[Aldimas]-Bertahan

401 36 2
                                    

Apa hal yang paling menyebalkan dari hubungan jarak jauh? Semua hal menjadi tak pasti. Kau akan akrab dengan ketakutan-ketakutan, bahkan kau akan lebih berteman dengan dugaan tak beralasan daripada logika yang masuk akal. Hubungan jarak jauh memang seperti itu, menyebalkan dan menakutkan secara bersamaan.

Kenapa aku bisa seyakin itu? Karena aku mengalaminya saat ini. Bukan berjarak dengan seseorang yang biasa disebut pacar, tapi lebih dari itu. Aku berjarak dengan rumah, dengan keluarga, dengan semua hal yang tak pernah jauh dariku sebelumnya. Bukannya manja, aku hanya benci untuk mengira-ira. Dan berjarak memaksaku harus bertemu hal yang paling ku benci.

Sekarang di sinilah aku. Berjarak ratusan kilometer dari rumah, demi suatu hal yang tak bisa ku abaikan, pendidikan. Kemarin, bahkan hari ini, pikiranku terlalu bising dengan ketakutan-ketakutan yang berlalu-lalang. Bagaimana keadaan rumah? Bagaimana kalau aku tidak bisa bertahan di sini? Apakah nanti aku punya teman? Apakah Mama baik-baik saja di sana? Rasanya aku ingin kembali mengemas barangku, membeli tiket dan pulang. Atau mengembalikan waktu ketika aku belum mengambil keputusan ini.

Seperti merasakan kegundahanku, nama Mama muncul di layar ponselku, panggilan masuk. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung menerimanya.

“Halo, Ma?”

“Halo, Dim.”

“Ada apa, Ma?”

“Nggak ada apa-apa kok. Mama tiba-tiba saja pengen telpon kamu. Kamu nggak pa-pa kan?”

“Nggak pa-pa. Dimas baik-baik saja kok, Ma.” Ya, secara fisik. Secara pikiran, aku tidak baik-baik saja.

“Syukurlah.” Ada nada lega di suara Mama. “Kamu hari ini ngapain aja, Dim?”Pertanyaan rutin Mama yang pertama menyambutku ketika aku pulang sekolah.

“Hari ini tadi kumpul sama temen-temen kelompok ospek sampai jam sebelasan. Dan sekarang Dimas juga udah ada di kos.”

“Dimas udah punya temen di sana?”

“Temen? Belum ada, Ma.”

“Ya udah, gak pa-pa. Nanti pasti Dimas punya temen banyak.”

“Semoga.” Aku berkata lirih. Entah Mama mendengar apa tidak, yang jelas hening mengambil alih pembicaraan.

Suara Mama tak lagi terdengar untuk beberapa menit, sampai ku sempatkan mengecek status panggilan takutnya sudah terputus atau baterai ponselku habis. Tapi panggilan masih berlangsung. Kemudian terdengar samar suara-suara di seberang. Ah, Mama mungkin sedang ada urusan lain.

Ketika aku masih menunggu atensi Mama kembali padaku, pandanganku menangkap seseorang yang berjalan melewati pagar kosan. Ah, mungkin juga penghuni kosan ini. Ketika dia semakin dekat dengan teras, tak sengaja pandangan kami bertemu. Aku hanya mengangguk seperlunya saja, dia hanya tersenyum kemudian berlalu masuk.

“Halo, Dim?” Suara Mama kembali terdengar di seberang.

“Iya, Ma?”

“Maaf ya, tadi Tante Dewi datang, kamu Mama tinggal sebentar. Untung gak kamu putus panggilannya.”

“Gak papa kok, Ma.”

“Ya udah, kamu hati-hati ya di sana? Mama gak mau maksa kamu harus gimana-gimana. Cukup jadi Dimas yang baik saja. Karena selalu ada tempat untuk orang baik.”Pesan Mama.

“Iya, Ma. Doakan Dimas.” Ucapku. Tak lama setelah itu, tak ada lagi suara Mama yang terdengar. Panggilan berakhir.

Aku masih belum beranjak dari tempatku. Ponsel masih digenggamanku. Fokusku masih pada daftar panggilan terakhir. Entah aku memang masih rindu pada Mama, atau aku hanya butuh teman untuk bicara. Yang jelas aku sangat berharap ada panggilan masuk dari Mama, untuk sekali lagi.

Cerita MerekaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang