05: Sahabat

22 4 0
                                    

••

Hei Sahabat. Mengertilah perasaanku. Jangan egois, dan aku akan mencoba untuk mengerti perasaanmu.

••

Hari ini adalah hari keseratus dua puluh tepatnya sudah empat bulan Stevani sekolah di DWI DARMA.

Pada istirahat kedua. Stevani lagi asik membaca novel bergenre fiksi remaja di bangku panjang taman sekolah. Nata hari ini tidak masuk sekolah karena sakit, dari kemarin lusa. Stevani menjenguk Nata kemarin sore. Ia membaca novel tanpa memperdulikan apa yang terjadi di sekitarnya. Ia terlelap dinovel yang dia baca. Sehingga dia tidak merasa jika dari tadi dia dipanggil.

"Hei" memang, Rendy tidak memanggil nama Stevani. Ya, Rendy tidak tahu nama Stevani.

Stevani menoleh ke arah sumber suara itu berada.

Rendy berada tepat di depannya.

"Ada apa, Kak?" Stevani terkejut dan mulai bertanya.

"Boleh gue duduk di situ?" Rendy menunjuk tempat kosong di sampibg Stevani.

Stevani mengangguk sambil berfikir, ada apa sama cowok ini. Stevani sangat bingung.

"Bulan lalu, lo katanya ngasih nomor telepon lo. Lha sampe sekarang nggak nyampe-nyampe ke gue?" Rendy menatap Stevani biasa.

Jantung Stevani berdegup sangat kencang, dag dig dug secara bertubi-tubi. Ada apa ini, kok Stevani gemetaran.

"Nggak usah tegang gitu. Oh ya, nama lo siapa ya?" Rendy kembali bertanya.

"Ste--va-ni" gugup Stevani.

"Tenang, Stev. Gue nggak marahin lo kek pertama kali gue ketemu sama lo." Rendy senyum kepada Stevani. Senyuman yang khas, membuat seseorang yang melihatnya kagum yang akan menyebabkan jatuh ke cinta.

"Lo tau nama gue?" Rendy, sambil nunjukin diri sendiri.

"Kak Rendy, bukan?" Stevani mencoba tenang dan tidak gugup. Tapi jantung Stevani masih dag dig dug kencang.

"Lo tadi minta nomor telepon kan? mana hp lo. Gue udah hafal nomornya" tangan Stevani nadah ke arah Rendy dan sudah mulai tidak gugup sama sekali.

Rendy memberikan handphone nya kepada Stevani. Stevani mengetik nomornya di handphone Rendy lalu menyimpannya kemudian mengetes nomornya agar nomor Rendy nanti muncul di hp Stevani.

"Nih" Stevani memberikan handphone Rendy.

"Gue ke kelas dulu ya" Rendy berpamitan yang dibalas Stevani dengan anggukan pelan.

Ini sungguh-sungguh membingungkan. Stevani pusing memikirkan sifat Rendy yang cepat berubah-ubah.

Tidak lama, Stevani juga kembali ke kelas. Bel tanda masuk sudah berbunyi.

••

Pulang sekolah Stevani naik bus kota. Ia ingin menjenguk sahabatnya yang lagi sakit, siapa lagi kalau bukan Nata. Bus kota turun di halte dekat rumah Nata. Sekitar lima puluh meter jarak halte bus kota dengan rumah Nata.

"Assalamu'alaikum" Stevani berdiri di depan pintu lebar dan tinggi rumah Nata sambil mengetuk pintu tersebut.

Nata terlahir dari anak orang kaya. Sepertinya Nata sangat bahagia dengan kehidupan semewah ini. Tetapi, Nata tidak mempunyai Ibu. Ibu Nata sudah meninggal dunia saat Nata duduk di bangku kelas 8 SMP. Ia masih mempunyai Ayah yang sangat baik dan selalu memperhatikan Nata. Om Dedi nama ayah Nata.

Pintu pun terbuka. Terlihat disana, Om Dedi yang membuka pintunya.

"Wa'alaikum salam. Eh Stevani, silahkan masuk" Om Dedi mempersilahkan Stevani untuk masuk dan tak lupa untuk senyum seramah mungkin. Om Dedi sangat ramah seperti Nata. Ini keliru, Nata yang ramah menjiplak dari sifat Om Dedi.

Stevani hanya senyum dan mengangguk kemudian masuk dengan gerak-gerik yang sopan, sesopan mungkin.

Om Dedi bekerja sebagai direktur di kantor besar, salah satu kantor terbaik ketiga di kotanya. Tetapi mengapa Om Dedi sekarang tidak bekerja. Mungkin ia cemas untuk meninggalkan Nata yang sakit sendirian berada di rumah semewah dan semegah ini.

"Kamu mau menjenguk Nata kan? naik lah ke lantai atas. Temui Nata" kata Om Dedi.

Stevani mengangguk dan mulai menaiki satu persatu tangga sebagai jalan menuju kamar Nata.

Stevani membuka pintu kamar Nata lalu menyapanya, "Hei, Nata."

Nata kaget, terkejut lalu menoleh. Nata mendapati Stevani yang sedang senyum ramah di sana.

"Eh. Stevani, kaget gue" sambil tertawa pelan kemudian memperbaiki duduknya.

"Badan lo udah baikan?" Stevani duduk di sebelah Nata.

"Alhamdullilah. Ada PR nggak?"

Stevani menggeleng. Tidak lupa, Stevani menceritakan tentang Rendy saat di sekolah tadi. Rendy yang meminta nomor telepon Stevani.

Nata iri, "Ha? Kak Rendy minta nomor lo? Masak sih" Nata tidak percaya.

"Iya.." Stevani mengambil handphonenya di dalam tas lalu nunjukin nomor Rendy kemudian meneruskan kalimatnya "nih nomor Kak Rendy. Lo minta ngga?"

"Beneran ini nomor Kak Rendy? Minta dong."

"Mana hp lo. Sini gue catet nomornya" tangannya menadah.

Nata memberikan handphonenya kepada Stevani.

••

TERIMA KASIH TELAH MEMBACA SAMPAI BAGIAN LIMA.

Jangan lupa dukung melalui komentar dan vote ya :)

ps: Typo itu manusiawi ^^

@intannn.na

DIFFICULTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang