. Yaudah, gue mau tidur lagi. See you tonight," Dinda menutup telepon sepihak.
Namun ternyata harapan tak sesuai kenyataan. Dinda berharap, setelah mengangkat telepon dari sang kekasih, dia bisa tidur kembali, pada faktanya, matanya justru terbuka lebar tak bisa dipejamkan. Dalam hati ia merutuk kecil,
Sialan, untung yang nelpon pacar.
***
"Sip, jam tujuh kurang lima menit gue udah dateng," gumam Dinda dengan bangganya sambil berjalan menuju ke dalam kafe yang di rekomendasikan oleh Alan.
"Hai! Gue gak telat lagi, kan?" Dinda mengambil tempat duduk didepan Alan.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Alan tanpa mengalihkan fokusnya pada buku menu.
"Gue sama kayak lo," jawab Dinda. Dinda menatap wajah lelaki Eropa di hadapannya, hidung mancung, tinggi, serta wajah rupawan-- menurut Dinda membuatnya amat bersyukur karena Tuhan mempertemukannya dengan lelaki se-sempurna pacarnya.
"Why are you look at me like that?" tanya Alan yang sadar dengan tatapan penuh kekaguman dari Dinda.
"Gak kok, i just imagined my world without you. I think it'd be less fun," jawab Dinda. Pelayan di samping Alan hanya termangu tak paham, sedangkan Alan tertawa renyah.
Merdu.
Satu kata itu yang terngiang di benak Dinda.
Kalau ketawa tambah ganteng anjir! Ujar Dinda dalam hati.
"Aku mau pesan rendang, kamu juga, Safety?"
"Iya,"
"Rendang 2," ucap Alan pada pelayan. Pelayan mencatat pesanan lalu pergi meninggalkan Dinda yang masih menatap intens pada Alan.
"Lo bawa air putih?" tanya Dinda.
"Bawa," Alan lalu menaruh botol berisi air mineral dari dalam ranselnya ke atas meja, "sebenarnya habis ini aku ada meeting. Tapi nggak apa-apa, aku cuma mau kenal kamu lebih jauh," jelas Alan kemudian.
"Know me more? Hmm, oke. What do you think about me so far?" tanya Dinda dengan senyum yang tak pernah lepas dari wajah ayunya.
"Tentang apa? Tentang sikap kamu atau apa?"
"Semuanya."
"Kamu baik. Kamu juga ramah dan sepertinya kamu mandiri," Dinda tersenyum, meremehkan, "tapi aku suka kamu yang seperti ini." lanjut Alan sambil memeragakan foto profil Dinda yang amat ia sukai, weird face. Tanpa ba-bi-bu, Dinda tertawa diselingi cubitan kecil pada lengan Alan.
"I'm sorry, but that's fact," Alan tersenyum.
Alan...
Tidak tahu dan takkan pernah tahu bahwa ia bukan satu-satunya pacar Dinda.
KAMU SEDANG MEMBACA
STONE
HumorBule hunter. Itu adalah pekerjaannya. Tidak tahu apa yang mendasari hal ini, tapi ia menikmatinya. Menaklukkan hati ras-ras kaukasia seolah memberikan kepuasan sebagai penakluk Eropa baginya. "Maaf, telat." Kalimat klasik yang sering menjadi penyeb...