Still☁️

481 85 11
                                    

"Pagi, manis."

Selama ia hidup, baru kali ini Jeno mendengar seseorang memanggilnya seperti itu. Sungguh.

Jeno langsung membelalakan matanya shock, kemudian membalikkan badan ke asal suara pria tersebut, yang ternyata berasal dari belakangnya. Panci yang sedari tadi ia genggam erat, tiba-tiba lepas dan langsung jatuh menimpa kakinya,

"AKKHHH!!" Teriak Jeno sambil memeganggi kakinya yang terluka setelah kejatuhan panci. Jeno terjatuh di atas lantai dapurnya dan meringis kesakitan. Lelaki asing yang masih berdiri dan terlihat cukup terkejut di depannya melihat apa yang barusan terjadi.

Jeno hanya bisa memejamkan kedua matanya dan menahan sakit dari luka lebam di kakinya. Kemudian, Jeno merasa diangkat oleh seseorang dan ternyata laki-laki itu langsung menggendongnya,

"Kamu ceroboh banget sih. Kan sudah kubilang lain kali biarkan aku saja yang masak, kamu gak usah ikut-ikutan segala. Nanti ujung-ujungan jadi begini." Ujar laki-laki tinggi itu sambil menggendong Jeno, dengan memasang muka masam.

Jeno yang hanya bisa terdiam, terheran-heran mengapa ada orang asing yang masuk ke rumahnya. Sepertinya Jeno sama sekali tidak mengingat apa yang barusan ia perbuat tadi malam. Dasar Jeno pelupa.

"Tunggu dulu, bisa kau turunkan aku sekarang? Aku punya banyak pertanyaan." Jeno yang mengeluarkan perintah seperti itu terlihat cukup santai menghadapi orang asing yang tiba-tiba secara ajaib berada di dalam rumahnya dan membuatkannya makanan.

"Tapi kakimu sedang sakit sayang. Kakimu itu harus segera diobati."

"Apa kau bilang barusan? Sayang? Hah? Memang kau siapa?" Jeno langsung mendorong lelaki yang lebih tinggi darinya itu untuk melepaskan genggamannya. Jeno pun turun dan langsung berjalan menjauh. Ia bahkan lupa akan kakinya yang masih luka itu.

"Kau lupa? Aku kan pacarmu?" Lelaki itu langsung menghampiri mendekati Jeno, dan memegang tangan Jeno erat, mendekatkan wajahnya ke Jeno. "Sini, biar kuberi obat lukamu itu. Tunggu di sini jangan kemana-mana!" Lelaki berambut coklat muda itu langsung beranjak dari tempatnya mengambil kotak putih yang berisikan botol-botol obat dan perban.

"Kamu duduk di sini dulu,"

Jeno kemudian mengangguk kecil, dan duduk di sebuah sofa putih.

'Ternyata aplikasi itu tidak berbohong!' Seru Jeno yang baru sadar dengan hasil perbuatannya semalam. Ia tidak percaya bahwa hal tersebut benar-benar ada dan nyata. Tapi bagaimana? Haruskah ia bertanya pada lelaki alias pacar idealnya itu secara langsung.

Tiba-tiba Jeno sadar akan sesuatu 'Ternyata semua yang kutulis tentang dirinya benar', pikir Jeno. 'Coba aku panggil nama yang kubuat untuknya'.

"Nana!" Panggil Jeno dari ruangan seberang.

Lelaki itu langsung berbalik menatap Jeno,

"Namamu Na Jaemin kan?"

Lelaki tinggi itu mengerutkan alisnya, bingung "Iya, Jen, itu namaku."

Setelah beberapa saat mencari barang yang dibutuhkan, lelaki bernama Na Jaemin itu beranjak pergi, dan berjalan ke arah Jeno membawa sebuah botol kaca berisikan obat dan sebuah perban.

Ekspresi Jeno yang tadinya kebingungan melihat situasi yang sedang terjadi di rumahnya ini, langsung tersenyum lebar, mengingat bahwa tidak sia-sia ia mengambil keputusan untuk memakai aplikasi itu.

"Jen? Kok senyum sih? Kan kakimu lagi sakit, belum aja aku obatin, sudah senyum-senyum sendiri."

Jaemin kemudian tertawa kecil melihat ekspresi pacarnya itu. "Mana kakimu, sungguh, kau hari ini bertingkah sangat aneh."

Untuk beberapa saat keadaan menjadi hening. Jaemin yang sibuk mengobati kaki Jeno yang terluka, tidak berbicara sama sekali. Sedangkan Jeno berpikir apa yang harus ia tanyakan mengenai aplikasi itu. Mengenai dari mana asal lelaki yang berada di depan saat ini.

"Um, aku ingin bertanya sesuatu. Bagaimana cara perusahaan itu bisa membawamu, eh maksudku mengirimmu ke sini?" Jeno memutar-mutar lengan kaos putihnya, agak ragu untuk menanyakan hal yang barusan ia katakan.

"Apa maksudmu?" Jaemin yang sibuk memperban kaki Jeno yang terluka, seketika itu juga dengan cepat menaikkan kepalanya ke atas mengarah ke Jeno. Jaemin agak heran dengan kata-kata yang baru saja dilontarkan oleh lelaki berambut hitam yang sedang duduk di hadapannya.

Jeno hanya menatap Jaemin polos, berharap agar lelaki berambut cokelat itu mengatakan sesuatu. Tapi lelaki bernama Jaemin itu tidak mengatakan apa-apa. Setelah selesai memperban kaki Jeno, ia langsung berdiri menatap Jeno dengan serius,

"Lain kali hati-hati," ujar Jaemin lembut, kemudian mendarat tangannya di rambut Jeno. Mengelusnya perlahan.

Jeno menatapnya tanpa ekspresi, "Baiklah." Jeno memeganggang tangan Jaemin yang masih berada di kepalanya, Jeno menurunkan tangan Jaemin dari kepalanya, kemudian menggenggam erat. Jaemin yang melihat Jeno melakukan itu hanya memasang senyum diwajahnya, lalu berkata, "Aku sudah siapkan sarapan untukmu, jangan lupa dimakan ya. Aku akan keluar sebentar."

Jaemin membalikkan badannya dan melangkah menjauh.

"Nana!"

Jaemin yang merasa terpanggil, menoleh ke arah belakang menatap Jeno.

"Tolong jangan terlalu lama ya."

"Aku hanya akan keluar sebentar." Jaemin kemudian keluar dan menutup pintu pelan.

Sekarang, di rumah hanya ada Jeno, sendirian. Ia terkadang kesal ketika harus menunggu sendirian di rumah tanpa ada seorang teman.
Maka dari itu, ia sering merasa kesepian. Apalagi ketika ia mengetahui bahwa ibunya harus pergi bekerja dan akan pulang larut malam. Itu membuatnya hampir tak bisa untuk menemui ibunya walaupun hanya ingin sekedar berbicara atau menikmati family time bersama satu-satunya orang tua yang Jeno miliki sekarang.



Comment & vote if you guys like it :)

thє вσчfríєnd αpp (ѕhσrt ѕtσrч) nσmín ((On Going))Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang