Beberapa hari berlalu setelah pertemuan dengan Jeno di kafe, dan meskipun Karina mulai merasa sedikit lebih tenang, hatinya masih merasa hampa setiap kali mengingat Hesa. Meski begitu, dia mencoba untuk tetap berjalan maju dan menghargai setiap langkah kecil yang dia ambil. Perasaan itu masih ada, tapi perlahan dia mulai sadar bahwa ada lebih banyak yang bisa dia jalani selain terus terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.
Pagi itu, Karina memasuki kampus dengan langkah sedikit lebih ringan. Setelah percakapan dengan Winona, Segan, dan tentunya Jeno, dia merasa lebih siap menghadapi hari-hari yang penuh dengan ketidakpastian. Dia bahkan merasa sedikit optimis, meskipun masih banyak hal yang mengganjal di dalam hatinya.
Saat dia berjalan menuju kelas, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Jeno.
“Pagi, Karina! Lo udah sampai kampus belum? Gue mau tanya sesuatu nih, sibuk gak nanti?”
Karina tersenyum tipis membaca pesan itu. Ada sesuatu yang hangat dan nyaman setiap kali dia menerima pesan dari Jeno. Meski baru beberapa kali berbicara, dia sudah merasa dekat dengan cowok ini. Jeno selalu punya cara untuk membuatnya merasa tenang, tidak terbebani, dan lebih terbuka.
“Udah sampai, nih. Kenapa? Ada yang mau ditanya?” balas Karina.
Beberapa detik kemudian, balasan masuk, “Gue lagi ada di kantin, sendirian. Lo mau ngopi bareng lagi nggak? Gue beneran butuh temen ngobrol.”
Karina membaca pesan itu, sedikit terkejut. Tentu saja, dia tahu Jeno orang yang santai dan gampang diajak ngobrol, tapi tiba-tiba Jeno mengajaknya untuk ketemu lagi. Entah kenapa, Karina merasa nyaman dengan ajakan itu. Mungkin ini saat yang tepat untuk melupakan sejenak semua kebingungannya tentang Hesa.
“Oke, gue ke sana sekarang. Jangan kabur ya.” Karina membalas sambil tersenyum kecil, meskipun hanya sendiri.
Sesampainya di kantin, Karina langsung mencari Jeno di meja yang sudah familiar. Jeno tengah duduk dengan ponsel di tangan, wajahnya tampak serius, meskipun matanya masih memancarkan ketenangan. Saat dia melihat Karina datang, senyum lebar langsung menghiasi wajahnya.
“Akhirnya, yang ditunggu-tunggu dateng juga,” kata Jeno sambil melambaikan tangan. “Ayo duduk, santai aja.”
Karina duduk di hadapannya, menatap Jeno yang terlihat santai. Ada yang berbeda dengan sikapnya hari ini. Biasanya Jeno selalu bercanda atau memberi komentar ringan, tapi kali ini dia tampak agak serius, seperti ada sesuatu yang ingin disampaikan.
“Lo kenapa, Jen? Ada yang lagi lo pikirin?” tanya Karina, mencoba membaca ekspresi wajah Jeno yang agak tidak biasa.
Jeno memandangnya sejenak, lalu menghela napas. “Gue cuma mikirin sesuatu, Rin. Gue tahu, mungkin lo nggak mau denger ini sekarang, tapi... gue merasa perlu jujur sama lo.” Dia berhenti sejenak, menatap Karina dengan tatapan serius.
Karina merasa sedikit terkejut, tapi dia bisa merasakan ketulusan dalam suara Jeno. “Apa maksud lo, Jen?” tanya Karina dengan lembut.
Jeno menatap matanya, seakan mencari kata-kata yang tepat. “I love you, Rin. Lo emang udah tau sih. Gue gak pengen lo merasa tertekan, tapi... gue ngerasa khawatir saat ngeliat lo yang masih sering kepikiran Hesa, jujur aja sebenernya gue agak berkecil hati, gue cuma mau lo tahu kalau gue masih nungguin lo”
Tiba-tiba, hati Karina terasa campur aduk. Karina teringat betapa sering dia menghabiskan waktu dengan Jeno belakangan ini, berbicara ringan, tertawa bersama, dan merasa didengar.
Namun, meski ada perasaan yang menghangatkan hatinya, Karina juga merasa bingung. Hati dan pikirannya seperti berada di dua dunia yang berbeda. Awalnya, dirinya berpikir bahwa ia akan baik-baik saja tanpa Hesa karena ada Jeno yang selalu ada menemaninya. Namun, setelah kejadian kemarin saat dirinya melihat Hesa bersama wanita lain, dirinya merasa sakit dan tidak terima.
Dia sadar bahwa dirinya masih punya perasaan untuk Hesa, meskipun itu mulai pudar. Tapi apakah itu berarti dia harus menutup mata terhadap Jeno yang selalu membuatnya merasa nyaman?
“Jeno...” Karina mulai berbicara, tetapi suaranya agak terbata. “Gue... nggak tau harus ngomong apa. Ini terasa egois, dan gue masih bingung. Gue masih... masih mikirin Hesa. Gue gabisa menjalin hubungan sama lo disaat gue masih terpaku sama masa lalu, itu bakal nyakitin perasaan lo, Jen.”
Jeno mengangguk, seolah sudah bisa memahami kebingungannya. “Okay, Gue ngerti, Rin. Gue nggak mau lo buru-buru nentuin apa pun. Gue cuma pengen memperjelas arah hubungan kita. Kalau lo butuh waktu buat mikir, gue bisa nunggu lebih lama lagi.”
Karina merasakan ada kelegaan dalam kata-kata Jeno. Dia bisa merasa bahwa Jeno tidak menuntut apa pun, hanya ingin Karina merasa nyaman dan tidak terbebani. Mungkin ini yang dibutuhkannya, seseorang yang bisa membuatnya merasa dihargai tanpa ada tekanan.
“Gue nggak bisa langsung bilang iya, Jen,” kata Karina pelan. “Tapi gue hargain banget kejujuran lo. Gue bakal pikirin semua ini. Tolong, tunggu sedikit lagi, ya?”
Jeno tersenyum, senyum yang tulus dan membuat Karina merasa sedikit lebih tenang. “Gue tunggu, Rin. Gue yakin lo bakal bikin keputusan yang terbaik buat diri lo sendiri.”
Setelah percakapan itu, Karina merasa sedikit lebih yakin. Meskipun perasaan terhadap Hesa masih ada, dia mulai menyadari bahwa mungkin ada tempat untuk seseorang seperti Jeno dalam hidupnya. Hanya saja, waktunya belum datang. Semua butuh waktu, dan Karina tahu, untuk saat ini, dia bisa berfokus pada dirinya dulu.
Saat mereka berpisah, Jeno memberi Karina senyum terakhir yang penuh pengertian. Karina pun merasa lebih ringan, tahu bahwa dia tidak perlu terburu-buru membuat keputusan. Terkadang, jalan yang baik adalah jalan yang penuh dengan ketenangan dan waktu untuk berpikir.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Grab dan Rute Cinta • Jeno & Karina
Roman pour AdolescentsKarina merasa diabaikan oleh pacarnya, Hesa, yang lebih memilih latihan band daripada mengantarnya pulang. Saat memesan Grab, ia bertemu dengan Jeno, seorang driver santai yang berhasil menghiburnya. Namun, segalanya berubah saat Karina mengetahui...