"Aku ingin terus bersamamu
Bila kau mau ku takkan kemana."
-The Overtunes-...
Seratus dua puluh menit sebelum tengah malam, sebelum hari berganti, dan sebelum angka 6 berubah menjadi 7. Adalah sebuah kebencian mengingat dua jam setelah ini, kamu akan melepas sebuah genggaman.
Ekspresi yang terlukis saat ini hanyalah sebuah tatapan datar nan lurus, berbanding terbalik dengan hati yang menjerit. Meraung. Memaki takdir yang akan memberi jarak sejauh satu tahun lebih—nyaris dua tahun—untukmu sebelum bertemu kembali dengan yang dicinta.
Malam ini begitu dingin. Angin menderu tanpa pandang bulu, suhu menurun beberapa derajat, dan awan kelabu bergelantung di langit dengan begitu manja. Menginvasi seluruh permukaan dengan warna kelamnya, bersikap egois dengan tidak memberikan kesempatan Bulan dan Bintang untuk bersinar. Tapi kamu tidak peduli. Bahkan dengan pipi yang memerah dan tenggorokan yang terasa sakit karena menahan semua gejolak emosi. Kamu memilih diam, mencoba tenang.
Yang berdiri di sebelahmu sejak tadi juga diam. Sweater yang membungkus tubuhnya begitu erat memberikan sebuah perasaan hangat dan nyaman, dia tersenyum dalam hening. Bersamaan dengan angin yang berhembus, dirinya menoleh lalu melebarkan senyumannya tanpa beban.
"Kamu sejak tadi diam, memang tidak mau mengatakan sesuatu?" tanyanya seraya mengikis jarak sedikit demi sedikit. Gemerisik daun terdengar, seakan menggoda dirinya karena mencoba mendekat pada sang kekasih.
"Apa yang ingin kamu dengar?" kamu balik bertanya.
Dia kemudian mengerjap lembut, masih dengan lengkungan indahnya di bibir. "Kamu akan baik-baik saja. Kamu akan makan dengan baik, tidur dengan nyenyak, melanjutkan tugasmu yang tertunda, juga mengejar impianmu. Jangan menungguku pulang."
"Kenapa aku tidak boleh menunggu kamu pulang? Apa hakmu melarangku begitu? Ayah ku pun bukan."
"Memang," katanya. Dia tertawa. "Aku benci melihatmu diam dan nyaris menangis. Kamu tahu aku hanya pergi sebentar, bukan selamanya. Jadi untuk apa kamu bersedih begitu? Seharusnya kamu membuatku tertawa, buat aku ingat bahwa kamu melepasku pergi dengan tawa, bukan air mata. Aku butuh senyummu, jangan menangis."
"Brengsek."
Delapan huruf yang membentuk satu kata berhasil meluncur bebas dari mulutmu. Tidak. Kamu bukan ingin mengumpatinya karena dendam. Kamu hanya benci satu fakta bahwa, kamu menginginkannya tetap tinggal. Sebesar itu hingga membuat dadamu sesak dan kamu menangis seperti bayi. Terisak selama beberapa detik sebelum isakanmu teredam karena Xiumin menarikmu dalam pelukannya.
"Kubilang kan jangan menangis, kamu tuli atau apa?" dia berbisik lirih. Tangannya naik, mengusap kepalamu sambil menggigit bibirnya. Menahan diri untuk tidak ikut menangis walau matanya kini memerah perih.
"Aku ingin meninju wajahmu sekarang, membuat luka sayatan di seluruh tubuhmu, atau—hiks—membuatmu terbaring lemah di rumah sakit. Tuhan, dadaku sesak sekali..."
Xiumin memelukmu kian erat saat isakanmu terus terdengar, bahkan kini lebih pilu.
"Dan membiarkanku mangkir dari Tugas Negara?" Dia tertawa paksa. "Aku ini lelaki, walau sekaratpun aku akan tetap melaksakan tugasku. Jadi sekarang berhenti menangis, lalu lihat aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
[Imagine Series] - EXO Version
FanfictionWhat if EXO Members be your boyfriend, bestfriend, or maybe-brother? Imagine Series #1 📍 Start : September 2017 📍 Revisi 📍 Imagine Area. Harsh comment not allowed.