Selama perjalanan ke sekolah hari ini. Di dalam bus, Runa banyak berpikir.
Pada mulanya ia berpikir bahwa hubungannya dengan Ziel akan membaik setelah mereka bermain catur bersama. Apalagi malam itu Ziel kelihatan lebih ramah pada Runa. Bahkan anak lelaki itu pun sampai tersenyum.
Tapi, apa yang terjadi kemarin membuatnya berpikir ulang. Sikap ketus Ziel masih sama seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan ketika Runa hendak bicara padanya, anak lelaki itu langsung bergegas pergi.
Padahal Runa pikir akan ada akhir baik untuk hubungannya dengan Ziel. Runa pikir Ziel tak akan membencinya lagi, lalu mereka bisa berteman.
Membuat hati Ziel mencair nyatanya tak semudah seperti yang Runa pikirkan. Runa menghela napas panjang.
Bus berhenti. Tepat di halte itu Runa turun. Tidak banyak anak berseragam sama dengan Runa di sana. Mungkin ada, tapi hanya beberapa itu pun bisa dihitung dengan jari. Karena hampir semua murid SMA SORA itu selalu menggunakan kendaraan pribadi mereka bukannya kendaraan umum seperti Runa.
Runa baru hendak meninggalkan halte, tapi seseorang dengan wajah yang sangat ia kenali itu yang sedang menatapnya kini sambil tersenyum langsung membuat langkahnya berhenti.
"Raka?"
Senyuman Raka mengembang menarik. Ia duduk di atas motor besar hitam itu sembari memegangi helm berwarna senada. "Gue, nggak telat kan, hari ini?"
Runa mengernyit. Sejujurnya ia bingung dengan apa yang sedang dilakukan Raka sekarang. "Kamu ngapain?"
"Membuktikan." Jawab Raka cepat. "Katanya kemarin lo bilang gue tukang bohong. Sekarang gue nggak bohong. Ini gue dateng pagi!"
Kerutan Runa semakin dalam. Ia bingung. Tak mengerti dengan maksud Raka. Benar, Runa memang pernah berkata begitu padanya dan ia juga sering mengomentari soal Raka yang selalu datang terlambat. Tapi kan itu dua konteks yang berbeda. Maksud Runa kemarin, Raka berbohong sedang sakit padahal anak lelaki itu kelihatan sangat sehat!
Runa menghela napas panjang. Ia menyerah. Raka memang terlalu aneh dengan cara pikirnya yang unik itu. Baiknya, ia mengiyakannya saja.
"Bagus." Komentar Runa dengan senyum yang dipaksakan.
"Nah, kalau gitu... Ayo naik!!" Senyum Raka mengembang. "Tumpangan gratis dari motor baru!"
"Nggak usah, Raka, makasih."
"Gue nggak terima penolakan!" Raka mendelikkan matanya lebar-lebar. "Ayo cepetan naik. Atau gue seret!" Paksanya.
"Ih..."
"Cepetan naik!!" Seru Raka tak sabar. Nada suaranya sungguh tak terbantahkan. Yang membuat Runa mau tak mau menuruti titahnya.
Meski aneh dan sering menyebalkan, tapi Runa selalu nyaman berada di dekat Raka. Karena menurut Runa, Raka itu baik.
***
"Gimana motor gue? Enak kan, dipakainya?" Raka menaik turunkan alis matanya dengan senyum mengembang lebar pada Runa yang sedang menunggunya memarkirkan motor.
Runa mengangguk. "Iya." Katanya, lebih untuk menyenangkan hati anak lelaki itu dibanding berkomentar lebih panjang.
Dan tentu saja hal itu membuat Raka tersenyum senang.
"Kalau gitu, pulang nanti bareng gue lah!" Tawar Raka. Membuat Runa menatapnya heran.
"Mau ditangkap polisi?" Runa kini mengangkat alis matanya tinggi, membuat matanya lebih kelihatan membulat.
Raka yang baru melepas jaket kulit hitamnya pun lantas menatap Runa. "Kenapa ditangkap?"
Runa berdecak. "Kamu kan, cuman punya helm satu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARUNA
Teen FictionSemenjak Ayahnya menghilang, Aruna tinggal sebatang kara. Mau tak mau, terpaksa atau tidak dia harus membiayai hidupnya sendiri. Lalu, pertemuan tak terduga Runa dengan seorang kakek tua bernama Arwan, seketika membuat hidup Runa berubah. Secara men...